Sejarah ASF hampir mencapai satu abad dan dalam periode ini beberapa elemen kunci dapat dikumpulkan dari sudut pandang epidemiologi. Penyakit ini terbatas di Afrika sampai akhir tahun 1950-an ketika muncul di Portugal pada tahun 1957. Setelah 2 tahun diam, penyakit ini muncul kembali di Lisbon pada tahun 1960 dan menyebar ke Semenanjung Iberia dan negara Eropa lainnya, yaitu Spanyol pada tahun 1960; Prancis pada tahun 1964, 1968 dan 1974; daratan Italia pada tahun 1967, dengan pengulangan pada tahun 1969 dan 1983; Malta pada tahun 1978; Belgia pada tahun 1985; dan Belanda pada tahun 1986. Antara 1971 dan 1980, ASF muncul di beberapa negara Amerika, yaitu Kuba pada 1971 dan kembali pada 1980; Brasil pada 1978; Republik Dominika pada 1978 dan Haiti pada 1979. Dahulu, baik di negara Eropa maupun Amerika penyakit tersebut telah berhasil dibasmi, sedangkan pada epidemi saat ini hanya Republik Ceko yang berhasil memberantas penyakit pada populasi babi hutan.
Pencegahan, deteksi dini, reaksi cepat, dan komunikasi memainkan peran penting dalam pengendalian ASF. Surveilans yang tepat mampu mendeteksi penyakit secara dini baik pada hewan peliharaan maupun liar, dan implementasi rencana yang terkonsolidasi dengan baik dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengendalikan penyakit ini. Sebuah penelitian dengan tinjauan sistematis telah dilakukan untuk mendapatkan pelajaran yang dapat diambil melalui sejarah pemberantasan penyakit ASF secara global, kemudian kita bisa mengevalusi dan menetapkan strategi mana yang berhasil untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan ASF, serta kesalahan apa yang tidak boleh diulangi. Berikut beberapa strategi pengawasan dan pengendalian yang diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk pemberantasan ASF di masa lalu yang bisa menjadi acuan bagi kita dalam menghadapi bahaya ASF.
Laporan dari Belgia, Brasil, Kuba, Republik Dominika dan Haiti, Prancis, Italia, Malta, Portugal, dan Spanyol bisa menjadi referensi bagi kita dalam pengendalian ASF. Terlepas dari sumber daya ekonomi yang dialokasikan dan upaya yang dilakukan, pemberantasan ASF berhasil dilakukan hanya di 8 negara dalam kurun waktu antara tahun 50-an dan 90-an di abad ke dua puluh ini. Dalam konteks epidemiologi dan budaya yang berbeda, proses pengendalian inipun mempunyai rentang waktu yang relatif besar, yaitu <1 tahun sampai 40 tahun. Strategi surveilence klasik, seperti pengawasan aktif dan pasif baik di tingkat peternakan dan rumah pemotongan hewan bersama dengan tindakan biosafety dan sanitasi konvensional terbukti mampu meredam kasus ASF. Hal ini menekankan bahwa data tentang surveilans dan populasi hewan sangat penting untuk perencanaan pengawasan yang efektif, dan menargetkan strategi pengendalian dan intervensi yang tepat.
Berikut negara-negara yang berhasil dalam pengendalian ASF beserta ringkasan strategi yang dilakukan:
Belgia (Maret 1985 / Mei 1985). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko karena penggunaan jarum suntik yang tidak tepat. Strategi intervensi yang dilakukan adalah penyembelihan hewan di peternakan yang terinfeksi dan pemusnahan/culling semua hewan yang terinfeksi maupun dan tidak terinfeksi, kemudian dilakukan pembersihan dan desinfeksi. Surveilence aktif dan pasif dilakukan babi sentinel di peternakan untuk mendemonstrasikan masih ada tidaknya virus ASF di kandang.
Terkait needle management, sebenarnya buka hanya menjadi issue penyebab penularan ASF tetapi juga penyakit-penyakit lainnya. Idealnya, penggunaan jarum itu 1 jarum untuk 1 ekor babi atau minimal 1 indukan dan anak-anaknya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko penularan akibat penggunaan jarum suntik yang digunakan pada semua kawanan.
