Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena breed induk babi yang super produktif terus dikembangkan dan sekarang menghasilkan anakan 14-16 ekor per induk bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun demikian, potensi genetik yang tinggi ini jika dalam proses pemeliharaannya tidak menerapkan praktek manajemen pemeliharaan dan biosekuriti dengan standart terbaik, maka angka kematian anak babi dari kelahiran sampai sebelum disapih akan relatif tinggi (11-24%). Kematian ini umumnya terjadi pada 5 hari pertama kehidupan. Oleh karena itu, intervensi dari kita selaku pelaku usaha peternakan menjadi penting dalam upaya untuk meningkatkan angka sapih dari anak babi yang dilahirkan. Kali ini, kita akan membahas bersama beberapa hal penting yang idealnya dilakukan dalam manajemen neonatal (periode setelah melahirkan sampai sapih).
Periode awal kelahiran.
Termoregulasi tubuh adalah proses yang menantang bagi anak babi yang baru lahir karena cairan janin yang menyelimuti tubuh sangat beresiko menurunkan suhu kulit mereka jika tidak cepat dikeringkan. Anak babi yang baru lahir, terutama dengan berat lahir dibawah 1,1 kg sangat rentan terhadap suhu lingkungan. Anak babi yang menderita hipoksia sangat beresiko karena umumnya mereka sulit mencapai ambing induk sehingga kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh diawal kehidupan juga lebih rendah. Managemen kolostrum pada 2 hari pertama kehidupan menjadi hal terpenting dalam proses awal kehidupan anak babi. Kolostrum yang cukup akan memastikan setiap anak babi mendapatkan imunoglobulin induk untuk menjadi kekebalan pasif selain juga bisa membantu meningkatkan suhu tubuh. Pada beberapa indukan, kolostrum hanya diproduksi pada 16-24 jam pertama setelah kelahiran sehingga beberapa peternak cinderung memastikan pada hari pertama semua anak mendapatkannya. Kolostrum yang dihasilkan induk rata-rata berkisar 3,3 – 3,7 kg.
Jika jumlah anak yang dilahirkan cukup banyak, umumnya berat lahir anak cinderung lebih kecil. Pada saat ini idealnya kita harus melakukan pengawasan dan memberikan bantuan dalam penjatahan kolostrum agar semua anak babi mendapatkan jumlah yang mencukupi (450g / kg berat lahir). Angka kematian sebelum disapih hanya mencapai 7,1% ketika anak babi mengkonsumsi > 200 g kolostrum, dan prosentasenya meningkat menjadi 43,4% bila kolostrum yang didapatkan < 200 g. Intervensi terhadap proses kelahiran ini sangat diperlukan untuk menghindari resiko kematian anak babi yang tinggi. Proses pengeringan, penempatan di bawah lampu pemanas, managemen kolostrum dan perawatan yang lain menjadi kunci keberhasilan peternak dalam mengamankan anak babi yang lahir agar bisa bertahan hidup, terlebih dengan sifat genetika induk babi yang bisa menghasilkan anak yang banyak.
Lingkungan kandang melahirkan juga idealnya dipersiapkan dengan baik. Penggunaan pemanas (33-34°C) saat periode awal kelahiran akan membantu onset menyusu lebih awal dan mengurangi angka kematian anak babi. Angka kematian bisa ditekan sampai 7,2% dibandingkan dengan 12,2% tanpa pemanas selama tiga hari pertama kehidupan. Namun, perlu diketahui juga bahwa saat periode ini adalah fase krusial karena disatu sisi anak memerlukan suhu hangat, sedangkan induk memerlukan suhu yang lebih sejuk. Umumnya peternak akan mempersiapkan babybox dari kayu untuk anak babi dengan pemanas dan untuk induk diatur sedemikian rupa agar sirkulasi udara segar terpenuhi untuk menjaga nafsu makan tetap bagus sehingga nutrisi untuk anak bisa terpenuhi dengan baik.
Naluri alami induk bunting yang mendekati masa kelahiran pada umumnya akan mengekspresikan perilaku membangun sarang untuk mempersiapkan proses melahirkan. Untuk peternakan tradisional, perilaku ini akan lebih kelihatan daripada peternakan yang lebih modern. Dengan adanya data rekording yang bagus, peternak akan memindahkan induk bunting ke kandang farrowing jika mendekati hari kelahiran. Peran utama babi segera setelah lahir adalah untuk menghasilkan cukup kolostrum dan air susu. Hal pertama yang harus dievaluasi adalah jumlah puting yang aktif untuk nantinya dipersiapkan bagi anak babi yang dilahirkan. Induk babi umumnya mempunyai 12 – 18 puting susu, namun tidak semuanya dapat aktif. Pengecekan pada induk dara yang akan melahirkan pertama kali menjadi sangat penting karena kita harus memastikan bahwa anak babi mendapatkan asupan kolostrum dan air susu yang cukup, terutama jika nanti jumlah anak yang dilahirkan cukup banyak. Pencatatan puting susu aktif ini juga berguna untuk evaluasi kelahiran selanjutnya. Anak babi yang menyusu pada puting yang sebelumnya digunakan dan berfungsi baik pada laktasi pertama cinderung mengalami kenaikan berat badan 340 g dari hari ke 2 – 14 laktasi. Kolostrum dan produksi air susu yang tidak mencukupi dapat mempengaruhi seluruh kelenjar susu dan dikenal sebagai postpartum dysgalactia syndrome (PDS).
Induk babi domestik relatif bisa mengurus anaknya sendiri jika tidak lebih dari 10-11 ekor, tetapi jika lebih banyak maka intervensi kita sebagai peternak harus dilakukan agar survival rate tinggi. Strategi yang paling umum, menangani kelebihan anak babi yang baru lahir, adalah untuk mengalokasikan mereka ke induk babi lain. Tidak jarang, peternak menitipkan anakan ke induk babi yang lain jika ternyata produksi susu induk tidak cukup karena jumlah anak yang terlalu banyak. Namun demikian, cross fostering harus dilakukan setelah anak babi mendapatkan jatah kolostrum dari induk aslinya. Persaingan untuk mendapatkan puting susu pada anak sekelahiran yang > 12 ekor memerlukan penanganan ekstra agar semua terlayani dengan baik. Selain itu, bobot lahir yang cinderung kecil (0,9 – 1 kg) mempunyai resiko kematian sampai 34,5% dibandingkan jika induk hanya mempunyai anak < 12 ekor dengan berat lahir standart (1,2 – 1,6 kg) yang resiko kematiannya hanya sekitar 16,1% – 19,6 %.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anak babi yang baru lahir dituntut untuk bisa menjaga suhu tubuhnya sekitar 34° C. Oleh karena itu, sekali lagi diperlukan upaya intervensi dari peternak untuk mengeringkannya dengan cepat segera setelah lahir dan mempersiapkan pemanas yang memadai untuk meminimalkan resiko anak babi kehilangan panas tubuh mereka. Yang kedua, segera bantu mereka untuk mencapai puting susu induk dan mendapatkan jatah kolostrum minimal 200-250 g dalam waktu 12-16 jam dari awal kelahirannya. Anak babi yang kecil dan hidup harus dibantu untuk menyusu untuk memastikan kolostrum tertelan. Prosedur ini harus diulang 3-4 kali dalam beberapa jam pertama jika anak babi tersebut tidak terlihat aktif menyusu. Kita juga bisa lakukan pemerahan air susu dan menempatkan pada dot / spet untuk diberikan pada anak babi yang relatif lemah. Untuk meminimalkan kompetisi untuk asupan kolostrum, jika jumlah anak relatif banyak dan induk kewalahan maka sebaiknya anak dibagi menjadi dua kelompok. Kita utamakan terlebih dahulu anak babi dengan berat lahir kecil terlebih dahulu untuk menyusu selama 60-90 menit, baru kemudian kelompoknya diganti yang berbobot lahir lebih besar.
Manajemen pengendalian penyakit.
Setelah fase krusial terlewati dengan baik, anak babi juga harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan penyakit yang juga beresiko mengakibatkan kematian. Konsumsi kolostrum pada awal kehidupan adalah mutlak dibutuhkan sebagai sumber kekebalan pasif (maternal antibodi) yang bersifat sementara, karena secara teori hanya mampu memproteksi anak babi sampai umur sekitar kurang lebih 8 minggu tergantung masing-masing individu. Oleh karena itu, kita sebagai peternak dituntut untuk mempersiapkan imunitas anak babi agar mereka bisa bertahan sampai panen. Sekali lagi, rekording disini menjadi penting karena bisa menjadi acuan buat kita untuk menganalisa penyakit apa saja yang pernah terjadi di kandang sehingga kita bisa menerapkan strategi yang pas.
Secara umum, kasus yang sering ditemui pada anak babi di fase awal kehidupan – sapih yang harus dicermati adalah kasus pencernaan, pernafasan dan terkadang saraf. Kasus bakterial, viral dan parasit bisa saja ditemui pada fase ini, oleh karena itu observasi dan sejarah masa lalu bisa menjadi acuan dalam menyusun program pemeliharaan. Terlebih saat ini, kasus African Swine Fever (ASF) juga masih menjadi tantangan besar untuk para peternak babi mengingat belum ada vaksin komersial yang baik tersedia di lapangan sehingga biosekuriti menjadi strategi yang paling utama untuk saat ini. Jika kejadian penyakit cukup sering diawal kehidupan, kita mungkin sebaiknya melakukan observasi juga dengan status indukan di kandang breeding kita.
Penyakit-penyakit reproduksi seperti Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2 (PCV2), Porcine Parvovirus (PPV), Classical Swine Fever (CSF) dan patogen lainnya bisa jadi sedang bersirkulasi di kandang breeding kita sehingga mengakibatkan status kesehatan induk sedang bermasalah dan merimbas ke kondisi anak babi yang dilahirkan kurang baik. Proses pemilihan calon induk sebaiknya dilakukan evalusi, apakah karantina dan aklimatisasi dilakukan dengan benar.
Pada anak babi, untuk kasus pencernaan yang paling mendominasi adalah bakteri Escheria coli dan Clostridium sp., Coccidiosis, serta virus Porcine Epidemic Diarrhea (PED), Porcine Circovirus Diarrhea, Rotaviral Enteritis dan Transmisible gastroenteritis (TGE). Gejala umum yang biasa ditemui adalah diare dengan berbagai macam bentuk dan warna, dehidrasi, nafsu makan turun, pertumbuhan terhambat dan tidak jarang berakhir kematian. Untuk PED, gejala yang paling kelihatan adalah kematian tinggi pada anak babi dibawah umur 2 minggu. Secara umum, kasus yang biasanya muncul pada minggu pertama disebabkan oleh E.coli dan Clostridium sp., sedangkan minggu ke-2 bisa E.coli dan Coccidiosis.
Untuk kasus pernafasan, Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC) sering ditemui di peternakan babi dengan gejala umum lemah, tidak nafsu makan, demam, leleran hidung/mata, batuk, sianosis/perubahan warna pada kulit dan gangguan pernafasan lainnya. Yang berperan dalam kasus PRDC ini antara lain virus seperti PRRS, PCV2, Porcine Respiratory Corona Virus (PRCV), Swine Influenza (SIV), dan Pseudorabies (PRV) atau yang sering dikenal dengan nama Aujezsky’s Disease (AD). Sedangkan untuk bakteri yang berperan adalah Mycoplasma hyopneumoniae, Haemophilus parasuis (Glaesserella parasuis), Streptococcus suis, Boedetella bronchiseptica, Actinobacillus suis dan Actinobacillus pleuropneumonia (APP). Mycoplasma hyopneumoniae ini sering disebut sebagai “gate opener” atau pintu masuk bagi penyakit-penyakit pernafasan yang lain karena merusak silia saluran pernafasan sehingga memudahkan patogen lain untuk menginvasi saluran pernafasan babi.
Untuk kasus gangguan saraf, yang umumnya ditemui dilapangan adalah edema disease, PRV, Streptococcal meningitis, dan keracunan. Gangguan yang nampak secara umum biasanya adalah tremor, inkoordinasi, kejang-kejang, berbaring dan gerakan mendayung (paddling), salivasi. Untuk kasus keracunan biasanya juga disertai muntah.
Mengingat banyaknya tantangan yang ada di lapangan, maka sudah seharusnya kita mempersiapkan strategi manajemen dan program yang disesuaikan dengan kondisi di kandang. Secara umum, pengendalian penyakit ini harus melibatkan biosekuriti, medikasi dan vaksinasi. Untuk penyakit-penyakit yang penting umumnya peternak skala besar lebih mengutamakan program vaksinasi dalam membentuk kekebalan yang berguna untuk menjaga kelangsungan hidup sampai umur panen.
Dari paparan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan angka survival rate pada anak babi yang baru dilahirkan maka kita harus mempersiapkan beberapa prosedur manajemen yang penting, yaitu mempersiapkan kandang melahirkan dengan sebaik-baiknya (jerami kadang bisa dipersiapkan untuk memungkinkan induk mengekspresikan perilakunya), untuk mengurangi resiko kehilangan panas tubuh anak babi kita bisa lakukan dengan pembersihan cairan janin serta penambahan pemanas dan alas lantai untuk penghangat (34° C), manajemen kolostrum untuk memastikan anak babi mendapatkan kekebalan induk yang dibutuhkan di awal kehidupan (lakukan intervensi jika jumlah anak yang banyak membuat induk kewalahan), cross fostering bisa dilakukan ke induk babi laktasi yang lain dengan pengawasan jika jumlah air susu induk aslinya tidak mencukupi.
Terkait pengendalian penyakit, idealnya kita harus mempunyai strategi dan manajemen pemeliharaan yang disesuaikan dengan kondisi tantangan penyakit dilapangan. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan terkait dengan penyusunan program ini agar strategi yang diterapkan tepat sasaran dan ternak kita bisa bertumbuh dengan baik tanpa ada gangguan penyakit yang berarti.
Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI (sumber : https://rumahternak.com/2021/09/26/manajemen-pemeliharaan-anak-babi/)