Ras Babi Dunia

Menurut catatan sejarah berdasarkan temuan fosil, babi liar telah menjelajahi bumi 40 juta tahun yang lalu, dan babi didomestikasi 7000 tahun yang lalu di Asia Timur. Babi termasuk dalam famili Suidae. Seiring dengan perkembangan jaman, babi menjadi salah satu komoditi penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan dunia. Penelitian terkait genetika babi, pakan, dan kandang yang terus dilakukan mampu menghasilkan hewan yang lebih efisien produksi, lebih sehat dan lebih ramping. Breed babi ras utama yang ada saat ini, adalah Yorkshire, Duroc, Hampshire, Landrace, Berkshire, Spotted, Chester White, dan Poland Cina.

Istilah dan definisi yang digunakan dalam produksi babi meliputi:
• Boar              : babi jantan
• Sow               : babi betina yang telah beranak setidaknya sekali
• Farrowing    : fase melahirkan
• Piglet             : babi yang baru lahir
• Weaning       : transisi dari fase menyusui ikut induk ke pakan biji-bijian
• Feeder pig    : babi yang disapih setidaknya berusia 8 minggu atau beratnya mencapai 100 pound
• Gilt                : babi betina yang belum pernah dikawinkan
• Pig                 : babi muda dengan berat < 120 pon
• Hog               : istilah yang mencakup semua kategori babi atau babi usia panen 240–270 pound

Fase pemeliharaan babi meliputi suckling piglet, nursery dan finisher. Untuk mengoptimalkan usaha peternakan babi, para peternak idealnya memperhatikan faktor genetika dengan memilih galur ras murni sesuai dengan tujuan dari usaha peternakan yang dijalankan. Masa kebuntingan induk babi sekitar 16 minggu (3 bulan, 3 minggu 3 hari) dengan angka kelahiran sekitar 8–10 ekor, walaupun potensi genetik babi saat ini bisa lebih dari itu. Penting agar anak babi menyusu untuk mendapatkan kekebalan induk sekaligus nutrisi untuk 2-3 minggu pertama kehidupan. Setelah itu anak babi akan dipisahkan dari induk babi dan disapih ke diet khusus dan seimbang untuk meningkatkan pertumbuhan sampai mencapai bobot panen sekitar 240-270 pound.

Yorkshire

Jenis Yorkshire berwarna putih dengan telinga tegak. Yorkshires dikenal karena ototnya, dengan proporsi daging tanpa lemak yang tinggi dan lemak punggung yang rendah. Kesehatan dan daya tahan adalah kekuatan lain dari ras ini.

Trah ini dikenal sebagai “Mother Breed” karena Yorkshire mampu melahirkan dan memelihara banyak anak babi. Yorkshires adalah babi besar dan panjang, yang memungkinkan untuk dipasarkan dengan bobot yang lebih berat tanpa kehilangan efisiensi. Ras ini secara konsisten lebih panjang daripada breed lain sehingga menjadi pilihan para peternak di dunia.

Landrace

Babi putih dengan telinga terkulai,  Betina Landrace mampu menghasilkan air susu yang banyak. Landrace memiliki tubuh panjang, persentase bobot karkas yang tinggi di ham dan pinggang. Landrace lebih unggul karena sifat keibuannya, performa reproduksi yang baik dengan jumlah lahir hidup realatif banyak dan bobot individu saat disapih yang bagus.

Landrace ras murni menduduki peringkat ke-3 untuk tingkat pertumbuhan, unggul dalam hal panjang karkas. Hasil persilangan dengan landrace ini telah menghasilkan perbaikan breed yang dramatis dalam performa dan sifat karkas. Perubahan ini ditambah seleksi yang efektif untuk telinga yang lebih kecil dan kaki yang kuat telah membuat Landrace menjadi komponen penting dari program persilangan yang dilakukan oleh para peternak babi di dunia.

Chester White

Chester Whites berasal dari Chester County, berwarna putih dengan telinga berukuran sedang dan sering berpenampilan murung. Dikenal karena kemampuan mengasuh anak, memiliki daya tahan tubuh, tingkat kesehatan dan kualitas otot yang baik..

Chester White betina telah lama dikenal memiliki tingkat pembuahan yang tinggi dan jumlah anak babi yang banyak sehingga secara ekonomi cukup bagus untuk pembibitan. Ras ini memiliki tingkat konsepsi 12% lebih tinggi dibandingkan breed lain. Trah Chester White hampir bebas dari gen stres. Selain itu, ras ini adalah 1 dari 3 breed yang secara konsisten menunjukkan kualitas daging yang superior. Ketika disilangkan dengan breed lain, tingkat heterosis yang tinggi merupakan respons yang khas.

Duroc

Jenis babi merah dengan telinga terkulai ini dihargai karena kualitas produk, hasil karkas,  pertumbuhan cepat, dan efisiensi pakan mereka. Betinanya memiliki produktivitas yang baik dan umur relatif panjang. Ras ini adalah kontributor utama untuk hampir setiap peternakan babi yang sukses. Trah ini telah lama dikenal karena kemampuannya untuk tumbuh lebih cepat dengan sedikit pakan. Produsen juga dapat memaksimalkan heterosis yang dihasilkan oleh persilangan galur genetik murni ini.

Hampshire

Babi dengan “sabuk” dan dikenal menghasilkan otot tanpa lemak, kualitas karkas tinggi, lemak punggung minimal, dan mata pinggang besar. Betinanya juga dikenal karena kemampuan mengasuh anak dan cinderung memiliki umur panjang dalam kawanan babi.

Hewan hitam ini memiliki ikat pinggang yang khas dan unik, yaitu strip putih yang melingkari tubuh seluruhnya termasuk kaki depan dan kaki. Hampshires cukup produktif, ramping, menguntungkan untuk dipelihara dan jumlah daging yang banyak. Hamshire termasuk hewan yang agresif.

Poland Cina

Dikenal dengan tubuh yang besar dan panjang, ramping dan berotot. Mereka tumbuh dengan baik di bawah perawatan dan manajemen yang baik, dan pembawaannya relatif tenang. Persentase karkas tanpa lemak dengan persentase tinggi. Praktis, status kesehatan baik, tahan lama dan kokoh, kemampuan untuk beradaptasi dengan hampir semua lingkungan.

Berkshire

Berkshires dikenal karena pertumbuhannya yang cepat dan efisien, efisiensi reproduksi cukup baik, bersih, serta rasa dan nilai daging tinggi. Breed Berkshire adalah satu-satunya sumber genetik dalam industri babi yang memiliki nilai premium berdasarkan kualitas daging babi superior yang diketahui. Daging babi Berkshire telah terbukti secara ilmiah memiliki warna, tekstur, pH tertinggi, dan kapasitas menahan air yang lebih baik.

Pilihan manajemen yang sederhana dengan genetika Berkshire murni yang dikontrol dengan benar akan membuka peluang keuntungan baru yang tidak dapat ditemukan di mana pun di seluruh industri daging babi.

Spotted

Dicirikan oleh bintik-bintik besar, hitam-putih. Dikenal karena efisiensi pakan dan kualitas karkasnya. Betinanya memiliki produktivitas, kepatuhan, dan daya tahan tubuh yang baik. Tidak ada keraguan tentang pentingnya bibit yang kuat dan tahan lama dalam kawanan dan breed Spotted menyediakan hal itu. Sifat keibuan relatif baik dan tangguh, efisiensi reproduksi ekstra, serta tahan banting.

Demikian gambaran ras babi yang umumnya dipakai di peternakan babi saat ini.

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI (sumber : https://rumahternak.com/2022/07/09/ras-babi-dunia/)

Memulai Usaha Peternakan Babi yan Ideal

Langkah pertama dalam memulai usaha peternakan babi adalah menentukan jenis produksi babi yang ingin kita jalankan, baik itu breeding, penggemukan, atau keduanya. Namun, untuk menentukan pilihan yang terbaik sesuai kemampuan kita, maka kita harus terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut : 1.) jumlah modal, tenaga kerja, dan tanah yang tersedia artinya sumber daya apa yang sudah dimiliki/tersedia dan investasi apa yang masih diperlukan 2.) tingkat keterampilan manajemen dan pemasaran yang dibutuhkan artinya jenis karyawan yang perlu direkrut dan berapa banyak? 3.) implikasi sosial dan lingkungan yang terkait dengan pengelolaan pupuk kandang artinya apakah kita siap dalam pengolahan limbah, dimana  menyimpan, membuang limbah atau mengolah kotoran ternak?

Setelah mempertimbangkan 3 hal diatas, maka kita juga harus mengerti pilihan sistem produksi yang bisa kita jalankan dalam usaha peternakan babi. Ada tiga jenis sistem produksi babi yang bisa dilakukan yaitu farrow-to-finish, farrow-to-feeder, dan feeder-to-finish.

Farrow-to-Finish

Sistem ini melibatkan seluruh proses pemeliharaan dari awal sampai akhir karena mencakup breeding untuk proses pembiakan dan pembibitan induk babi, serta pemeliharaan anak babi sampai mereka mencapai berat pasar (di Indonesia sekitar 100kg). Seluruh periode produksi ini memerlukan waktu sekitar 10 bulan, dimana 4 bulan untuk pembibitan dan kebuntingan dan 6 bulan untuk pembesaran sampai panen. Jika kita memilih menjalankan sistem ini, maka diperlukan modal dan tenaga kerja paling banyak, serta membutuhkan komitmen jangka panjang untuk bisnis babi.

Farrow-to-Feeder

Sistem ini melibatkan proses pembiakan dan pembibitan induk babi, kemudian anak babi yang dihasilkan dijual ke peternak lain untuk dibesarkan sampai panen. Anak babi biasanya dijual setelah lepas sapih dengan berat sekitar 13 – 30kg. Dibandingkan dengan sistem farrow-to-finish, sistem ini mengurangi kebutuhan fasilitas, modal, jumlah pakan dan limbah/kotoran yang ditangani. Sistem ini juga memungkinkan peternak untuk memaksimalkan jumlah induk babi atau  memperluas usahanya menjadi farrow-to-finish dimasa depan.

Kelemahan dari sistem ini adalah produsen harus mengikuti kondisi pasar babi yang fluktuatif, terutama pelaku usaha skala kecil yang cinderung mengikuti harga pasar. Oleh karena itu, biasanya sistem kemitraan dikembangkan para pemodal dan bekerja sama dengan para peternak skala kecil yang kesulitan dalam pengadaan bibit yang berkualitas baik dengan sistem kontrak kerja sama yang saling menguntungkan. Peternak biasanya hanya menyediakan tempat, tenaga kerja dan fasilitasnya sedangkan bibit dan sapronak lainnya akan disuplai oleh perusahaan inti, termasuk penjualan babi saat panen tiba.

Feeder-to-Finish

Sistem ini adalah pilihan yang paling simpel dari semua pilihan sistem produksi peternakan babi. Jadi sistem ini hanya membeli sapihan dari produsen untuk digemukkan sampai berat panen. Anak babi berat sekitar 13-30kg dibeli dari peternak pembibitan. Pemeliharaan juga relatif lebih mudah karena umumnya anak babi yang dipilih sudah disiapkan kondisinya dengan baik, sudah diberikan vaksin komplit sehingga resiko kematian juga lebih minimal. Sistem ini memungkinkan investasi modal minimum, persyaratan tenaga kerja rendah, dan tidak ada komitmen jangka panjang.

Di level peternak kecil, kita bisa menjalankan usaha secara mandiri ataupun bergabung dalam sistem kemitraan. Hal yang perlu diperhatikan saat kita memutuskan untuk mandiri tentunya adalah kualitas bibit dari sumber yang terpercaya dan kualitas pakan karena hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan dan kualitas babi potong yang akan dihasilkan. Hindari membeli bibit dari peternakan yang belum teruji kualitasnya, dan sebisa mungkin berasal dari satu peternakan untuk mengurangi potensi masalah kesehatan karena tantangan penyakit dan status kesehatan dari satu produsen dan lainnya bisa berbeda.

Hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjaga status kesehatan ternak babi kita antara lain  adalah membeli indukan/anak  babi dan bahan pakan dari sumber terpercaya serta terbukti bebas penyakit, menjaga fasilitas dalam kandang tetap bersih dengan sistem ventilasi yang memadai, menyusun program kesehatan (vaksinasi dan medikasi bersama dengan dokter hewan), menghindari kunjungan ke peternakan babi lain untuk mengurangi risiko penularan penyakit.

Praktek manajemen biosekuriti praktis diatas sangat penting untuk mengurangi resiko penularan penyakit.  Peternak umumnya mengabaikan hal-hal penting ini, padahal aset yang dipunyai jika terserang penyakit tentunya bukan keuntungan yang dihasilkan. Jangan sampai kita sudah membeli babi yang mahal tetapi lupa untuk “menjaga” status kesehatannya dengan mengabaikan biosekuriti, vaksinasi dan medikasi yang seharusnya dilakukan.

Setelah sistem produksi kita bisa memilah mana yang sesuai dengan kemampuan kita, lalu bagaimana dengan sistem perkandangannya? Disini kita akan coba membandingkan beberapa jenis kandang yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan.

Free range

Sistem ini seperti halnya padang penggembalaan sapi, dimana tidak ada struktur bangunan, babi memanfaatkan padang rumput sebagai sumber pakan walaupun tidak seefisien ruminansia.

Keuntungan sistem penggembalaan terbuka ini adalah membuka peluang untuk kostumer yang concern dengan animal welfare karena harganya lebih mahal. Babi yang dipelihara akan mampu mengekspresikan dirinya seperti halnya babi hutan yang hidup di alam bebas. Babi dapat beraktivitas dengan leluasa dalam mencari makan.

Kekurangan dari sistem ini adalah perilaku rooting yang berlebihan dari babi yang dapat menyebabkan masalah erosi tanah, resiko lepas dan menjadi babi liar yang sulit dikendalikan, masalah parasit internal dapat menjadi parah pada sistem penggembalaan yang tidak dikelola dengan baik, babi yang didomestikasi kemungkinan akan menderita karena cuaca ekstrem, serta resiko kontak dengan hewan liar cukup tinggi. Selain itu, pengelolaan padang gembalaan membutuhkan banyak waktu dan komitmen untuk membuatnya berhasil.

Hoop Barns

Digunakan untuk kandang pembesaran babi hingga mencapai berat pasar. Ini adalah pilihan lain bagi produsen untuk digunakan sebagai fasilitas produksi babi dimana lebih biayanya relatif lebih rendah. Kandang ini bisa menggunakan lantai beton atau tanah, dengan penambahan tempat pakan dan air minum yang mudah dibersihkan. Kondisi atap bisa dimodifikasi sesuai dengan ketersediaan bahan.

Keuntungan dari kandang ini  adalah struktur jangka pendek yang dapat dilepas setelah digunakan atau yang dapat disesuaikan untuk penggunaan lain, biaya relatif rendah sehingga pilihan yang tepat bagi yang modalnya terbatas, cocok untuk kapasitas 150 – 200 ekor finisher, bisa untuk  memanfaatkan sisa jerami sebagai alas tidur ternak. Mungkin juga memenuhi syarat untuk beberapa pasar khusus dengan harga premium.

Kekurangan model ini adalah pengamatan kelompok besar relatif lebih sulit, pakan kurang efisien selama cuaca dingin, hewan liar beresiko sebagai vektor penularan penyakit.

Confinement Building

Sistem ini berupa bangunan tertutup, dimana hal ini memungkinkan produsen untuk mengontrol banyak aspek untuk membuat kondisi nyaman sesuai kebutuhan ternak. Kandang closed house ini dibangun dengan mempertimbangkan praktik biosekuriti dan fasilitas yang lengkap untuk mencegah penyakit. Umumnya kandang ini sudah melibatkan teknologi terbaru dan memiliki sistem pemantauan ketat untuk membantu produsen memantau kesehatan dan ransum pakan babi yang diberikan.

Keuntungan dari sistem ini adalah kontrol pasokan babi yang lebih ketat, bisa mempraktekkan batch management dan sistem all in all out,  mengurangi risiko serangan penyakit, sistem pemantauan yang lebih dekat dan detail. Sedangkan kekurangannya adalah memerlukan pengetahuan manajemen perkandangan tambahan untuk memantau dan merawat babi di dalamnya dan biaya jauh lebih mahal.

Bagaimana sistem perkandangan di Indonesia?

Di banyak negara tropis, populasi peternak skala menengah kecil cukup banyak. Di Indonesia, di beberapa wilayah bahkan masih kita bisa menjumpai ternak babi berkeliaran dengan bebas mencari makanan atau dibesarkan di halaman belakang rumah (backyard farm) di mana mereka bergantung pada limbah untuk pakan ternak mereka. Umumnya mereka memelihara babi sebagai sampingan dengan metode pemeliharaan yang sangat sederhana bahkan mungkin tidak mempraktekkan biosekuriti dengan baik.

Tantangan di Indonesia terkait lokasi peternakan adalah kecinderungan untuk memelihara berdekatan antara 1 farm dengan lainnya. Pada area yang padat penduduk dan padat peternakan seperti ini, seharusnya up grade praktek manajemen yang sederhana harus dilakukan untuk membantu meningkatkan produktivitas dan kesehatan ternak babi ini.

Walaupun mungkin kapasitas kandang tidak banyak, tetapi seharusnya ternak kita juga mendapatkan perlakuan yang baik agar nantinya juga bisa memberikan hasil yang optimal. Jangan sampai peternakan kita mengalami gangguan yang mengakibatkan usaha kita rugi karena kelalaian kita dalam memelihara ternak yang asal-asalan.

Berikut adalah kondisi minimal yang idealnya terpenuhi untuk kandang pemeliharaan ternak babi, 1.) pagar keliling dengan atap yang baik untuk melindungi dari sinar matahari langsung atau cuaca dingin ekstrem, babi juga diberikan pakan dengan nutrisi yang baik dan praktek program kesehatan yang sesuai tantangan di kandang 2.) kandang sederhana setengah tertutup terbuat dari kayu dengan atap jerami dan lantai beton/tanah sudah cukup untuk memberikan kenyamanan ternak asal kebersihan dan sanitasinya terjaga 3.) jika kita memelihara di lingkungan yang panas, tempat berkubang mungkin bisa ditambahkan untuk memberikan suasana kandang mirip dengan habitat di alam, dimana babi bisa menurunkan suhu tubuhnya.

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber :https://rumahternak.com/2022/10/03/peternakan-babi-ideal/)

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Kasus ASF di dunia menjadi tantangan luar biasa bagi peternakan babi beberapa tahun terakhir ini. Populasi babi yang terkoreksi cukup dalam ini mengakibatkan suplai dan demand terhadap daging babi tidak seimbang dan mengakibatkan fluktuasi harga yang luar biasa. Cara menyikapi kejadian inipun berbeda-beda diantara para pelaku usaha. Di China, beberapa pengusaha melihat ini mungkin sebagai “peluang” karena kebutuhan daging babi dimasa akan datang pastinya akan sangat kurang dan siapa yang bisa suplai tentunya yang akan memetik hasilnya. Lalu strategi apa yang mereka lakukan untuk menghadapi ASF yang belum ada vaksinnya ini?

Berikut adalah resume dari langkah-langkah / point penting terkait proses repopulasi yang dilakukan dan mungkin bisa kita modifikasi dan sesuaikan dengan kondisi di Indonesia:

  1. Kecepatan adalah kunci – deteksi dini, tindakan cepat dan penanganan sumber infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran virus lebih lanjut dalam sistem produksi. Monitoring pergerakan babi pada daerah terdampak juga harus diperketat, dan perlakuan karantina plus pengujian berkala harus dilakukan dengan disiplin dan konsisten.
  2. Desinfeksi terhadap truk pengangkut babi – proses pembersihan, desinfeksi dan pengeringan
  3. Membuat perimeter – zone untuk menahan penyebaran virus secara sistematis : ‘zona wabah’ radius 1 km, ‘zona kontrol’ radius 3-5 km, dan ‘zona pengawasan’ radius >10 km (tergantung Geografis dan kepadatan babi)
  4. Larangan di zona kontrol – batasi akses orang luar yang tidak berkepentingan, dilarang menjual/pindahkan babi ke luar zona, dilarang menyembelih babi, menjual bangkai dan produk sampingannya, pengawasan lalu lintas pakan/bahan baku dan transportasi
  5. Perlakuaan penting di zona kontrol – menempatkan titik pemeriksaan dan desinfeksi di pintu keluar masuk lokasi terdampak dan zona kontrol, desinfeksi kendaraan yang keluar dari zona kontrol, ganti pakaian dan sepatu di pos pemeriksaan sebelum memasuki zona kontrol, dan singkirkan hewan liar.
  6. Perlakuan penting di zona wabah – bersihkan semua babi dan produknya dengan seminimal mungkin kontaminasi darah (virus ASF ditemukan dalam jumlah tinggi di dalam darah); bakar/kuburkan babi mati, produk babi, fomites dan semua yang terkontaminasi sedalam 4m, lalu tutup lobang dengan kotoran dan kapur, serta lakukan desinfeksi agar tidak mengundang hewan liar; proses ini sebisa mungkin dimulai dari lokasi yang paling parah untuk meminimalkan resiko penyebaran/kontaminasi; staf yang terlibat harus menerapkan protokol yang ketat (mandi, ganti baju dan alas kaki dll); lakukan pengendalian vektor
  7. Langkah desinfeksi yang tepat – virus ASF adalah virus ‘DNA enveloped’ yang kompleks dan tahan terhadap lingkungan. Agar desinfektan sepenuhnya efektif, maka sebelumnya harus dilakukan pembersihan semua bahan organik dengan deterjen, dikeringkan baru kemudian masuk ke proses desinfeksi; pastikan waktu kontak dan dosis sesuai rekomendasi, dan penguapan dengan suhu panas jika memungkinkan.
  8. Desinfektan yang terbukti mampu menonaktifkan virus ASF adalah natrium hidroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, glutaraldehyde, asam sitrat, yodium monoklorida, formaldehida, senyawa amonium kuarter dan kalium peroksimonosulfat. Konsultasikan ke distributor desinfektan anda ya untuk memastikan efektifitasnya terhadap ASF.
  9. Lakukan desinfeksi terhadap semua bahan dan fasilitas kandang yang terkontaminasi saat proses pembersihan memusnahkan babi
  10. Pembersihan intensif fase I – karena virus ASF sangat resisten, maka sekali lagi sangat penting untuk membersihkan dan mendesinfeksi dengan benar semua bahan yang mungkin telah bersentuhan dengan virus. Langkah fase I ini meliputi pembersihan mekanis semua bahan organik (pakan, feses, kotoran) dengan menggunakan sikat dan sekop, buang/bakar peralatan yang tidak dapat didisinfeksi dengan benar, semprotkan air ke semua permukaan, siram dengan deterjen, bilas dengan air dan biarkan waktu mengering serta semprot desinfektan ke semua permukaan dan naikkan suhu ruangan jika memungkinkan.
  11. Pembersihan intensif fase II – ulangi semua proses fase I, pastikan semua peralatan dan fasilitas bersih dan buang/bakar semua pakaian yang digunakan selama desinfeksi. Sedikit saya tambahkan disini, sharing dari kolega dokter hewan di China yang membantu proses repopulasi di sebuah farm besar menyebutkan bahwa, proses cleaning/pembersihan ini harus di test dengan ATP fluorescence detector sebelum masuk ke tahap desinfeksi. Jadi mereka harus melakukan swab terhadap semua permukaan kandang yang diduga masih terdapat cemaran patogen. Jika ternyata hasil deteksi ATP ini masih menunjukkan angka patogen yang melebihi ambang batas yang disarankan maka proses pembersihan harus diulang kembali.
  12. Pembersihan intensif fase III – desinfektsi semua permukaan dengan tekanan rendah atau menggunakan desinfektan bubuk (biarkan < 6 jam), tingkatkan suhu ruangan bila memungkinkan dan tutup area kandang
  13. Perlakuan di lingkungan luar kandang – bersihkan dan desinfeksi lingkungan dengan benar, cek tempat penampungan limbah/kotoran, cek sisa-sisan bahan baku/pakan dan tempat pakan/silo, bakar pakaian yang dipakai selama fase ini dan tutup lokasi kandang selama masa karantina sebelum mulai proses repopulasi.
  14. Bioassay – memulai kembali bisnis harus menjadi salah satu prioritas bagi setiap peternakan yang terkena ASF. Proses pengujian harus detail untuk memastikan patogen sudah tidak terdeteksi lagi. Investasi, daya dan upaya relatif besar untuk memastikan infeksi tidak terulang lagi. Peran otoritas lokal menjadi penting untuk mengatur kapan proses repopulasi bisa dimulai. Bioassay adalah metode analisis yang memastikan apakah sebuah peternakan cukup bersih untuk dihuni kembali.
  15. Memulai repopulasi dengan memasukkan hewan sentinel – pilih sumber hewan terpercaya dan konfirmasikan melalui pengujian laboratorium, atur transportasi dengan truk yang bersih dan pastikan sudah di desinfeksi, tempatkan karyawan untuk tinggal di dalam kandang selama masa observasi (60 hari) dan siapkan pakan sekaligus dari sumber yang terpercaya juga; mulai masukkan babi sentinel 5-10% dari kapasitas peternakan, lalu cuci dan desinfeksi mobil pengangkut babi, keringkan sebelum digunakan kembali.
  16. Perlakuan terhadap hewan sentinel – babi dibiarkan bebas mengakses semua area kandang sehingga memastikan bahwa lingkungan dalam kandang aman dari patogen yang mungkin terlewatkan saat proses pembersihan dan desinfeksi.
  17. Monitoring hewan sentinel – pantau selama 60 hari, lakukan pengujian PCR mingguan dengan jumlah statistik yang signifikan, periksakan semua hewan yang mati ke dokter hewan dan lakukan pengujian laboratorium terhadap ginjal, tonsil, kelenjar getah bening, paru-paru dan limpa; kumpulkan sampel darah dari semua babi di akhir periode 60 hari dan lakukan uji Elisa (cek antibodi) dan uji PCR (deteksi antigen)
  18. Jika semua terlewati selama fase 60 hari (periode karantina berakhir) dan setelah semua tes menunjukkan hasil negatif maka kita kemudian bisa memasukkan populasi babi selanjutnya sampai kapasitas yang diharapkan tetapi harus terus menjalankan program monitoring dan biosekuriti yang ketat karena vaksin belum ditemukan.

Jika dari China kita bisa belajar bagaimana mereka sukses dalam proses repopulasi pada peternakan besar, ternyata tidak demikian dengan contoh di Vietnam. Proses repopulasi pada peternakan skala kecil di Vietnam ternyata tidak kuasa untuk menahan gempuran virus ASF karena tindakan biosekuriti mereka yang relatif lemah. Hal ini akhirnya menyebabkan peternak mengalami kerugian ganda karena investasi mereka kembali direnggut oleh ASF. Kita tahu bahwa Vietnam terdampak ASF mulai Februari 2019, dan Oktober 2019 perusahaan skala besar disana sudah bersiap membantu peternak skala kecil untuk mulai usaha kembali.

Gejolak kenaikan harga yang sangat tinggi ini juga mendapat respon positif beberapa peternak kecil sehingga mereka berani membeli dan berencana memulai beternak kembali pada bulan November 2019. Namun apa yang terjadi, hanya dalam selang waktu 3 hari setelah babi diterima dikandang ternak tersebut sakit, mati dan dinyatakan positif ASF kembali. Mengapa bisa terjadi reinfeksi setelah sekian lama kandang dikosongkan (>6 bulan)? Mungkin jawabannya terletak pada proses pembersihan dan desinfeksi pasca ASF yang kurang baik.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari 2 contoh diatas? Secara umum pengendalian penyakit dalam pemeliharaan ternak melibatkan manajemen, vaksinasi dan biosekuriti. Jika kita berbicara ASF untuk saat ini yang belum ada vaksinnya, maka sudah seharusnya kita memaksimalkan perbaikan manajemen dan memperketat biosekuriti. Peternak kecil menjadi sangat beresiko mengingat kemungkinan besar implementasi faktor-faktor tersebut kurang maksimal. Selain itu, biasanya peternak di Indonesia rata-rata juga berada dalam satu lokasi yang sama dengan peternak lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat idealnya peternak dalam suatu komplek wilayah yang sama harus saling terbuka dan memiliki pemahaman yang sama dalam proses pengendalian penyakit ini agar semua populasi aman. Pembentukan kelompok ternak dan bimbingan teknis bisa menjadi sarana yang baik untuk memberikan update informasi kepada para peternak kecil sehingga tidak ada lagi peternak yang menjalankan usahanya “asal-asalan” yang pada akhirnya beresiko terhadap kelangsungan usaha peternak yang lain.

Akhir kata, untuk memulai usaha ternak kembali pasca ASF diperlukan proses cleaning dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama. Setelah itu, proses repopulasi bisa dilakukan idealnya setelah zona wabah sudah dikonfirm aman (lama waktunya tergantung situasi dilapangan) dan dilakukan monitoring terhadap kemungkinan kejadian penyakit dengan uji-uji laboratorium (ELISA, PCR dll). Sekali lagi, perbaikan manajemen dan biosekuriti memegang peranan penting dalam upaya pengendalian penyakit ASF ini, mengingat vaksin masih dalam tahap penelitian.

Sukses selalu !!

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2021/01/09/langkah-langkah-repopulasi-pasca-outbreak-african-swine-fever-asf/).

 

360 Degree – Swine Diseases

ADHMI Continuing Education Team bekerjasama dengan CEVA Animal Health telah mengadakan SEMINAR ONLINE , melalui ZOOM & YouTube Livestreaming. Seminar yang dipandu oleh Drh Teresia Metalestari, Moderator Drh Indra Nainggolan bersama Pembicara pakar dari Thailand Metta Makhanon, DVM., Ph.D dengan topik 360 Degree – SWINE DISEASES.

Tujuan:
1. Mengetahui sejumlah penyakit babi mempunyai kecenderungan terjadi berulang sepanjang masa.
2. Mengetahui upaya antisipasi pencegahan penyakit-penyakit babi.
3. Mengetahui pengalaman Pembicara setelah sukses menangani serangan virus ASF di Thailand

Seminar ini telah dilaksanakan pada:

Tanggal / Hari: 17 Desember 2022 / Sabtu
Waktu: Pk 0900 – 1200 WIB

 

Link Rekaman Seminar:

 

Materi Seminar:

360 degree Swine Diseases Dec2022 short HO2

Info dan keterangan lebih lanjut silakan menghubungi drh. Bintang Mas Kamdoro melalui WA# 0812 2610 4142

Managemen Kesehatan Ternak Babi : Implementasi Biosekuriti, Kunci Pasti Tangkal PMK

 

Pada hari ini, sabtu 10 Desembar 2022 telah dilaksanakan webinar kolaborasi yang melibatkan pemerintah Indonesia dan Australia, yaitu Departemen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian dan AIHSP (Australia Indonesia Health Security Partnership) serta PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) dan ADHMI (Asosiasi Dokter Hewan Monogastrik Indonesia).

Tema yang diangkat saat ini adalah :

MANAGEMEN KESEHATAN TERNAK BABI DI TENGAH WABAH PMK : Implementasi Biosekuriti, Kunci Pasti Tangkal PMK

Acara ini diawali dengan sambutan dari ketua ADHMI, ketua PDHI, Senior Advisor AIHSP dan dibuka oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Agenda ini tentunya menjadi awal yang sangat baik, karena melibatkan 3 nara sumber yang saling melengkapi, yaitu expert dari Thailand, Akademisi dan praktisi peternakan babi.

Untuk menyimak secara lengkap webinar saat ini, silahkan bisa menyimak rekamannya DISINI.

 

Terima kasih.

 

Eradikasi African Swine Fever (ASF) di Masa Lalu

Sejarah ASF hampir mencapai satu abad dan dalam periode ini beberapa elemen kunci dapat dikumpulkan dari sudut pandang epidemiologi. Penyakit ini terbatas di Afrika sampai akhir tahun 1950-an ketika muncul di Portugal pada tahun 1957. Setelah 2 tahun diam, penyakit ini muncul kembali di Lisbon pada tahun 1960 dan menyebar ke Semenanjung Iberia dan negara Eropa lainnya, yaitu Spanyol pada tahun 1960; Prancis pada tahun 1964, 1968 dan 1974; daratan Italia pada tahun 1967, dengan pengulangan pada tahun 1969 dan 1983; Malta pada tahun 1978; Belgia pada tahun 1985; dan Belanda pada tahun 1986. Antara 1971 dan 1980, ASF muncul di beberapa negara Amerika, yaitu Kuba pada 1971 dan kembali pada 1980; Brasil pada 1978; Republik Dominika pada 1978 dan Haiti pada 1979. Dahulu, baik di negara Eropa maupun Amerika penyakit tersebut telah berhasil dibasmi, sedangkan pada epidemi saat ini hanya Republik Ceko yang berhasil memberantas penyakit pada populasi babi hutan.

Pencegahan, deteksi dini, reaksi cepat, dan komunikasi memainkan peran penting dalam pengendalian ASF. Surveilans yang tepat mampu mendeteksi penyakit secara dini baik pada hewan peliharaan maupun liar, dan implementasi rencana yang terkonsolidasi dengan baik dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengendalikan penyakit ini. Sebuah penelitian dengan tinjauan sistematis telah dilakukan untuk mendapatkan pelajaran yang dapat diambil melalui sejarah pemberantasan penyakit ASF secara global, kemudian kita bisa mengevalusi dan menetapkan strategi mana yang berhasil untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan ASF, serta kesalahan apa yang tidak boleh diulangi. Berikut beberapa strategi pengawasan dan pengendalian yang diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk pemberantasan ASF di masa lalu yang bisa menjadi acuan bagi kita dalam menghadapi bahaya ASF.

Laporan dari Belgia, Brasil, Kuba, Republik Dominika dan Haiti, Prancis, Italia, Malta, Portugal, dan Spanyol bisa menjadi referensi bagi kita dalam pengendalian ASF. Terlepas dari sumber daya ekonomi yang dialokasikan dan upaya yang dilakukan, pemberantasan ASF berhasil dilakukan hanya di 8 negara dalam kurun waktu antara tahun 50-an dan 90-an di abad ke dua puluh ini. Dalam konteks epidemiologi dan budaya yang berbeda, proses pengendalian inipun mempunyai rentang waktu yang relatif besar, yaitu <1 tahun sampai 40 tahun. Strategi surveilence klasik, seperti pengawasan aktif dan pasif baik di tingkat peternakan dan rumah pemotongan hewan bersama dengan tindakan biosafety dan sanitasi konvensional terbukti mampu meredam kasus ASF. Hal ini menekankan bahwa data tentang surveilans dan populasi hewan sangat penting untuk perencanaan pengawasan yang efektif, dan menargetkan strategi pengendalian dan intervensi yang tepat.

Berikut negara-negara yang berhasil dalam pengendalian ASF beserta ringkasan strategi yang dilakukan:

Belgia (Maret 1985 / Mei 1985). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko karena penggunaan jarum suntik yang tidak tepat. Strategi intervensi yang dilakukan adalah penyembelihan hewan di peternakan yang terinfeksi dan pemusnahan/culling semua hewan yang terinfeksi maupun dan tidak terinfeksi, kemudian dilakukan pembersihan dan desinfeksi. Surveilence aktif dan pasif dilakukan babi sentinel di peternakan untuk mendemonstrasikan masih ada tidaknya virus ASF di kandang.

Terkait needle management, sebenarnya buka hanya menjadi issue penyebab penularan ASF tetapi juga penyakit-penyakit lainnya. Idealnya, penggunaan jarum itu 1 jarum untuk 1 ekor babi atau minimal 1 indukan dan anak-anaknya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko penularan akibat penggunaan jarum suntik yang digunakan pada semua kawanan.

Brasil (Mei 1978 / Des 1984). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari makanan terkontaminasi yang digunakan untuk pakan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) larangan pergerakan/lalu lintas babi di dalam dan dari daerah yang terkena serangan ASF; larangan kendaraan dan pergerakan manusia; larangan pembukaan pertunjukan/pameran babi dan pasar babi; larangan memberi makan limbah sebagai pakan babi; 2.) pemeriksaan di pelabuhan, bandara, dan kantor pos/kurir dengan lebih memperhatikan area berisiko; 3.) pemusnahan dan pembakaran semua babi yang berada di daerah terdampak ASF; 4.) membersihkan dan mendisinfeksi kendaraan, gedung, dan benda yang terkontaminasi dan 5.) program pelatihan. Untuk strategi surveilence, aktif dilakukan di rumah pemotongan hewan (tes serologi), di tingkat hewan (pengawasan khusus untuk perdagangan di beberapa wilayah berisiko; uji di tempat asal dan tujuan); dan di tingkat kawanan (sertifikasi kandang yang akan melakukan perdagangan/pameran).

Kuba Mei 1971/1980. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko berasal dari kontak antara kompartemen berbeda dari kandang produksi babi yang memiliki tingkat biosekuriti yang berbeda. Strategi intervensi yang dilakukan saat epidemi 1971 dan 1980 adalah 1.) karantina dan larangan pergerakan babi, larangan swill feeding; 2.) pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan babi sehat yang bersentuhan, serta pemotongan semua babi dalam radius 5 km dan pemotongan semua babi milik pribadi dengan pemberian kompensasi sebagian; 3.) pembersihan dan desinfeksi bangunan, kendaraan pengangkut, dan penggunaan alat pelindung diri; 4.) pelatihan diagnosis; 5.) pengendalian jalur keluar masuk melalui rel kereta api, jalan raya, kapal, dan pesawat.

Strategi intervensi untuk radius 10–15 km di sekitar tempat tertular adalah 1.) pemberian kompensasi untuk semua babi yang dimusnahkan; 2.) transportasi dengan tindakan biosekuriti tinggi; 3.) pembatasan pergerakan semua babi, komoditas, manusia, dan kendaraan; 4.) sensus lengkap semua populasi babi.

Strategi surveilence yang dilakukan adalah 1.) Risk Base Surveillance dengan pembagian zona resiko berdasarkan karakteristik geografis dan politik serta kepadatan produksi daging babi; 2.) pasif surveilence dengan mengevaluasi kejadian kematian pada babi; 3.) aktif surveilence dengan mengevaluasi babi sentinel di farm dan RPH; 4.) fase pemberantasan dengan melakukan aktif dan pasif surveilance babi sentinel di tingkat peternakan, lengkap dengan pendekatan uji diagnosis dan pemeriksaan di RPH; 5) fase repopulasi / rencana pemulihan di daerah yang terkena dampak dengan melakukan surveilence aktif babi sentinel untuk membuktikan masih ada tidaknya virus di lapangan.

Republik Dominika (1978/1981) & Haiti (1978/1982). Model penularan dari babi ke babi. Strategi intervensi yang dilakukan Republik Dominika adalah total depopulasi babi, sedangkan Haiti adalah dengan pemusnahan dengan kompensasi menggunakan tentara militer, pembersihan dan desinfeksi, serta pelatihan dan pendidikan umum untuk berbagai pemangku kepentingan dan kerjasama dengan penduduk di pedesaan. Strategi surveilence yang dilakukan Republik Dominika dan Haiti adalah aktif surveilence dengan menggunakan babi sentinel untuk proses repopulasi.

Prancis (1964/1964) dan (1974). Model penularan babi ke babi. Strategi pasif surveilence dilakukan dengan eksplorasi termal dan pengambilan sampel darah hewan yang positif.

Italia (1967 / Juni 1967 1969 1983). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko pemberian pakan babi dari limbah makanan yang terinfeksi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi, serta stamping out di peternakan yang terinfeksi.

Malta Maret 1978 / April 1978. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko adalah memberi makan babi yang terinfeksi / swill feeding serta waktu/proses deteksi dan pelaporan penyakit yang lama. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) kebijakan pemotongan diterapkan secara ketat (larangan pemotongan) dengan kompensasi; 2.) stamping-out, pembatasan pergerakan babi, karantina hewan dan bangunan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, pemindahan bangkai dan pembakaran; 3.) penelusuran wabah; 4.) larangan penjualan daging babi dan larangan swill feeding. Aktif surveilence dilakukan di rumah potong hewan (pengambilan serum) dan di tingkat peternakan.

Portugal (Epizootik Mei 1957 / Juni 1958 dan Epizootik April 1960 / November 1999). Model penularan dari babi ke babi dan juga kutu dengan faktor resiko adalah transportasi dan penggunaan yang tidak tepat dari limbah makanan yang terkontaminasi, serta pergerakan lalu lintas hewan yang tidak terkendali. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) stamping-out di dalam peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi; 2.) pembersihan dan desinfeksi kandang, pengangkutan, dan penggunaan alat pelindung diri; 3.) pembatasan pergerakan babi dan produk babi dari zona tertular atau di bawah pengawasan; larangan pergerakan babi dan produk babi atau produk sampingan babi dari zona tertular; 4.) larangan aktifitas di pasar dan pameran di zona tertular dan diduga tertular, serta larangan swill feeding dan repopulasi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah pemberitahuan wajib untuk kasus yang dicurigai dan dikonfirmasi.

Spanyol (1960 / September 1994). Model penularan dari babi ke babi dan kutu dengan faktor resiko adalah kontak antar babi yang terinfeksi dan adanya hubungan antara kutu O. erraticus dan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah stamping out di peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi, tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi seperti pembuatan pagar, pembuangan kotoran secara aman, serta proses pembersihan dan desinfeksi. Strategi pada fase pemberantasan, dilakukan strategi aktif surveilence di rumah potong hewan dan di tingkat peternakan, sedangkan pada fase repopulasi dilakukan surveilence pada babi.

Dari semua contoh dan pengalama masa lalu diatas, kita bisa belajar bagaimana sebenarnya ASF ini dapat dikendalikan dan diberantas melalui tindakan pengawasan dan pengendalian klasik. Tindakan klasik didasarkan pada metode pengendalian penyakit, termasuk strategi pengawasan, penyelidikan epidemiologi, penelusuran dan pemusnahan babi di kandang yang terinfeksi, dikombinasikan dengan tindakan karantina dan biosekuriti yang ketat pada babi domestik, kandang, dan kontrol pergerakan hewan. Namun demikian, fakta lainnya juga menunjukkan bahwa strategi ini sulit dipertahankan dalam waktu lama dalam situasi endemik dimana ASF menyerang wilayah yang lebih luas. Keterlibatan populasi babi hutan dalam penyebaran virus juga menghambat pemberantasan ASF dan hal ini merupakan faktor risiko yang relevan dan mendukung terjadinya penyebaran virus ke seluruh perbatasan negara. Oleh karena itu, strategi yang efisien untuk pencegahan atau pengendalian ASF harus didasarkan pada pengetahuan yang mendalam tentang populasi babi domestik dan babi liar, kondisi lingkungan dan jenis sektor babi. Mengingat penyebaran ASF ini juga tidak mengenal batas, maka sebaiknya semua strategi harus memperhitungkan kebijakan bersama dalam menetapkannya sehingga semua pihak bisa mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama dalam usaha pengendalian ASF.

Bagaimana dengan perkembangan penelitian vaksin ASF saat ini? Pengamat industri mengatakan bahwa saat ini masih belum tersedia vaksin yang efektif untuk melawan virus ASF, peternakan babi dan RPH sangat bergantung pada biosekuriti. Desinfeksi lingkungan menjadi sesuatu yang penting selain pengawasan ketat terhadap barang yang mungkin terkontaminasi seperti pakan ternak, kandang babi, dan kendaraan yang mengangkut babi dan lain-lain. Vaksin ASF yang saat ini sedang dikembangkan oleh para peneliti di seluruh dunia, termasuk di China, UK, Vietnam dan juga mungkin di Indonesia. Banyaknya faktor ketidakpastian yang belum terjawab tentang karakter ASF inilah salah satu penyebab vaksin masih dalam fase penelitian dan belum bisa dikomersialisasikan dalam waktu dekat.

Semoga kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu dan siap melakukan strategi yang tepat guna mencegah serangan ASF. Saatnya semua pihak bergandengan tangan untuk menentukan kebijakan yang terbaik untuk menjaga peternakan babi kita.

Badai pasti berlalu!!

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2020/11/07/bagaimana-proses-eradikasi-di-masa-lalu-dan-update-perkembangan-vaksin-saat-ini/ )

 

 

Kondisi Peternakan Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Serangan ASF saat ini tidak hanya dirasakan di Indonesia saja, tetapi hampir seluruh peternakan babi di dunia mengalami kehancuran akibat adanya outbreak penyakit ini. Lalu bagaimana kondisi peternakan secara umum dengan adanya kejadian ini?

 

Sejarah kasus ASF

Sebelum kita melihat kondisi peternakan di dunia saat ini, mari kita flashback sejenak kejadian outbreak ASF didunia dalam beberapa tahun terakhir. Gambaran sejarah tentang situasi ASF sejak 2016 menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dalam jumlah wabah telah diidentifikasi. Data update per juni 2020 dari organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) menyampaikan bahwa pada periode 2016-2020 ini, kejadian ASF sudah dilaporkan dari Afrika, Eropa, dan Asia dengan total 30% (60/201) negara.

Di Eropa, banyak negara yang melaporkan kejadian pertama penyakit itu sejak 2016. Mulai dari Moldova pada September 2016, Republik Ceko pada Juni 2017, Rumania pada Juli 2017, Hongaria pada April 2018, Bulgaria pada Agustus 2018, Belgia pada September 2018 (peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1985), Slowakia pada Juli 2019, Serbia pada Januari 2020 dan Yunani pada Februari 2020. September 2020, Jerman mengumumkan kejadian ASF pada populasi babi liar di wilayah perbatasan dengan Polandia.

Di Asia dan Pasifik, China menjadi negara pertama yang terkena pada Agustus 2018, Mongolia pada Januari 2019, Vietnam pada Februari 2019, Kamboja pada Maret 2019, Hong Kong pada Mei 2019, Korea Utara pada Mei 2019, Laos pada Juni 2019, Myanmar pada Agustus 2019, Filipina pada Juli 2019, Korea Selatan pada September 2019, Timor-Leste pada September 2019, Indonesia pada November 2019, Papua Nugini pada Maret 2020 dan India pada Mei 2020.

 

Kondisi Umum sebelum ASF

Selama tiga dekade terakhir, sebenarnya produksi babi telah tumbuh cepat dari peternak kecil, menengah sampai skala industri di banyak negara Asia Pasifik. Perkembangan teknologi, pengetahuan, dan inovasi di peternakan babi telah mendorong peningkatkan manajemen, sistem perkandangan, formulasi makan dan lain-lain. Performa yang lebih baik ini dapat disebabkan oleh efisiensi galur dan pengelolaan genetik yang lebih baik yang mengarah pada peningkatan produktivitas ternak babi. Namun demikian tipikal peternakan di Asia cinderung masih menggunakan sistem yang boleh dibilang tradisional, menjadi salah satu penyebab belum optimalnya produktifitas ternaknya. Performa ini tentunya masih kalah dengan negara maju yang sudah menggunakan sistem pemeliharaan modern.

Di Indonesia, sistem produksi skala besar dan menengah juga telah dipraktekkan, namun demikian jumlahnya masih kalah jauh dari sistem tradisional skala kecil. Sama halnya di Thailand, tahun 2018 peternak babi dengan kapasitas < 50 babi cukup banyak (93,51%), sedangkan peternak skala besar dibagi lagi menjadi peternakan kecil kapasitas 50-500 babi (4,98%), peternakan sedang kapasitas 500-5000 babi (1,37 %), dan peternakan besar kapasitas >5 000 babi (0,13%).

Area utama produksi babi berada di Asia, Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia. China memiliki > 50% populasi babi dunia dan dikenal sebagai negara penghasil dan sekaligus konsumen babi terbesar di dunia. Pada tahun 2016, konsumsi daging babi di China mencapai ~ 54,98 juta ton (sekitar 1,62 juta ton daging babi masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri).

 

Dampak Penyebaran ASF

China, sejak wabah ASF pertama dilaporkan Agustus 2018, >1 juta babi telah dimusnahkan dalam upaya menghentikan penyebaran ASF dan berdampak langsung kepada peternak kecil untuk menutup usaha ternak mereka. Kehilangan populasi babi ini tidak hanya terjadi di peternakan yang terinfeksi tetapi juga produsen yang area peternakannya berada di dalam zona terdampak ASF karena juga harus ikut dimusnahkan. Rabobank memperkirakan produksi daging babi China turun 25% pada 2019 dan 10-15% pada 2020. Hampir 70% dari semua wabah ditemukan pada peternak kecil yang memiliki populasi < 50 babi karena kurangnya kesadaran mereka tentang penerapan biosekuriti yang tepat. ASF kemudian menyebar cepat dalam waktu sekitar 3 bulan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya kontrol pergerakan babi hidup, kurangnya kapasitas deteksi cepat ASF, karantina hewan yang tidak memadai, dan lemahnya penegakan larangan pengangkutan. Selain itu, terbatasnya ruang untuk pembuangan babi dan bangkai yang terinfeksi memaksa peternak di banyak daerah gagal dalam pengelolaan bangkai ternak yang terinfeksi dengan tepat sehingga mengakibatkan terjadinya pembuangan babi mati di jalan, sungai, atau di hutan. Situasi ini juga membuat para peternak panik dan menjual babi mereka secepat mungkin untuk mengamankan uangnya. Hal ini yang akhirnya menyebabkan ternak babi dan produk babi yang terkontaminasi berputar dalam rantai pasokan dan menyebar ke seluruh China dan negara tetangga.

Dampak lain yang dirasakan adalah perubahan yang dramatis pada fluktuasi harga daging babi. Karena produksi daging babi China sangat terganggu, mengakibatkan harga daging babi mencapai titik tertinggi (naik 47% pada agustus 2019) dan kemudian diikuti dengan peningkatan permintaan sumber protein lain seperti daging ayam dan produk budidaya. Karena permintaan yang tinggi ini akhirnya pengendalian lalu lintas produk babi hidup dan produk babi antar wilayah di China sangat sulit.

Adakah support dari pemerintah? Untuk mempercepat pemulihan dan pengembangan produksi babi, pemerintah China pada awal bulan Desember 2019 merilis “action plan” yang akan dilakukan dalam 3 tahun. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan ternak babi, menghentikan lonjakan harga babi, memastikan pasokan daging babi stabil, memulihkan rata-rata kapasitas produksi tahunan pada akhir 2020, dan mencapai pemulihan penuh pada tahun 2021.

Rencana besar pemerintah China ini meliputi dukungan pembangunan peternakan babi skala besar, mengamankan lahan untuk peternakan babi, membantu peternak kecil dan menengah melalui pola hubungan kemitraan, waralaba, atau sewa dengan perusahaan produksi babi besar, mempromosikan penilaian dampak lingkungan, memperkuat pencegahan dan pengendalian penyakit hewan utama lainnya, membangun dan meningkatkan sistem manajemen resiko penyakit hewan, serta mendukung pembentukan zona bebas penyakit / komunitas. Mereka juga membuka hotline ASF untuk pelaporan jika ada kasus di lapangan.

Sharing pengalaman dari kolega di China, untuk proses repopulasi disana memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk memastikan kandang aman. Proses cleaning/pembersihan dan desinfeksi menjadi kunci penting sebelum proses repopulasi. Setelah proses cleaning, mereka harus melakukan evaluasi dengan serangkaian test dan inspeksi dari pihak terkait. Jika ternyata hasilnya masih belum memenuhi syarat maka proses pembersihan harus diulangi lagi sebelum masuk ke tahapan proses desinfeksi. Proses repopulasi juga dilakukan bertahap dengan memasukkan babi sentinel dan dimonitor secara ketat. Jika populasi sentinel aman, baru dilanjutkan memasukan babi batch selanjutnya sampai populasi yang ditargetkan terpenuhi.

 

Vietnam, Februari 2019 adalah wabah ASF pertama kali dikonfirmasi di provinsi utara Vietnam. Virus ASF yang ditemukan ini memiliki kemiripan dengan strain dari China. Meskipun resiko penularan ini telah diprediksi sebelumnya, strategi dan implementasi pencegahan/pengendalian penyakit ASF ini tidak mampu menghalangi penyebarannya. Perdagangan, perjalanan manusia antar negara, pergerakan hewan dan produk hewan masih sering terjadi dan cukup rumit untuk mencegah resiko penularan dan pengendalian ASF.

Ciri khas virus ASF adalah persistensi jangka panjang dan kelangsungan hidup virus yanag cukup lama dalam makanan terkontaminasi yang berasal dari babi yang terinfeksi. Jika pemeriksaan barang bawaan dari lalu lintas manusia tidak dilakukan dengan baik maka akan meningkatkan resiko penularan ASF juga. Kejadian penyebaran ASF di Vietnam relatif cukup cepat. Epidemi mencapai puncaknya dan menyebar ke lebih dari 8.200 komunitas ternak di seluruh negeri dan jumlah ternak yang terdampak sekitar ~ 6 juta ekor babi (21,5%).

Produksi daging babi sangat penting bagi masyarakat Vietnam. Kegiatan sosial ekonomi masyarakat ini terkait juga dengan kebijakan, program ketahanan pangan, pakan ternak, dokter hewan, lapangan pekerjaan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, transportasi, dan kegiatan terkait lainnya. Akibat penurunan volume produksi ternak babi ini mendorong pertumbuhan pesat produksi unggas (16,5%), ruminansia (>5%), dan hewan ternak lainnya (>3%), sedangkan angka impor daging babi yang meningkat pesat pada tahun 2019 (63,0%).

Banyak solusi telah diterapkan pemerintah Vietnam, seperti restrukturisasi sektor peternakan, model produksi daging babi, rantai pasokan lokal yang terpusat dan terkontrol, dan peningkatan pencegahan penyakit dengan meningkatkan biosekuriti di berbagai tingkatan untuk mengurangi resiko ASF dan upaya mereproduksi kapasitas pasokan daging babi. Dalam jangka panjang, kondisi yang diperlukan untuk repopulasi/restocking ternak babi dengan berfokus pada biosekuriti yang ketat akan menjadi tantangan tersendiri bagi peternakan skala kecil menengah. Untuk menjaga area bebas dari penyakit diperlukan upaya bersama dan juga investasi yang tidak sedikit, selain juga faktor ketersediaan bibit yang baik.

Repopulasi merupakan strategi implementasi awal untuk mempersiapkan skenario kekurangan daging babi. Yang harus dilakukan sebelumnya adalah penelitian/evaluasi untuk mengklarifikasi masalah utama termasuk model peternakan yang sesuai di daerah yang terkontaminasi virus ASF, prosedur pengujian bebas penyakit untuk populasi kembali, analisa resiko pada rantai pasokan, dan evaluasi resiko air/pakan yang terkontaminasi.

Keberadaan babi liar/babi hutan mungkin juga harus dikaji lebih dalam apakah mempunyai peranan besar dalam penularan ASF ke babi domestik seperti di negara Eropa. Program pelatihan dan pendidikan teknis idealnya juga diberikan kepada otoritas lokal, dokter hewan, kelompok peternak dan semua yang terlibat untuk meningkatkan pengetahuan tentang managemen secara umum dan program pengendalian penyakit, terutama ASF. Pada akhirnya, penelitian tentang pengembangan vaksin dan obat antivirus merupakan strategi dan harapan yang lebih proaktif untuk pengendalian penyakit saat ini bagi para peternak babi di negara yang terinfeksi.

 

Thailand, salah satu negara yang sebenarnya mampu bertahan relatif lebih lama dibandingkan negara di Asia lainnya. Namun demikian, besarnya upaya pemerintah dalam menangkal masuknya ASF ini akhirnya kandas juga. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah karena kondisi outbreak negara tetangga yang tidak kunjung membaik sehingga biosekuriti yang dibangun akhirnya mengalami kegagalan juga.

Wujud support pemerintah Thailand dalam upaya mencegahan wabah ASF pada waktu itu adalah menyetujui anggaran 150 juta baht (USD 4,7 miliar) untuk persiapan keadaan darurat di tingkat nasional dengan melibatkan kerjasama antara Dinas Peternakan dengan instansi terkait, peternak babi, dan pihak swasta. Rencana terdiri dari tiga fase, yaitu pra wabah, wabah, dan pasca wabah.

Anggaran ini terutama untuk pengendalian faktor resiko yang terkait dengan pengenalan ASF, yaitu perpindahan ternak babi dan produk babi ilegal di sepanjang daerah perbatasan, pengawasan wisatawan/pengunjung dari negara-negara yang terkena ASF, perlakuan terhadap kendaraan, peralatan, ternak babi, makanan, dan pakan dari area berisiko. Selain itu, pengembangan diagnosis penyakit, pembentukan jaringan laboratorium, dan peningkatan kesadaran masyarakat juga disertakan terutama terhadap peternak skala kecil. Standar biosekuriti di peternakan juga dilakukan dengan mendorong investasi tindakan karantina, manajemen pemeliharaan, pelatihan, program sanitasi dan disinfeksi.

Dari kondisi ini kita juga bisa belajar bahwa pengendalian dan pencegahan kasus ASF akan relatif sulit jika dilakukan hanya oleh segelintir peternak saja dalam suatu wilayah yang padat peternakan babi.

 

Indonesia, Pemerintah mengumumkan outbreak ASF pertama di Medan, Sumatra Utara akhir tahun 2019. Kasus ini dalam pengamatan dan informasi di lapangan pada akhirnya menyebar ke daerah-daerah kantong peternakan babi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur yang merupakan daerah populasi terbesar ternak babi di Indonesia juga ikut terdampak.

Sampai saat ini, hampir semua wilayah Indonesia yang mempunyai populasi ternak babi sudah merasakan dasyatnya kehancuran karena ASF. Penyakit ASF ini menjadi ancaman nyata bagi populasi ternak babi kita yang sudah mencapai 8,5 juta sebelum wabah ini datang. Estimasi penurunan populasi ternak babi karena ASF ini diperkirakan minimal 30%, atau bahkan lebih lagi.

Karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang baik dan aman untuk pencegahan ASF, maka perlakuan perbaikan manajemen dan biosekuti harus diperketat. Jika sampai ada kasus, maka diharuskan melakukan langkah isolasi hewan sakit dan peralatan serta idealnya  dilakukan pengosongan kandang selama minimal 2 bulan. Untuk perlakuan babi yang mati karena penyakit ASF sebaiknya dimasukkan ke dalam kantong dan harus segera dikubur oleh petugas untuk mencegah penularan yang lebih luas, tidak menjual babi/ karkas yang terkena penyakit ASF serta tidak mengkonsumsinya di area kandang babi.

Berdasarkan kajian analisa risiko, faktor yang menyebabkan masuknya ASF ke Indonesia diantaranya adalah melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya, penggunaan sisa-sisa katering transportasi internasional baik dari laut maupun udara untuk pakan ternak tanpa perlakuan, orang yang terkontaminasi virus ASF dan riwayat kontak dengan babi di lingkungannya.

Langkah strategis utama dalam mencegah terjadi ASF sekali lagi adalah melalui penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik serta pengawasan yang ketat dan intensif  untuk daerah yang berisiko tinggi. Upaya deteksi dini juga dilakukan dengan mengoptimalkan petugas lapangan dan penyediaan reagen untuk mendiagnosa ASF.

Pemerintah melalui laboratorium Kementerian Pertanian yakni Balai Veteriner dan Balai Besar Veteriner di seluruh Indonesia juga telah mempersiapkan support terkait uji ASF dengan standar internasional. Selain itu, pemerintah juga mengkaji untuk kebijakan ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. Pemerintah menghimbau agar semua provinsi dengan populasi babi yang tinggi selalu meningkatkan kewaspadaan dan siap siaga terhadap resiko kejadian penyakit ASF dan terus aktif melakukan sosialiasi kepada peternak serta advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.

 

Tantangan pasca ASF

Setelah wabah ASF, ketahanan pangan global dihadapkan pada kondisi suplai dan permintaan babi/produk babi yang tidak seimbang. Kekurangan ketersediaan daging babi saat ini berdampak pada harga daging babi dan mengubah perilaku konsumsi daging ke sumber protein alternatif lainnya. Uni Eropa telah menjadi benua teratas pengekspor produk daging babi setelah wabah ASF di Asia, selain Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil. Secara bisnis ini sebenarnya adalah peluang, tinggal bagaimana kita mempersiapkan strategi untuk meminimalkan resiko ASF.

Untuk memulai usaha ternak babi kembali pasca ASF, perbaikan manajemen, proses sanitasi dan desinfeksi, program biosekuriti. Dampak kenaikan harga bahan pakan terhadap biaya produksi ternak juga akan berpengaruh pada kekuatan investasi masing-masing pelaku usaha, mengingat 60-70% biaya produksi babi terserap pada biaya pakan. Kondisi ini menyebabkan beberapa peternak skala kecil menengah berpikir ulang untuk melakukan repopulasi kembali, atau bahkan sudah melirik usaha yang lain.

Transformasi industri babi dari peternakan skala kecil ke peternakan skala menengah dan besar bersama dengan perbaikan sistem produksi yang didukung dengan manajemen serta biosekuriti yang lebih baik akan bertahan di masa depan. Jika semua aspek diatas bisa ditangani, kendala pasca ASF selanjutnya adalah terbatasnya ketersediaan calon induk yang baik untuk memulai restocking. Dengan keterbatasan bibit yang bebas ASF, maka memilih suplier yang terpercaya dan membeli babi yang abebas dari penyakit menjadi sangat krusial. Lakukan monitoring kesehatan ternak secara berkala untuk memastikan status kesehatannya terjamin. Pastikan juga untuk tetap memperhatikan tantangan penyakit selain ASF yang berpotensi mengganggu. Penerapan program vaksinasi dan medikasi bisa dioptimalkan untuk mengendalikan penyakit-penyakit tersebut sehingga resiko kerugian bisa diminimalkan.

 

Kesimpulan

Penyakit ASF memang menjadi predator yang mematikan bagi para peternak babi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita sudah banyak mendengar, membaca dan menyaksikan sendiri, bahwa penyebaran ASF yang cepat ini mengakibatkan hilangnya populasi babi yang sangat besar dan berdampak signifikan terhadap pasokan protein global. Ada sedikit pergeseran perilaku konsumsi daging babi ke sumber protein alternatif lainnya mengingat harga yang mungkin tidak terjangkau karena suplai terbatas.

Kita harus belajar dari pengalaman dan sejarah untuk mengawali semuanya kembali dengan sikap optimis. Dalam skenario apapun, segmen yang paling terkena dampak dan paling rentan dari populasi babi adalah peternak skala kecil. Pendampingan dan transformasi industri babi menjadi peternakan skala menengah dan besar bersama dengan sistem manajemen produksi dan biosekuriti yang baik akan membantu para peternak untuk kembali bangkit dari keterpurukan ini dan berkembang di masa depan. Walaupun strategi pengendalian penyakit dari berbagai sistem produksi babi di Asia memang menjadi tantangan tersendiri, tetapi dengan komitmen dan kerja sama semua pihak terkait tidak mustahil perbaikan dan pemulihan pasca ASF ini akan berhasil.

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2020/12/19/bagaimana-kondisi-peternakan-babi-pasca-outbreak-african-swine-fever-asf/ )

 

Penyakit Mulut dan Kuku pada Babi

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit virus yang sangat menular. Ini adalah penyakit hewan lintas batas atau transboundary animal disease (TAD) yang sangat mempengaruhi produksi ternak dan mengganggu perdagangan hewan dan produk hewan regional dan internasional. Penyakit ini diperkirakan beredar di 77% dari populasi ternak global, di Afrika, Timur Tengah dan Asia, serta di daerah terbatas di Amerika Selatan.

Sepert halnya pada sapi, gejala PMK yang mirip juga teramati pada babi, yaitu ditandai dengan vesikel pada kaki, moncong, dan mulut. Berbagai macam hewan liar dan domestik, terutama mamalia berkaki terbelah, rentan terhadap PMK. Kuda adalah hewan yang resisten terhadap PMK sehingga ini bisa menjadi acuan dalam diagnosa penyakit. Di negara-negara di mana PMK terjadi secara endemik dan populasi babi relatif banyak, maka babi juga beresiko terinfeksi. Semua kelompok umur rentan.

Jika kita melihat sejarah, PMK ini sudah teramati tahun 1546. PMK menyebabkan kerugian besar pada ternak di seluruh dunia, bukan karena jumlah kematian yang terjadi tetapi lebih kepada hilangnya produktivitas ternak. Negara yang terjangkit PMK, akan mengalami embargo ekspor karena produk yang dihasilkan umumnya akan ditolak. Upaya pembebasan terhadap status PMK juga tidak murah, depopulasi seluruh ternak yang bertujuan untuk menghambat penularan secara tidak langsung juga menghancurkan industri babi di negara-negara ini.

Terkait ternak babi, kejadian penyakit vesikular tidak bisa disimpulkan langsung sebagai PMK. Lesi vesikular ini harus dikonfirmasi dengan uji laboratorium karena kemiripan yang ada. Babi perlu mendapatkan perhatian khusus karena mereka lebih rentan terhadap penyakit vesikular daripada spesies ternak lainnya. Selain itu, babi juga bisa berperan dalam penyebaran PMK dengan memproduksi aerosol virus dalam jumlah yang besar.

Apa penyebab dari PMK? Aphthovirus dari keluarga Picornaviridae adalah agen penyakit yang menyebabkan PMK. Setidaknya ada 7 jenis virus yang berbeda secara imunologis, yaitu A, O, C, South African Territory (SAT) 1, 2, 3 dan Asian 1. Lebih dari 60 subtipe virus PMK telah diidentifikasi dan subtipe baru terus berkembang dengan perbedaan antigenik. Hal ini membuat kita untuk terus mengupdate ketersediaan vaksin yang sesuai untuk pengendaliannya. Variasi antigenik virus dan perlindungan silang yang terbatas di antara galur-galur ini mengharuskan kita untuk mempunyai varian vaksin yang beragam, dimana pemilihannya tergantung tantangan yang muncul dilapangan. Vaksin tunggal hampir mustahil mampu melindungi maksimal terhadap semua galur. Oleh karena itu, peran biosekuriti harus dioptimalkan. Disinfektan yang bisa dipilih untuk melawan virus PMK dengan efektif antara lain termasuk natrium hidroksida, asam asetat, atau natrium karbonat.

Penularan virus PMK ini bisa terjadi melalui aerosol pernapasan dan kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan yang terinfeksi. Pada kondisi tertentu, penularan secara aerosol bisa terjadi sejauh 30 mil atau sekitar 48 km. Babi yang terinfeksi adalah penyebar virus yang luar biasa, bahkan mereka mampu menghasilkan virus aerosol dengan konsentrasi yang berkali-kali lebih besar daripada sapi atau domba. Babi juga disebut sebagai “amplifier host/hospes penguat” untuk kejadian PMK.

Babi yang terinfeksi mampu menyebarkan virus dalam ekskresi dan sekresinya. Virus PMK juga bertahan untuk jangka waktu yang lama dalam produk daging beku sehingga cukup beresiko terutama jika dikaitkan dengan swill feeding. Konsumsi pakan dari produk asal babi/sisa makanan mentah yang mengandung daging yang terkontaminasi dapat menularkan virus ke ternak dalam waktu yang relatif singkat. Manusia juga bisa menjadi vektor penyebaran sehingga sangat penting untuk menerapkan biosekuriti yang baik.

Catatan penting yang harus kita sadari adalah secara umum ternak ada kemungkinan pulih dari PMK. Ternak yang sembuh ini akan menjadi carrier/pembawa penyakit selama berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun. Hati-hati, karena hewan carrier ini berpotensi menyebarkan virus dan menjadi penyebab munculnya wabah PMK baru. Namun demikian, ternak babi diyakini bukan merupakan agen pembawa virus PMK dalam jangka panjang.

Proses penularan PMK diawali dengan adanya virus yang menempel pada mukosa saluran pernapasan. Makrofag kemudian membawa virus ke epitel, mukosa dan miokardium untuk bereplikasi atau memperbanyak diri sehingga terjadi viremia. Dalam beberapa hari kemudian, vesikel akan berkembang pada moncong, mulut, lidah, dan terutama kaki. Infeksi sekunder bisa terjadi pada kaki beberapa babi dan menyebabkan kepincangan kronis.

Pada sapi, virus PMK juga mempengaruhi epitel kelenjar susu sehingga air susu yang dihasilkan bisa menjadi sumber penularan dalam waktu yang lama. Meskipun belum terbukti, kejadian serupa mungkin saja terjadi pada babi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hal ini.

Gambar diatas memperlihatkan kondisi jantung babi dengan miokarditis yang disebabkan oleh virus PMK. Otot jantung nampak pucat multifokal baik pada vetrikel kanan maupun kiri. Virus PMK ini sering menyebabkan terjadinya nekrosis atau kematian jaringan pada miokardium yang cukup parah pada anak babi yang baru lahir atau babi umur muda. Hal ini akan mengakibatkan kematian mendadak akibat gagal jantung. Miokardium yang berbintik-bintik membentuk garis ini disebut dengan lesi tiger heart yang cukup berguna dalam proses diagnosa PMK.

Lalu bagaimana tanda-tanda klinis PMK? Bahaya dari virus PMK ini adalah ternak yang tampak sehat bisa saja sudah terpapar tanpa ada gejala yang signifikan. Masa inkubasi 1-5 hari ini terkadang terlambat memberikan signal kepada kita. Ketimpangan sering kali merupakan tanda pertama yang harus diperhatikan yang diikuti dengan kenaikan suhu tubuh akut. Tanda yang umum untuk kasus PMK adalah slobbering dan chomping atau berliur dan gerakan mengunyah. Depresi, kuku lepas dan peningkatan kematian pada anak babi yang masih menyusu juga harus diwaspadai.

Babi bunting dapat terjadi keguguran atau melahirkan anak babi yang lahir mati dan terinfeksi. Kematian mendadak dapat terjadi pada babi yang baru lahir, terkadang sebelum tanda atau lesi terlihat pada babi tersebut. Tahap awal lesi akan tampak pucat dan kecil pada kulit moncong, jaringan lunak kaki, dan mungkin puting susu induk babi yang menyusui. Pada saat gejala klinis mulai nampak, biasanya vesikel atau bula kulit akan teramati. Tanda-tanda berkembang dengan cepat dan morbiditas meningkat dengan cepat. Mortalitas biasanya kurang dari 5% tetapi dapat terjadi kematian yang lebih tinggi pada babi muda.

Pada gambar diatas menunjukkan perkembangan lesi pada kaki babi yang terinfeksi PMK strain Cruzeiro A24 pada 2 hari setelah infeksi (dpi) dan 24 hari setelah infeksi (dpi) dengan inokulasi intraorofaringeal. Gambar A adalah kondisi lesi vesikuler pada 2 dpi dimana epitel menjadi pucat dan meluas ke bola tumit dan kulit interdigitalis dengan demarkasi yang jelas dari kulit normal. Gambar B adalah kondisi saat 24 dpi dimana jaringan parut diskeratosis proliferatif telah menggantikan lapisan epitel yang mengelupas.

Vesikel dan bula berkembang di moncong, di belakang tepi moncong, di nares, di lidah dan bibir, dan pada jaringan lunak kaki. Lesi pada kaki ini lebih sering terjadi, mengakibatkan pengelupasan kuku dan pincang. Lesi jarang terjadi pada vulva, puting susu induk babi, atau skrotum babi jantan. Vesikel biasanya pecah dalam 24 jam dan epidermis superfisial mengelupas untuk menunjukkan hiperemia dan perdarahan pada jaringan di bawahnya. Lesi tanpa komplikasi umumnya sembuh dalam 2 minggu. Kejadian PMK yang parah terutama pada babi muda bisa terlihat area nekrosis miokard yang luas dan berbintik-bintik.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, babi cukup rentan dengan penyakit vesikuler lain yang sulit dibedakan dengan PMK. Oleh karena itu, diagnosa pada babi tidak dapat hanya dengan melihat tanda-tanda klinis dan lesi yang nampak karena gambarannya sangat mirip. Diagnosis banding penyakit virus vesikular pada babi idealnya harus dilakukan uji laboratorium.

Teknik diagnostik yang digunakan meliputi uji serologis untuk mengidentifikasi virus infection-associated antigen (VIA), complement fixation (CF) and enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Selain itu juga test viral antigen, virus isolation (VI) and neutralization (VN), electron microscope (EM) dan studi inokulasi hewan. Uji Polymerase chain reaction (PCR) juga telah dikembangkan dan sering digunakan.

Tidak ada obat untuk PMK.  Deteksi dini dan pemberian support terapi yang didukung biosekuriti yang ketat menjadi hal yang harus dilakukan. Upaya pencegahan PMK tergantung pada kebijakan masing-masing negara. Umumnya peraturan dibuat terkait biosekuriti, yaitu mengatur impor hewan, produk hewani, semen, embrio, dan peraturan yang terkait dengan keamanan vaksin dan produk biologis lainnya. Di negara-negara yang positif PMK, program vaksin secara kontinyu digunakan untuk upaya pencegahan. Selain itu, pengendalian juga bisa dilakukan dengan pengawasan lalu lintas ternak dan proses penyembelihan hewan terinfeksi diikuti dengan penguburan atau pembakaran hewan dan desinfeksi tempat produksi.

Apa strategi yang dilakukan untuk negara yang masih bebas PMK? Tindakan yang harus diupayakan negara-negara yang bebas PMK adalah dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan nasional yang ditegakkan secara ketat. Kontrol atas impor hewan berkuku terbelah dan daging dari hewan harus jelas (country base vs zona base). Virus dapat bertahan di sumsum tulang dan kelenjar getah bening dari bangkai yang terinfeksi selama beberapa minggu. Jika penyakit masuk ke daerah bebas, idealnya kebijakan pemotongan paksa/depopulasi harus diterapkan, semua hewan yang sakit dan kontak disembelih. Lockdown pergerakan hewan diberlakukan dan penelusuran dilakukan untuk memeriksa kemungkinan penyebaran penyakit melalui kontak sebelumnya. Vaksinasi juga dapat digunakan di sekitar wilayah yang terkena agar resiko penyebaran bisa diminimalisir.

Jika peternakan kita berada di zona beresiko PMK, maka kita harus mengambil tindakan pencegahan yang ketat terhadap kontaminasi kawanan ternak. Tantangan terbesar adalah penularan via udara. Babi yang terinfeksi dapat menghasilkan sejumlah besar virus infektif sebagai aerosol. Dalam cuaca kering ketika ada panas yang kuat, virus aerosol dengan cepat dinonaktifkan sehingga angin tidak membawa aerosol infektif terlalu jauh. Jika vaksinasi diizinkan dan kawanan babi berada di daerah berisiko tinggi, sebaiknya kita mempertimbangkan untuk melaksanakan vaksinasi rutin.

Berikut adalah langkah-langkah biosekuriti dasar yang dapat membantu meminimalkan penyebaran penyakit : standarisasi pig flow management, batasi lalu lintas orang dan kendaraan yang berpotensi menjadi sumber penularan, batasi pengunjung ke peternakan atau sediakan sepatu bot serta pakaian khusus sebelum masuk lokasi kandang, sediakan bilik untuk mandi atau minimal cuci tangan, tempatkan foot dips di semua akses penting dengan menggunakan disinfektan. Selalu monitor semua prosedur pembersihan dan desinfeksi, pastikan kendaraan sudah dibersihkan dan didesinfeksi sebelum masuk lokasi peternakan. Lakukan tindakan pencegahan khusus saat pengiriman pakan ataupun saat memuat ternak dengan desinfeksi di semua area pemuatan sebelum dan sesudah digunakan, periksa drainase peternakan dan bersihkan secara menyeluruh.

Setelah kandang dikosongkan, protokol untuk repopulasi dimulai dengan membersihkan fasilitas kandang. Lakukan pembersihan kotoran dan pupuk kandang di semua area menggunakan sapu/sikat lalu semprot dengan air bertekanan rendah dan dilanjutkan dengan tekanan tinggi (750 psi – 2.000 psi) untuk menghilangkan semua kotoran dan bahan organik. Semprotkan pada langit-langit terlebih dahulu, lalu dinding dan terakhir lantai dengan ukuran nozel yang memungkinkan untuk mencuci area yang sulit dijangkau. Bilas semua permukaan untuk menghilangkan akumulasi bahan organik, deterjen bisa menjadi pilihan yang ekonomis. Setelah pembersihan selesai, lakukan proses desinfeksi menyeluruh. Ingat desinfekan akan bekerja optimal pada permukaan yang sudah bersih dari bahan-bahan organik dan juga paling baik dilakukan pada suhu di atas 18°C ​​(65°F), tetapi tidak di atas 43°C (110°F). Aplikasi desinfeksi secara kabut atau aerosol adalah alternatif yang bisa dilakukan untuk lebih menjangkau area yang sulit. Setelah proses desinfeksi selesai, biarkan mengering dan kosongkan area selama beberapa waktu sebelum diisi ternak kembali.

Semoga bermanfaat…

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber :  https://rumahternak.com/2022/06/25/penyakit-mulut-dan-kuku-pada-babi/)

 

Affrican Swine Fever dan Classical Swine Fever ( Hog Cholera), Bagaimana Cara Membedakannya ?

Tak dirasa, sudah lebih dari tiga tahun sejak penyakit African Swine Fever (Demam Babi Afrika) mewabah di negara kita Indonesia, bahkan tidak hanya di Indonesia tapi juga di banyak negara lain di dunia (di Afrika, Cina dan Eropa mulai mewabah kembali pada tahun 2018). Babi- babi terjangkit satu persatu dan mewabah di hampir semua wilayah Indonesia. Penularannya sangat cepat dan kasusnya tinggi, meskipun ada juga yang ditemukan kasus ringan dan tidak sampai menyebabkan kematian, namun sangat jarang terjadi.

Penularan bisa terjadi melalui kontak langsung maupun kontaminasi feses, cairan hidung, mulut, urine maupun sperma babi yang terinfeksi ASF, dapat juga melalui caplak Ornithodorus sp. dan vector mekanik lalat kandang (Stomoxys calcitrans)

Mortalitas sangat tinggi (60-100 %),  morbiditasnya juga dapat mencapai 100 %

Menyerang babi semua usia, dan dapat ditularkan oleh vector lalat, tikus dan caplak pada babi (meskipun untuk wilayah Indonesia sendiri, caplak Ornithodorus sp. ini jarang atau hampir tidak dapat ditemukan)

Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit inipun sangat besar, terutama pada peternakan peternakan babi yang SOP biosecurity nya masih belum ketat.

Penyebab penyakit ini adalah large cytoplasmic linear enveloped double stranded  virus DNA dari genus Asfivirus, ukuran 200nm, virus terdiri dari concentric layers : internal core – core shell – inner membrane – capsid dan external enveloped pada extracellular virion.

Virus ini mampu bertahan hidup dalam darah selama 18 bulan dan dalam daging dingin atau beku 15 minggu hingga bertahun tahun.

Virus dapat inaktif pada PH < 3,9 atau > 11,5 dalam medium bebas serum. Serum akan meningkatkan daya tahan virus, missal pada PH 13,4  resistensi bertahan 21 jam tanpa serum namun bisa bertahan 7 hari dengan serum

Virus juga  dapat bertahan di kandang selama 1- 3 bulan.

Masa inkubasi virus ASF berkisar dari 5-15 hari.  Umumnya penyakit ini ditandai dan diawali dengan adanya hilangnya nafsu makan dan babi nampak depresi, kemudian juga disertai demam pada babi 40 hingga 42∙ C, mata memerah dan hidung berair, terjadi konjungtivitis pada mata dan nampak iritasi babi mengalami lethargy dan sulit berdiri, muntah atau diare berdarah dan khas menciri adanya warna kebiruan pada hidung, telinga, ekor dan bagian dalam kaki. Babi bernafas berat dan dalam, perut kelihatan kempes cekung. Pada induk – induk yang bunting juga dijumpai adanya abortus.

Pada pemeriksaan patologi dijumpai adanya kebengkakan pada limpoglandula gastrohepatika dan limpa disertai warna kehitaman dan rapuh

Jika baru fase awal, umumnya penyakit ini sering dikelirukan dengan penyakit Classical Swine Fever (Hog Cholera). Untuk Classical Swine Fever / Hog Cholera (untuk selanjutnya akan kita sebut CSF), gejalanya memang mirip dengan ASF, dijumpai warna kebiruan pada telinga dan beberapa bagian tubuh babi, meskipun demikian virus ini beda dengan ASF.

CSF disebabkan oleh virus RNA genus Flavivirus, family Flaviviridae. Struktur virusnya tidak sekompleks virus ASF, hal ini juga yang mungkin menyebabkan untuk penyakit CSF relative lebih mudah dan lebih cepat dibuat vaksinnya dan cukup berhasil di lapangan, sementara untuk virus ASF, meskipun sudah ada yang berhasil membuat vaksinnya namun masih belum sukses 100 % dalam pencegahan penyakit ASF di lapangan.

Gejala umum pada babi babi yang terinfeksi CSF umumnya hampir sama dengan ASF, seperti adanya warna kebiruan (cyanosis) pada telinga atau bagian- bagian tubuh babi, babi nampak lesu dan tidak nafsu makan, terjadi lethargy dan diare kekuningan, pada induk juga disertai abortus dan yang paling menciri adalah adanya gejala syaraf yang muncul (adanya kejang atau paresis atau kadang dijumpai juga babi penderita CSF yang paddling / gerakan inkoordinasi kaki seperti mengayuh ).

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Jadi, bagaimana cara membedakan babi babi yang terinfeksi virus CSF dan babi babi yang terinfeksi virus ASF ?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penulis akan mencoba merangkum poin – poin penting differensiasi dari kedua penyakit tersebut dalam bentuk tabel dibawah ini supaya lebih mudah dipahami :

 

KETERANGANAFRICAN SWINE FEVERCLASSICAL SWINE FEVER
PenyebabDNA virus, PestivirusRNA virus, Flavivirus
Gangguan pencernaan diareDijumpai diare berdarahDiare berwarna kekuningan, jarang dijumpai diare berdarah
Gangguan syarafTidak dijumpai gejala syarafDijumpai adanya gejala syaraf

 

Demikian poin-poin differensiasi untuk membedakan ASF dan CSF, untuk penegakan diagnosa yang lebih valid lagi tentunya dapat dilakukan dengan isolasi virus dan dilakukan identifikasi melalui metode PCR atau metode lab yang lainnya.

Dengan demikian maka sebagai peternak maupun dokter hewan yang mengampu Kesehatan hewan pada peternakan babi yang diduga terserang virus ASF (maupun CSF) dapat segera mengambil langkah bijak untuk mengatasi dan mencegah penyebaran penyakit tersebut.

 

Penulis : drh Antonia Agnes – Praktisi kesehatan hewan, Konsultan peternakan babi dan Wakil Ketua ADHMI