Brasil (Mei 1978 / Des 1984). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari makanan terkontaminasi yang digunakan untuk pakan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) larangan pergerakan/lalu lintas babi di dalam dan dari daerah yang terkena serangan ASF; larangan kendaraan dan pergerakan manusia; larangan pembukaan pertunjukan/pameran babi dan pasar babi; larangan memberi makan limbah sebagai pakan babi; 2.) pemeriksaan di pelabuhan, bandara, dan kantor pos/kurir dengan lebih memperhatikan area berisiko; 3.) pemusnahan dan pembakaran semua babi yang berada di daerah terdampak ASF; 4.) membersihkan dan mendisinfeksi kendaraan, gedung, dan benda yang terkontaminasi dan 5.) program pelatihan. Untuk strategi surveilence, aktif dilakukan di rumah pemotongan hewan (tes serologi), di tingkat hewan (pengawasan khusus untuk perdagangan di beberapa wilayah berisiko; uji di tempat asal dan tujuan); dan di tingkat kawanan (sertifikasi kandang yang akan melakukan perdagangan/pameran).
Kuba Mei 1971/1980. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko berasal dari kontak antara kompartemen berbeda dari kandang produksi babi yang memiliki tingkat biosekuriti yang berbeda. Strategi intervensi yang dilakukan saat epidemi 1971 dan 1980 adalah 1.) karantina dan larangan pergerakan babi, larangan swill feeding; 2.) pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan babi sehat yang bersentuhan, serta pemotongan semua babi dalam radius 5 km dan pemotongan semua babi milik pribadi dengan pemberian kompensasi sebagian; 3.) pembersihan dan desinfeksi bangunan, kendaraan pengangkut, dan penggunaan alat pelindung diri; 4.) pelatihan diagnosis; 5.) pengendalian jalur keluar masuk melalui rel kereta api, jalan raya, kapal, dan pesawat.
Strategi intervensi untuk radius 10–15 km di sekitar tempat tertular adalah 1.) pemberian kompensasi untuk semua babi yang dimusnahkan; 2.) transportasi dengan tindakan biosekuriti tinggi; 3.) pembatasan pergerakan semua babi, komoditas, manusia, dan kendaraan; 4.) sensus lengkap semua populasi babi.
Strategi surveilence yang dilakukan adalah 1.) Risk Base Surveillance dengan pembagian zona resiko berdasarkan karakteristik geografis dan politik serta kepadatan produksi daging babi; 2.) pasif surveilence dengan mengevaluasi kejadian kematian pada babi; 3.) aktif surveilence dengan mengevaluasi babi sentinel di farm dan RPH; 4.) fase pemberantasan dengan melakukan aktif dan pasif surveilance babi sentinel di tingkat peternakan, lengkap dengan pendekatan uji diagnosis dan pemeriksaan di RPH; 5) fase repopulasi / rencana pemulihan di daerah yang terkena dampak dengan melakukan surveilence aktif babi sentinel untuk membuktikan masih ada tidaknya virus di lapangan.
Republik Dominika (1978/1981) & Haiti (1978/1982). Model penularan dari babi ke babi. Strategi intervensi yang dilakukan Republik Dominika adalah total depopulasi babi, sedangkan Haiti adalah dengan pemusnahan dengan kompensasi menggunakan tentara militer, pembersihan dan desinfeksi, serta pelatihan dan pendidikan umum untuk berbagai pemangku kepentingan dan kerjasama dengan penduduk di pedesaan. Strategi surveilence yang dilakukan Republik Dominika dan Haiti adalah aktif surveilence dengan menggunakan babi sentinel untuk proses repopulasi.
Prancis (1964/1964) dan (1974). Model penularan babi ke babi. Strategi pasif surveilence dilakukan dengan eksplorasi termal dan pengambilan sampel darah hewan yang positif.
Italia (1967 / Juni 1967 1969 1983). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko pemberian pakan babi dari limbah makanan yang terinfeksi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi, serta stamping out di peternakan yang terinfeksi.
Malta Maret 1978 / April 1978. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko adalah memberi makan babi yang terinfeksi / swill feeding serta waktu/proses deteksi dan pelaporan penyakit yang lama. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) kebijakan pemotongan diterapkan secara ketat (larangan pemotongan) dengan kompensasi; 2.) stamping-out, pembatasan pergerakan babi, karantina hewan dan bangunan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, pemindahan bangkai dan pembakaran; 3.) penelusuran wabah; 4.) larangan penjualan daging babi dan larangan swill feeding. Aktif surveilence dilakukan di rumah potong hewan (pengambilan serum) dan di tingkat peternakan.
