Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Kasus ASF di dunia menjadi tantangan luar biasa bagi peternakan babi beberapa tahun terakhir ini. Populasi babi yang terkoreksi cukup dalam ini mengakibatkan suplai dan demand terhadap daging babi tidak seimbang dan mengakibatkan fluktuasi harga yang luar biasa. Cara menyikapi kejadian inipun berbeda-beda diantara para pelaku usaha. Di China, beberapa pengusaha melihat ini mungkin sebagai “peluang” karena kebutuhan daging babi dimasa akan datang pastinya akan sangat kurang dan siapa yang bisa suplai tentunya yang akan memetik hasilnya. Lalu strategi apa yang mereka lakukan untuk menghadapi ASF yang belum ada vaksinnya ini?

Berikut adalah resume dari langkah-langkah / point penting terkait proses repopulasi yang dilakukan dan mungkin bisa kita modifikasi dan sesuaikan dengan kondisi di Indonesia:

  1. Kecepatan adalah kunci – deteksi dini, tindakan cepat dan penanganan sumber infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran virus lebih lanjut dalam sistem produksi. Monitoring pergerakan babi pada daerah terdampak juga harus diperketat, dan perlakuan karantina plus pengujian berkala harus dilakukan dengan disiplin dan konsisten.
  2. Desinfeksi terhadap truk pengangkut babi – proses pembersihan, desinfeksi dan pengeringan
  3. Membuat perimeter – zone untuk menahan penyebaran virus secara sistematis : ‘zona wabah’ radius 1 km, ‘zona kontrol’ radius 3-5 km, dan ‘zona pengawasan’ radius >10 km (tergantung Geografis dan kepadatan babi)
  4. Larangan di zona kontrol – batasi akses orang luar yang tidak berkepentingan, dilarang menjual/pindahkan babi ke luar zona, dilarang menyembelih babi, menjual bangkai dan produk sampingannya, pengawasan lalu lintas pakan/bahan baku dan transportasi
  5. Perlakuaan penting di zona kontrol – menempatkan titik pemeriksaan dan desinfeksi di pintu keluar masuk lokasi terdampak dan zona kontrol, desinfeksi kendaraan yang keluar dari zona kontrol, ganti pakaian dan sepatu di pos pemeriksaan sebelum memasuki zona kontrol, dan singkirkan hewan liar.
  6. Perlakuan penting di zona wabah – bersihkan semua babi dan produknya dengan seminimal mungkin kontaminasi darah (virus ASF ditemukan dalam jumlah tinggi di dalam darah); bakar/kuburkan babi mati, produk babi, fomites dan semua yang terkontaminasi sedalam 4m, lalu tutup lobang dengan kotoran dan kapur, serta lakukan desinfeksi agar tidak mengundang hewan liar; proses ini sebisa mungkin dimulai dari lokasi yang paling parah untuk meminimalkan resiko penyebaran/kontaminasi; staf yang terlibat harus menerapkan protokol yang ketat (mandi, ganti baju dan alas kaki dll); lakukan pengendalian vektor
  7. Langkah desinfeksi yang tepat – virus ASF adalah virus ‘DNA enveloped’ yang kompleks dan tahan terhadap lingkungan. Agar desinfektan sepenuhnya efektif, maka sebelumnya harus dilakukan pembersihan semua bahan organik dengan deterjen, dikeringkan baru kemudian masuk ke proses desinfeksi; pastikan waktu kontak dan dosis sesuai rekomendasi, dan penguapan dengan suhu panas jika memungkinkan.
  8. Desinfektan yang terbukti mampu menonaktifkan virus ASF adalah natrium hidroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, glutaraldehyde, asam sitrat, yodium monoklorida, formaldehida, senyawa amonium kuarter dan kalium peroksimonosulfat. Konsultasikan ke distributor desinfektan anda ya untuk memastikan efektifitasnya terhadap ASF.
  9. Lakukan desinfeksi terhadap semua bahan dan fasilitas kandang yang terkontaminasi saat proses pembersihan memusnahkan babi
  10. Pembersihan intensif fase I – karena virus ASF sangat resisten, maka sekali lagi sangat penting untuk membersihkan dan mendesinfeksi dengan benar semua bahan yang mungkin telah bersentuhan dengan virus. Langkah fase I ini meliputi pembersihan mekanis semua bahan organik (pakan, feses, kotoran) dengan menggunakan sikat dan sekop, buang/bakar peralatan yang tidak dapat didisinfeksi dengan benar, semprotkan air ke semua permukaan, siram dengan deterjen, bilas dengan air dan biarkan waktu mengering serta semprot desinfektan ke semua permukaan dan naikkan suhu ruangan jika memungkinkan.
  11. Pembersihan intensif fase II – ulangi semua proses fase I, pastikan semua peralatan dan fasilitas bersih dan buang/bakar semua pakaian yang digunakan selama desinfeksi. Sedikit saya tambahkan disini, sharing dari kolega dokter hewan di China yang membantu proses repopulasi di sebuah farm besar menyebutkan bahwa, proses cleaning/pembersihan ini harus di test dengan ATP fluorescence detector sebelum masuk ke tahap desinfeksi. Jadi mereka harus melakukan swab terhadap semua permukaan kandang yang diduga masih terdapat cemaran patogen. Jika ternyata hasil deteksi ATP ini masih menunjukkan angka patogen yang melebihi ambang batas yang disarankan maka proses pembersihan harus diulang kembali.
  12. Pembersihan intensif fase III – desinfektsi semua permukaan dengan tekanan rendah atau menggunakan desinfektan bubuk (biarkan < 6 jam), tingkatkan suhu ruangan bila memungkinkan dan tutup area kandang
  13. Perlakuan di lingkungan luar kandang – bersihkan dan desinfeksi lingkungan dengan benar, cek tempat penampungan limbah/kotoran, cek sisa-sisan bahan baku/pakan dan tempat pakan/silo, bakar pakaian yang dipakai selama fase ini dan tutup lokasi kandang selama masa karantina sebelum mulai proses repopulasi.
  14. Bioassay – memulai kembali bisnis harus menjadi salah satu prioritas bagi setiap peternakan yang terkena ASF. Proses pengujian harus detail untuk memastikan patogen sudah tidak terdeteksi lagi. Investasi, daya dan upaya relatif besar untuk memastikan infeksi tidak terulang lagi. Peran otoritas lokal menjadi penting untuk mengatur kapan proses repopulasi bisa dimulai. Bioassay adalah metode analisis yang memastikan apakah sebuah peternakan cukup bersih untuk dihuni kembali.
  15. Memulai repopulasi dengan memasukkan hewan sentinel – pilih sumber hewan terpercaya dan konfirmasikan melalui pengujian laboratorium, atur transportasi dengan truk yang bersih dan pastikan sudah di desinfeksi, tempatkan karyawan untuk tinggal di dalam kandang selama masa observasi (60 hari) dan siapkan pakan sekaligus dari sumber yang terpercaya juga; mulai masukkan babi sentinel 5-10% dari kapasitas peternakan, lalu cuci dan desinfeksi mobil pengangkut babi, keringkan sebelum digunakan kembali.
  16. Perlakuan terhadap hewan sentinel – babi dibiarkan bebas mengakses semua area kandang sehingga memastikan bahwa lingkungan dalam kandang aman dari patogen yang mungkin terlewatkan saat proses pembersihan dan desinfeksi.
  17. Monitoring hewan sentinel – pantau selama 60 hari, lakukan pengujian PCR mingguan dengan jumlah statistik yang signifikan, periksakan semua hewan yang mati ke dokter hewan dan lakukan pengujian laboratorium terhadap ginjal, tonsil, kelenjar getah bening, paru-paru dan limpa; kumpulkan sampel darah dari semua babi di akhir periode 60 hari dan lakukan uji Elisa (cek antibodi) dan uji PCR (deteksi antigen)
  18. Jika semua terlewati selama fase 60 hari (periode karantina berakhir) dan setelah semua tes menunjukkan hasil negatif maka kita kemudian bisa memasukkan populasi babi selanjutnya sampai kapasitas yang diharapkan tetapi harus terus menjalankan program monitoring dan biosekuriti yang ketat karena vaksin belum ditemukan.

Jika dari China kita bisa belajar bagaimana mereka sukses dalam proses repopulasi pada peternakan besar, ternyata tidak demikian dengan contoh di Vietnam. Proses repopulasi pada peternakan skala kecil di Vietnam ternyata tidak kuasa untuk menahan gempuran virus ASF karena tindakan biosekuriti mereka yang relatif lemah. Hal ini akhirnya menyebabkan peternak mengalami kerugian ganda karena investasi mereka kembali direnggut oleh ASF. Kita tahu bahwa Vietnam terdampak ASF mulai Februari 2019, dan Oktober 2019 perusahaan skala besar disana sudah bersiap membantu peternak skala kecil untuk mulai usaha kembali.

Gejolak kenaikan harga yang sangat tinggi ini juga mendapat respon positif beberapa peternak kecil sehingga mereka berani membeli dan berencana memulai beternak kembali pada bulan November 2019. Namun apa yang terjadi, hanya dalam selang waktu 3 hari setelah babi diterima dikandang ternak tersebut sakit, mati dan dinyatakan positif ASF kembali. Mengapa bisa terjadi reinfeksi setelah sekian lama kandang dikosongkan (>6 bulan)? Mungkin jawabannya terletak pada proses pembersihan dan desinfeksi pasca ASF yang kurang baik.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari 2 contoh diatas? Secara umum pengendalian penyakit dalam pemeliharaan ternak melibatkan manajemen, vaksinasi dan biosekuriti. Jika kita berbicara ASF untuk saat ini yang belum ada vaksinnya, maka sudah seharusnya kita memaksimalkan perbaikan manajemen dan memperketat biosekuriti. Peternak kecil menjadi sangat beresiko mengingat kemungkinan besar implementasi faktor-faktor tersebut kurang maksimal. Selain itu, biasanya peternak di Indonesia rata-rata juga berada dalam satu lokasi yang sama dengan peternak lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat idealnya peternak dalam suatu komplek wilayah yang sama harus saling terbuka dan memiliki pemahaman yang sama dalam proses pengendalian penyakit ini agar semua populasi aman. Pembentukan kelompok ternak dan bimbingan teknis bisa menjadi sarana yang baik untuk memberikan update informasi kepada para peternak kecil sehingga tidak ada lagi peternak yang menjalankan usahanya “asal-asalan” yang pada akhirnya beresiko terhadap kelangsungan usaha peternak yang lain.

Akhir kata, untuk memulai usaha ternak kembali pasca ASF diperlukan proses cleaning dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama. Setelah itu, proses repopulasi bisa dilakukan idealnya setelah zona wabah sudah dikonfirm aman (lama waktunya tergantung situasi dilapangan) dan dilakukan monitoring terhadap kemungkinan kejadian penyakit dengan uji-uji laboratorium (ELISA, PCR dll). Sekali lagi, perbaikan manajemen dan biosekuriti memegang peranan penting dalam upaya pengendalian penyakit ASF ini, mengingat vaksin masih dalam tahap penelitian.

Sukses selalu !!

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2021/01/09/langkah-langkah-repopulasi-pasca-outbreak-african-swine-fever-asf/).