Portugal (Epizootik Mei 1957 / Juni 1958 dan Epizootik April 1960 / November 1999). Model penularan dari babi ke babi dan juga kutu dengan faktor resiko adalah transportasi dan penggunaan yang tidak tepat dari limbah makanan yang terkontaminasi, serta pergerakan lalu lintas hewan yang tidak terkendali. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) stamping-out di dalam peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi; 2.) pembersihan dan desinfeksi kandang, pengangkutan, dan penggunaan alat pelindung diri; 3.) pembatasan pergerakan babi dan produk babi dari zona tertular atau di bawah pengawasan; larangan pergerakan babi dan produk babi atau produk sampingan babi dari zona tertular; 4.) larangan aktifitas di pasar dan pameran di zona tertular dan diduga tertular, serta larangan swill feeding dan repopulasi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah pemberitahuan wajib untuk kasus yang dicurigai dan dikonfirmasi.
Spanyol (1960 / September 1994). Model penularan dari babi ke babi dan kutu dengan faktor resiko adalah kontak antar babi yang terinfeksi dan adanya hubungan antara kutu O. erraticus dan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah stamping out di peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi, tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi seperti pembuatan pagar, pembuangan kotoran secara aman, serta proses pembersihan dan desinfeksi. Strategi pada fase pemberantasan, dilakukan strategi aktif surveilence di rumah potong hewan dan di tingkat peternakan, sedangkan pada fase repopulasi dilakukan surveilence pada babi.
Dari semua contoh dan pengalama masa lalu diatas, kita bisa belajar bagaimana sebenarnya ASF ini dapat dikendalikan dan diberantas melalui tindakan pengawasan dan pengendalian klasik. Tindakan klasik didasarkan pada metode pengendalian penyakit, termasuk strategi pengawasan, penyelidikan epidemiologi, penelusuran dan pemusnahan babi di kandang yang terinfeksi, dikombinasikan dengan tindakan karantina dan biosekuriti yang ketat pada babi domestik, kandang, dan kontrol pergerakan hewan. Namun demikian, fakta lainnya juga menunjukkan bahwa strategi ini sulit dipertahankan dalam waktu lama dalam situasi endemik dimana ASF menyerang wilayah yang lebih luas. Keterlibatan populasi babi hutan dalam penyebaran virus juga menghambat pemberantasan ASF dan hal ini merupakan faktor risiko yang relevan dan mendukung terjadinya penyebaran virus ke seluruh perbatasan negara. Oleh karena itu, strategi yang efisien untuk pencegahan atau pengendalian ASF harus didasarkan pada pengetahuan yang mendalam tentang populasi babi domestik dan babi liar, kondisi lingkungan dan jenis sektor babi. Mengingat penyebaran ASF ini juga tidak mengenal batas, maka sebaiknya semua strategi harus memperhitungkan kebijakan bersama dalam menetapkannya sehingga semua pihak bisa mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama dalam usaha pengendalian ASF.
Bagaimana dengan perkembangan penelitian vaksin ASF saat ini? Pengamat industri mengatakan bahwa saat ini masih belum tersedia vaksin yang efektif untuk melawan virus ASF, peternakan babi dan RPH sangat bergantung pada biosekuriti. Desinfeksi lingkungan menjadi sesuatu yang penting selain pengawasan ketat terhadap barang yang mungkin terkontaminasi seperti pakan ternak, kandang babi, dan kendaraan yang mengangkut babi dan lain-lain. Vaksin ASF yang saat ini sedang dikembangkan oleh para peneliti di seluruh dunia, termasuk di China, UK, Vietnam dan juga mungkin di Indonesia. Banyaknya faktor ketidakpastian yang belum terjawab tentang karakter ASF inilah salah satu penyebab vaksin masih dalam fase penelitian dan belum bisa dikomersialisasikan dalam waktu dekat.
Semoga kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu dan siap melakukan strategi yang tepat guna mencegah serangan ASF. Saatnya semua pihak bergandengan tangan untuk menentukan kebijakan yang terbaik untuk menjaga peternakan babi kita.
Badai pasti berlalu!!
Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI