Managemen Pemeliharaan Anak Babi

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena breed induk babi yang super produktif terus dikembangkan dan sekarang menghasilkan anakan 14-16 ekor per induk bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun demikian, potensi genetik yang tinggi ini jika dalam proses pemeliharaannya tidak menerapkan praktek manajemen pemeliharaan dan biosekuriti dengan standart terbaik, maka angka kematian anak babi dari kelahiran sampai sebelum disapih akan relatif tinggi (11-24%). Kematian ini umumnya terjadi pada 5 hari pertama kehidupan. Oleh karena itu, intervensi dari kita selaku pelaku usaha peternakan menjadi penting dalam upaya untuk meningkatkan angka sapih dari anak babi yang dilahirkan. Kali ini, kita akan membahas bersama beberapa hal penting yang idealnya dilakukan dalam manajemen neonatal (periode setelah melahirkan sampai sapih).

Periode awal kelahiran.

Termoregulasi tubuh adalah proses yang menantang bagi anak babi yang baru lahir karena cairan janin yang menyelimuti tubuh sangat beresiko menurunkan suhu kulit mereka jika tidak cepat dikeringkan. Anak babi yang baru lahir, terutama dengan berat lahir dibawah 1,1 kg sangat rentan terhadap suhu lingkungan. Anak babi yang menderita hipoksia sangat beresiko karena umumnya mereka sulit mencapai ambing induk sehingga kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh diawal kehidupan juga lebih rendah. Managemen kolostrum pada 2 hari pertama kehidupan menjadi hal terpenting dalam proses awal kehidupan anak babi. Kolostrum yang cukup akan memastikan setiap anak babi mendapatkan imunoglobulin induk untuk menjadi kekebalan pasif selain juga bisa membantu meningkatkan suhu tubuh. Pada beberapa indukan, kolostrum hanya diproduksi pada 16-24 jam pertama setelah kelahiran sehingga beberapa peternak cinderung memastikan pada hari pertama semua anak mendapatkannya. Kolostrum yang dihasilkan induk rata-rata berkisar 3,3 – 3,7 kg.

Jika jumlah anak yang dilahirkan cukup banyak, umumnya berat lahir anak cinderung lebih kecil. Pada saat ini idealnya kita harus melakukan pengawasan dan memberikan bantuan dalam penjatahan kolostrum agar semua anak babi mendapatkan jumlah yang mencukupi (450g / kg berat lahir). Angka kematian sebelum disapih hanya mencapai 7,1% ketika anak babi mengkonsumsi > 200 g kolostrum, dan prosentasenya meningkat menjadi 43,4% bila kolostrum yang didapatkan < 200 g. Intervensi terhadap proses kelahiran ini sangat diperlukan untuk menghindari resiko kematian anak babi yang tinggi. Proses pengeringan, penempatan di bawah lampu pemanas, managemen kolostrum dan perawatan yang lain menjadi kunci keberhasilan peternak dalam mengamankan anak babi yang lahir agar bisa bertahan hidup, terlebih dengan sifat genetika induk babi yang bisa menghasilkan anak yang banyak.

Lingkungan kandang melahirkan juga idealnya dipersiapkan dengan baik. Penggunaan pemanas (33-34°C) saat periode awal kelahiran akan membantu onset menyusu lebih awal dan mengurangi angka kematian anak babi. Angka kematian bisa ditekan sampai 7,2% dibandingkan dengan 12,2% tanpa pemanas selama tiga hari pertama kehidupan. Namun, perlu diketahui juga bahwa saat periode ini adalah fase krusial karena disatu sisi anak memerlukan suhu hangat, sedangkan induk memerlukan suhu yang lebih sejuk. Umumnya peternak akan mempersiapkan babybox dari kayu untuk anak babi dengan pemanas dan untuk induk diatur sedemikian rupa agar sirkulasi udara segar terpenuhi untuk menjaga nafsu makan tetap bagus sehingga nutrisi untuk anak bisa terpenuhi dengan baik.

Naluri alami induk bunting yang mendekati masa kelahiran pada umumnya akan mengekspresikan perilaku membangun sarang untuk mempersiapkan proses melahirkan. Untuk peternakan tradisional, perilaku ini akan lebih kelihatan daripada peternakan yang lebih modern. Dengan adanya data rekording yang bagus, peternak akan memindahkan induk bunting ke kandang farrowing jika mendekati hari kelahiran. Peran utama babi segera setelah lahir adalah untuk menghasilkan cukup kolostrum dan air susu. Hal pertama yang harus dievaluasi adalah jumlah puting yang aktif untuk nantinya dipersiapkan bagi anak babi yang dilahirkan. Induk babi umumnya mempunyai 12 – 18 puting susu, namun tidak semuanya dapat aktif. Pengecekan pada induk dara yang akan melahirkan pertama kali menjadi sangat penting karena kita harus memastikan bahwa anak babi mendapatkan asupan kolostrum dan air susu yang cukup, terutama jika nanti jumlah anak yang dilahirkan cukup banyak. Pencatatan puting susu aktif ini juga berguna untuk evaluasi kelahiran selanjutnya. Anak babi yang menyusu pada puting yang sebelumnya digunakan dan berfungsi baik pada laktasi pertama cinderung mengalami kenaikan berat badan 340 g dari hari ke 2 – 14 laktasi. Kolostrum dan produksi air susu yang tidak mencukupi dapat mempengaruhi seluruh kelenjar susu dan dikenal sebagai postpartum dysgalactia syndrome (PDS).

Induk babi domestik relatif bisa mengurus anaknya sendiri jika tidak lebih dari 10-11 ekor, tetapi jika lebih banyak maka intervensi kita sebagai peternak harus dilakukan agar survival rate tinggi. Strategi yang paling umum, menangani kelebihan anak babi yang baru lahir, adalah untuk mengalokasikan mereka ke induk babi lain. Tidak jarang, peternak menitipkan anakan ke induk babi yang lain jika ternyata produksi susu induk tidak cukup karena jumlah anak yang terlalu banyak. Namun demikian, cross fostering harus dilakukan setelah anak babi mendapatkan jatah kolostrum dari induk aslinya. Persaingan untuk mendapatkan puting susu pada anak sekelahiran yang > 12 ekor memerlukan penanganan ekstra agar semua terlayani dengan baik. Selain itu, bobot lahir yang cinderung kecil (0,9 – 1 kg) mempunyai resiko kematian sampai 34,5% dibandingkan jika induk hanya mempunyai anak < 12 ekor dengan berat lahir standart (1,2 – 1,6 kg) yang resiko kematiannya hanya sekitar 16,1% – 19,6 %.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anak babi yang baru lahir dituntut untuk bisa menjaga suhu tubuhnya sekitar 34° C. Oleh karena itu, sekali lagi diperlukan upaya intervensi dari peternak untuk mengeringkannya dengan cepat segera setelah lahir dan mempersiapkan pemanas yang memadai untuk meminimalkan resiko anak babi kehilangan panas tubuh mereka. Yang kedua, segera bantu mereka untuk mencapai puting susu induk dan mendapatkan jatah kolostrum minimal 200-250 g dalam waktu 12-16 jam dari awal kelahirannya. Anak babi yang kecil dan hidup harus dibantu untuk menyusu untuk memastikan kolostrum tertelan. Prosedur ini harus diulang 3-4 kali dalam beberapa jam pertama jika anak babi tersebut tidak terlihat aktif menyusu. Kita juga bisa lakukan pemerahan air susu dan menempatkan pada dot / spet untuk diberikan pada anak babi yang relatif lemah. Untuk meminimalkan kompetisi untuk asupan kolostrum, jika jumlah anak relatif banyak dan induk kewalahan maka sebaiknya anak dibagi menjadi dua kelompok. Kita utamakan terlebih dahulu anak babi dengan berat lahir kecil terlebih dahulu untuk menyusu selama 60-90 menit, baru kemudian kelompoknya diganti yang berbobot lahir lebih besar.

Manajemen pengendalian penyakit.

Setelah fase krusial terlewati dengan baik, anak babi juga harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan penyakit yang juga beresiko mengakibatkan kematian. Konsumsi kolostrum pada awal kehidupan adalah mutlak dibutuhkan sebagai sumber kekebalan pasif (maternal antibodi) yang bersifat sementara, karena secara teori hanya mampu memproteksi anak babi sampai umur sekitar kurang lebih 8 minggu tergantung masing-masing individu. Oleh karena itu, kita sebagai peternak dituntut untuk mempersiapkan imunitas anak babi agar mereka bisa bertahan sampai panen. Sekali lagi, rekording disini menjadi penting karena bisa menjadi acuan buat kita untuk menganalisa penyakit apa saja yang pernah terjadi di kandang sehingga kita bisa menerapkan strategi yang pas.

Secara umum, kasus yang sering ditemui pada anak babi di fase awal kehidupan – sapih yang harus dicermati adalah kasus pencernaan, pernafasan dan terkadang saraf. Kasus bakterial, viral dan parasit bisa saja ditemui pada fase ini, oleh karena itu observasi dan sejarah masa lalu bisa menjadi acuan dalam menyusun program pemeliharaan. Terlebih saat ini, kasus African Swine Fever (ASF) juga masih menjadi tantangan besar untuk para peternak babi mengingat belum ada vaksin komersial yang baik tersedia di lapangan sehingga biosekuriti menjadi strategi yang paling utama untuk saat ini. Jika kejadian penyakit cukup sering diawal kehidupan, kita mungkin sebaiknya melakukan observasi juga dengan status indukan di kandang breeding kita.

Penyakit-penyakit reproduksi seperti Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2 (PCV2), Porcine Parvovirus (PPV), Classical Swine Fever (CSF) dan patogen lainnya bisa jadi sedang bersirkulasi di kandang breeding kita sehingga mengakibatkan status kesehatan induk sedang bermasalah dan merimbas ke kondisi anak babi yang dilahirkan kurang baik. Proses pemilihan calon induk sebaiknya dilakukan evalusi, apakah karantina dan aklimatisasi dilakukan dengan benar.

Pada anak babi, untuk kasus pencernaan yang paling mendominasi adalah bakteri Escheria coli dan Clostridium sp., Coccidiosis, serta virus Porcine Epidemic Diarrhea (PED), Porcine Circovirus Diarrhea, Rotaviral Enteritis dan Transmisible gastroenteritis (TGE). Gejala umum yang biasa ditemui adalah diare dengan berbagai macam bentuk dan warna, dehidrasi, nafsu makan turun, pertumbuhan terhambat dan tidak jarang berakhir kematian. Untuk PED, gejala yang paling kelihatan adalah kematian tinggi pada anak babi dibawah umur 2 minggu. Secara umum, kasus yang biasanya muncul pada minggu pertama disebabkan oleh E.coli dan Clostridium sp., sedangkan minggu ke-2 bisa E.coli dan Coccidiosis.

Untuk kasus pernafasan, Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC) sering ditemui di peternakan babi dengan gejala umum lemah, tidak nafsu makan, demam, leleran hidung/mata, batuk, sianosis/perubahan warna pada kulit dan gangguan pernafasan lainnya. Yang berperan dalam kasus PRDC ini antara lain virus seperti PRRS, PCV2, Porcine Respiratory Corona Virus (PRCV), Swine Influenza (SIV), dan Pseudorabies (PRV) atau yang sering dikenal dengan nama Aujezsky’s Disease (AD). Sedangkan untuk bakteri yang berperan adalah Mycoplasma hyopneumoniae, Haemophilus parasuis (Glaesserella parasuis), Streptococcus suis, Boedetella bronchiseptica, Actinobacillus suis dan Actinobacillus pleuropneumonia (APP). Mycoplasma hyopneumoniae ini sering disebut sebagai “gate opener” atau pintu masuk bagi penyakit-penyakit pernafasan yang lain karena merusak silia saluran pernafasan sehingga memudahkan patogen lain untuk menginvasi saluran pernafasan babi.

Untuk kasus gangguan saraf, yang umumnya ditemui dilapangan adalah edema disease, PRV, Streptococcal meningitis, dan keracunan. Gangguan yang nampak secara umum biasanya adalah tremor, inkoordinasi, kejang-kejang, berbaring dan gerakan mendayung (paddling), salivasi. Untuk kasus keracunan biasanya juga disertai muntah.

Mengingat banyaknya tantangan yang ada di lapangan, maka sudah seharusnya kita mempersiapkan strategi manajemen dan program yang disesuaikan dengan kondisi di kandang. Secara umum, pengendalian penyakit ini harus melibatkan biosekuriti, medikasi dan vaksinasi. Untuk penyakit-penyakit yang penting umumnya peternak skala besar lebih mengutamakan program vaksinasi dalam membentuk kekebalan yang berguna untuk menjaga kelangsungan hidup sampai umur panen.

Dari paparan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan angka survival rate pada anak babi yang baru dilahirkan maka kita harus mempersiapkan beberapa prosedur manajemen yang penting, yaitu mempersiapkan kandang melahirkan dengan sebaik-baiknya (jerami kadang bisa dipersiapkan untuk memungkinkan induk mengekspresikan perilakunya), untuk mengurangi resiko kehilangan panas tubuh anak babi kita bisa lakukan dengan pembersihan cairan janin serta penambahan pemanas dan alas lantai untuk penghangat (34° C), manajemen kolostrum untuk memastikan anak babi mendapatkan kekebalan induk yang dibutuhkan di awal kehidupan (lakukan intervensi jika jumlah anak yang banyak membuat induk kewalahan), cross fostering bisa dilakukan ke induk babi laktasi yang lain dengan pengawasan jika jumlah air susu induk aslinya tidak mencukupi.

Terkait pengendalian penyakit, idealnya kita harus mempunyai strategi dan manajemen pemeliharaan yang disesuaikan dengan kondisi tantangan penyakit dilapangan. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan terkait dengan penyusunan program ini agar strategi yang diterapkan tepat sasaran dan ternak kita bisa bertumbuh dengan baik tanpa ada gangguan penyakit yang berarti.

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI (sumber : https://rumahternak.com/2021/09/26/manajemen-pemeliharaan-anak-babi/)

Diare Pada Ternak Babi

Membahas masalah penyakit pada ternak babi sepertinya tidak ada habisnya. Kali ini kita akan mencoba membahas tentang gangguan pencernaan yang umumnya ditemui pada usaha peternakan babi. Apa saja patogen yang berperan dan bagaimana kita menganalisanya? Berikut adalah penyakit pencernaan yang umumnya dihadapi para peternak babi di lapangan :

Enteric Colibacillosis. Gangguan yang paling umum dialami anak babi adalah diare yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli. Strain patogen E. coli mudah diisolasi dan termasuk dalam bakteri gram negatif. Ada lima jenis E.coli yang ditemukan pada babi yaitu F4 (K88), F5 (K99), F41 dan F6 (987P) yang memediasi adhesi pada neonatus, serta F18 yang bertanggung jawab terhadap kejadian kolibasilosis pasca penyapihan seperti halnya F4.

Strain patogen Enterotoksik E. coli (ETEC) menghasilkan satu atau lebih enterotoksin, yaitu eksotoksin yang diuraikan secara lokal di usus kecil yang dapat memiliki efek lokal atau sistemik. Racun yang diuraikan oleh E. coli patogen pada babi (ETEC) adalah toksin labil (LT), toksin A (StA) yang stabil dan toksin B yang stabil (StB) yang menyebabkan hiperekskresi cairan dari usus, serta verotoksin (toksin seperti shiga, SLT) yang bertanggung jawab atas efek vaskular sistemik penyakit edema. Selain itu, beberapa strain juga memiliki kemampuan untuk mengikis epitel (AEEC). Gejala klinis yang nampak adalah diare encer dan kemungkinan adanya muntah juga. Lesi biasanya ringan/minimal, jejunum dan ileum mungkin mengalami atrofi vili ringan. E. coli juga dapat menyebabkan poliserositis fibrinosa.

Hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah kolibasilosis antara lain adalah managemen, biosekuriti dan vaksinasi. Sedapat mungkin breeding stock harus diperoleh dari sumber yang tidak bermasalah dengan kolibasilosis. Proses alkimatisasi saat calon induk datang selama 3-6 minggu sebelum dikawinkan diharapkan bisa mengembangkan kekebalan terhadap patogen ini sehingga memungkinkan produksi antibodi spesifik dalam jumlah yang cukup dalam kolostrum dan susu. Vaksinasi bisa menjadi alternatif pilihan untuk membentuk kekebalan. Induk bunting biasanya diberikan vaksin 2x dengan interval 2-3 minggu sebelum melahirkan. Sistem pemeliharaan menggunakan sistem all in / all out dalam memelihara anak babi relatif lebih mudah dalam mengendalikan patogen penyakit. Selain itu program sanitasi dan desinfeksi juga penting.

Ketika upaya pencegahan gagal, antimikroba dapat diberikan pada neonatus secara oral atau melalui suntikan. Karena sifat organisme yang menular, saat merawat babi yang sakit sebelum disapih, semua babi di litter juga perlu dirawat secara bersamaan. Pemberian antibiotik yang sesuai bisa diberikan via air minum. Larutan pengganti elektrolit oral terkadang digunakan untuk membantu mengontrol dehidrasi. Pastikan kita juga melakukan evaluasi untuk melakukan perbaikan yang diperlukan guna mencegah gangguan penyakit ini terulang kembali di periode selanjutnya.

Rotavirus Enteritis. Setidaknya ada 7 serogrup yang berbeda secara antigen dari rotavirus (A, B, C, D, E, F, G) dimana 4 diantaranya (A, B, C, E) mempengaruhi babi. Grup A sejauh ini adalah yang paling umum ditemukan pada babi, dan tipe C telah dikaitkan dengan wabah. Rotavirus sangat stabil di lingkungan. Mereka tahan terhadap perubahan suhu, bahan kimia, pH, dan beberapa disinfektan. Disinfektan yang direkomendasikan untuk permukaan yang dibersihkan termasuk disinfektan berbahan dasar formaldehida dan klorin.

Tingkat keparahan tergantung pada berapa banyak patogen yang masuk dan jumlah maternal antibodi yang didapatkan dari kolostrum di awal kehidupan. Wabah di peternakan sering berulang ketika anak babi mencapai usia di mana kekebalan laktogenik tidak lagi memadai untuk melindungi dari tingkat paparan, ditambah dengan praktek manajemen dan kondisi lingkungan yang buruk. Gejala klinis yang muncul adalah diare berwarna putih – kuning, dan umumnya berlanjut selama beberapa hari sampai babi membentuk kekebalan aktif, dehidrasinya sedang, serta muntah. Babi yang mati biasanya mengalami dehidrasi dan mungkin menunjukkan noda kotoran di area perineum. Dinding usus tipis, lembek dan agak transparan. Usus kecil dan usus besar mengandung cairan dan kotoran berwarna kuning atau abu-abu.

Tidak ada terapi spesifik yang terbukti untuk infeksi rotaviral pada anak babi. Namun, peternakan yang menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik dan pemberian terapi suportif termasuk elektrolit dalam air minum dapat bermanfaat untuk mengurangi resiko dehidrasi. Lingkungan yang kering, hangat, dan nutrisi yang baik penting untuk mengurangi keparahan wabah. Antibiotik tidak efektif untuk infeksi rotaviral tetapi dapat diindikasikan untuk penyakit bakteri yang terjadi bersamaan. Vaksin mungkin bisa menjadi solusi ideal.

Transmissible Gastroenteritis (TGE). TGE adalah penyakit virus babi akut yang disebabkan oleh coronavirus (TGEv) yang pertama kali ditemukan di USA tahun 1943. Menyebar dengan cepat dari segala usia, ditandai dengan diare dan muntah. Pada anak babi, gejala yang teramati antara lain adalah dehidrasi, distensi usus kecil dengan cairan berbusa, kuning, dan berbau . Dinding usus umumnya sangat tipis dan hampir transparan. Perut bisa kosong karena muntah tetapi terkadang ada susu yang mengental. Selain itu, sering teramati juga urat kuning atau abu-abu pada papila ginjal. Isi kolon biasanya juga encer. Kematian tinggi pada anak babi < 2 minggu umum terjadi dan akan menurun seiring bertambahnya usia. TGE bisa endemik, terlihat pada kawanan dengan kekebalan parsial atau infeksi porcine respiratory coronavirus (PRCV) babi yang terjadi bersamaan, dan gejalanya tidak terlalu parah dengan angka kematian jauh lebih rendah. Kejadian bisa sepanjang tahun tetapi biasanya lebih tinggi pada saat suhu dingin.

Pada kasus akut, masa inkubasi TGE sangat singkat, yaitu 18 jam sampai tiga hari. Anak babi rentan akan mengalami diare berat, sering muntah, dehidrasi cepat, menggigil, lemah dan biasanya mati dalam 1-2 hari kemudian. Asupan kolostrum menjadi kunci penting karena bisa mendapatkan imunitas pasif dari induk. Pada kasus akut ini, babi bunting dapat diinduksi untuk membentuk antibodi terhadap TGE dengan paparan alami menggunaka kotoran atau usus anak babi yang sakit parah. Antibodi akan terbentuk dari paparan alami ini dan akan diturunkan ke anaknya melalui kolostrum sehingga akan memberikan perlindungan di saat ada tantangan TGEv. Kasus endemik dapat terjadi setelah wabah akut, terutama pada kawanan yang lebih besar di mana seluruh kawanan tidak terinfeksi secara bersamaan. Virus terus menginfeksi hewan yang rentan, bertahan, dan seringkali sulit untuk dicegah atau dibasmi.

Tindakan pencegahan untuk populasi yang negatif terhadap TGE adalah menerapkan biosekuriti yang ketat. TGEv juga dapat dihancurkan oleh banyak disinfektan, seperti iodine, senyawa amonium kuaterner, fenol dan natrium hipoklorit. Belilah bibit dari sumber yang juga tidak memiliki riwayat kejadian TGE. Perlakuan karantina penting untuk memastikan status kesehatan ternak baru dan sistem produksi all in / all out dengan pembersihan dan desinfeksi di antara farrowing sangat membantu. Penggunaan vaksin pada induk sebelum melahirkan juga bisa dipertimbangkan. Anak babi < 3 minggu jarang berespon baik terhadap pengobatan. Intervensi termasuk tindakan penyapihan, pemberian elektrolit oral, dan lingkungan yang hangat serta pakan yang baik mungkin bisa membantu. Babi yang lebih tua biasanya mampu sembuh secara spontan. Antibiotik bisa diberikan untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.

Porcine Endemic Diarrhea. Virus PED termasuk dari coronavirus yang mirip dengan TGE (TGE like) yang menyebabkan diare pada sebagian besar dari semua umur babi saat mewabah. Jika endemik, diare diamati dengan morbiditas yang lebih rendah pada anak babi yang sebagian besar menyusu dan yang baru saja disapih. Ada dua jenis PEDv, yaitu PEDv tipe I yang hanya memengaruhi babi yang sedang tumbuh dan PEDv tipe II yang memengaruhi semua usia. PEDv tipe II adalah galur yang lebih ganas yang menyebabkan kematian lebih dari 1 juta babi di USA pada tahun 2013-14, dengan kematian hingga 100% terlihat pada anak babi yang berusia kurang dari 7 hari. PEDv tidak berbahaya bagi manusia dan hewan ternak lainnya, serta bukan merupakan risiko keamanan pangan.

Masa inkubasi PEDv juga cepat, yaitu 2-4 hari. PEDv akan merusak vili usus babi, mengurangi jumlah luas permukaan absorpsi yang mengakibatkan hilangnya cairan, diare dan dehidrasi. Hingga 100% induk babi dalam satu kawanan dapat terpengaruh, menunjukkan diare ringan – berair. Kekebalan yang kuat dapat berkembang selama 2-3 minggu dan kolostrum sekali lagi menjadi kunci dalam melindungi anak babi. Gejala klinis sangat spesifik terhadap usia dan kejadiannya akan jauh lebih parah pada hewan yang lebih muda. Pada anak babi yang sangat muda terjadi diare encer yang banyak, tanpa darah atau lendir, biasanya berwarna kuning kehijauan, sering disertai dengan muntah dan anoreksia yang dapat menyebabkan kematian hingga 100% anak babi yang berumur < 1 minggu. Babi yang berumur > 1 minggu biasanya pulih tetapi dengan penurunan tingkat pertumbuhan sekitar 10%, sedangkan pada hewan yang lebih tua (pembibitan, pembudidaya, finisher, babi betina, babi hutan) terinfeksi, umumnya akan berhenti makan 2-4 hari, kotoran encer atau diare berair tanpa darah atau lendir dan muntah – dehidrasi. Kematian 1-3% pada hewan pasca-penyapihan adalah tipikal. Untuk penanganan PEDv bisa mengadopsi dari program pencegahan dan pengendalian terhadap TGEv.

Clostridial Diarrhea. Penyakit yang berhubungan dengan Clostridium perfringens (Cp) dan clostridia lainnya terjadi pada banyak spesies hewan yang berbeda. Kasus enterotoksemia karena toksin beta nekrotikans dari Cp tipe C (CptC) ditandai dengan morbiditas variabel dan mortalitas tinggi pada neonatus atau babi menyusui dengan kematian mendadak, diare berdarah, atau enteritis nekrotik. Diare neonatal juga dikaitkan dengan toksin alfa dan beta dari Cp tipe A (CptA) tetapi dengan morbiditas sedang dan mortalitas lebih rendah dibandingkan dengan CptC. Infeksi Clostridium difficile (Cd) pada sekum dan usus besar menyebabkan diare dengan morbiditas dan mortalitas yang bervariasi.

Gejala klinis Cp bervariasi tergantung pada dosis infeksi, virulensi, dan kuantitas imunitas kolostral. Neonatus yang rentan dapat menunjukkan gejala sakit hanya dalam beberapa jam setelah terpapar CptC dan dapat mati dalam 4-8 jam. Anak babi yang sakit segera menjadi lemah, diam dan kemudian mati. Anak babi yang memiliki resistensi yang baik dapat hidup beberapa hari dan mungkin mengalami diare berdarah. Kadang-kadang, anak babi juga masih mampu bertahan beberapa minggu, dengan penampakan tubuh berwarna kekuningan dengan kondisi diare berlendir. Pada wabah akut, kematian dapat terjadi bahkan sebelum anak babi mengalami diare. Morbiditas bervariasi tetapi mortalitas tinggi, hingga 100%. Pada infeksi CptA tanpa adanya komplikasi pada anak babi yang baru lahir dan yang disapih, biasanya muncul diare berwarna krem, pucat, atau kuning dan berbusa. Morbiditas tinggi tetapi mortalitas umumnya rendah, sedangkan diare yang dihasilkan oleh Cd mungkin tidak dapat dibedakan dari CptA atau colibacillosis neonatal.

Pada infeksi tipe C mungkin ada yang gambaran menghitam pada kulit perut. Rongga peritoneal dan pleura bisa nampak berisi cairan berlebih berwarna darah. pada kasus akut umumnya akan terlihat usus kecil berwarna merah tua, perdarahan dan nekrosis. Lesi biasanya mengenai seluruh usus kecil tetapi dalam beberapa kasus mungkin hanya sebagian saja, biasanya di jejunum atau ileum walaupun terkadang sekum dan usus besar terkadang terpengaruh. Gas dan cairan berdarah terkadang ada di lumen dan dinding usus. Pada kasus CptA, usus kecil biasanya berdinding tipis dan berisi cairan sedangkan lesi Clostridium difficile terbatas pada sekum dan kolon, dan termasuk edema mesokolonik sedang-berat, isi kolon encer, dan terkadang diikuti gejala pernapasan atau kematian mendadak.

Kekebalan pasif segera dapat diberikan untuk CptC dengan antiserum imun (antitoksin) yang diberikan secara oral atau parenteral dalam waktu dua jam setelah kelahiran. Selain itu, antibiotik yang efektif melawan clostridia dapat diberikan selama beberapa hari dan dapat memberikan perlindungan. Perlindungan anak babi terhadap CptC dan CptA dapat diberikan dengan menyuntikkan bakterin-toksoid ke induk, yaitu saat 5-6 minggu pertama dan 2-3 minggu sebelum melahirkan. Beberapa antiklostridial pada induk babi bisa juga diberikan sebelum melahirkan-menyusui. Agen antimikroba yang digunakan antara lain bacitracin, tylosin, virginiamycin, dan lincomycin. Bakteri-toksoid komersial tersedia untuk CptC dan CptA. Program untuk pengendalian Cd yang konsisten masih dalam proses penelitian lebih lanjut dan belum bisa dipahami secara memadai, namun penggunaan terapi antibiotik strategis pada anak babi dan vaksinasi pada induk dengan sediaan bakterin-toksoid autogen sebelum proses kelahiran sedang diteliti.

Salmonellosis. Penyakit ini bisa disebabkan oleh lebih dari 2000 serotipe Salmonella. Pada babi biasanya bermanifestasi sebagai septikemia dan / atau enterokolitis. Infeksi salmonella pada babi tanpa gejala dapat menjadi sumber infeksi Salmonella pada manusia melalui kontaminasi produk daging babi. Penyakit ini sebenarnya relatif jarang tetapi bisa terjadi sepanjang tahun di semua daerah yang ada populasi babi karena semua kelompok umur rentan, terutama babi yang disapih atau sedang tumbuh. Produk babi yang terkontaminasi bukanlah sumber utama wabah salmonellosis yang ditularkan melalui makanan pada manusia, tetapi upaya untuk mengurangi salmonella dalam rantai makanan babi merupakan prioritas tinggi untuk industri babi.

Kejadian salmonellosis di intestinal berupa enteritis nekrotikans pada usus besar dan kecil, kelenjar getah bening mesenterika membesar, dan paru-paru tersumbat. Jika kejadian sampai terjadi septikemia, maka akan muncul lesi kulit berwarna merah / ungu di telinga, ekor, moncong, kaki, dan perut. Selain itu, biasanya kondisi paru-paru juga tersumbat, terjadi splenomegali dan hepatomegali serta bentukan warna abu-abu di hati (nodul paratifoid pada hasil uji histologi). Diagnosa bisa dilakukan dengan melakukan uji kultur terhadap salmonella dari kelenjar getah bening, hati, paru-paru, limpa, ginjal, dan otak jika muncul juga gangguan saraf.

Serotipe yang merupakan penyebab paling umum dari penyakit pada manusia dan babi adalah S. typhimurium, S. enteritidis, S. agona dan S. heidelberg. Sedangkan S. choleraesuis dan S. typhisuis secara umum bisa diadaptasi oleh ternak babi dan jarang terisolasi. Salmonella adalah bakteri gram-negatif yang kecil, kuat, ada di mana-mana. Salmonella dapat dengan mudah bertahan hidup di berbagai kondisi lingkungan tetapi dapat dinonaktifkan oleh disinfektan seperti klorin, yodium dan fenol.

Swine Dysentery. Disentri pada babi adalah penyakit menular yang ditandai dengan diare muko-hemoragik (perdarahan) dan peradangan terbatas pada usus besar. Kejadiannya hanya pada babi meskipun bisa menginfeksi hewan pengerat. Semua usia babi bisa terpapar meskipun jarang terlihat pada anak babi < 3 minggu. Penyakit ini lebih sering terjadi selama masa pertumbuhan / fase akhir. Penyebabnya adalah bakteri gram negatif Brachyspira (Serpulina atau Treponema) hyodysenteriae. Bersifat anaerobik dan strain yang paling patogen sangat beta-hemolitik. Brachyspira hyodysenteriae memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam berbagai kondisi lingkungan tetapi rentan terhadap panas, sinar ultraviolet (UV), pengeringan, sabun dan disinfektan. Spirochetes lain, terutama B. innocens dan B. pilosicoli ditemukan juga di usus besar banyak babi dan sering disalahartikan sebagai B. hyodysenteriae. Jika kita menemui diare persisten ringan, non fatal, berlendir tetapi tidak berdarah pada babi maka kemungkinana besar disebabkan oleh Brachyspira pilosicoli (Spirochaetal Colitis).

Jika B. hyodysenteriae tertelan, maka gejala klinis biasanya muncul 5-21 hari kemudian tergantung seberapa banyak patogen yang masuk. Bakteri ini kemudian akan mencapai usus besar dan berkoloni, berkembang biak, menembus lapisan lendir, melekat dan merusak sel epitel, serta mengeluarkan toksin sehingga manifestasinya berupa diare berdarah yang bisa berujung pada kematian. Jika kita mengamati secara detail, diare yang muncul awalnya berwarna abu-abu hingga kuning dan berlendir, kemudian akan melanjut menjadi muko-hemoragik, dengan lendir berlebih yang disertai dengan darah segar. Setelah diare berkepanjangan, maka babi akan menunjukkan gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, lemah dan penurunan berat badan. Pada ternak yang tidak diobati maka angka morbiditas akan tinggi dan angka mortalitas bisa mendekati 50%. Pada kasus akut, mukosa usus besar akan merah, edema dan bengkak, sedikit fibrin tetapi dengan lendir yang berlebihan, darah terlihat di feses, kemudian bisa terjadi mati mendadak.

Mencegah masuknya B. hyodysenteriae ke kawanan negatif adalah prioritas tinggi, oleh karena itu jika kita membeli bibit dari luar selalu pastikan status kesehatannya dengan memilih yang terbukti bebas dari kasus disentri. Vaksinasi juga belum menunjukkan hasill yang baik dalam upaya pengendalian dan eliminasi bakteri ini. Pada kondisi kasus, peternak yang ingin melakukan metode eliminasi biasanya akan melakukan penyapihan dini (< 3 minggu) dan dipindahkan ke tempat lain yang bersih, sementara ternak yang terinfeksi harus di culling, fasilitas dibersihkan dan di desinfeksi. Sistem all in all out tentunya akan lebih memudahkan penanganan kasus. Metode kedua bergantung pada pengobatan yang relatif mahal dengan menggunakan tiamulin, linkomisin atau karbadoks. Setelah melakukan seleksi ketat maka yang harus dilakukan adalah melakukan perawatan intensif terhadap hewan yang dipelihara. Metode ketiga adalah depopulasi. Hal ini biasanya dipilih pada lokasi kasus yang sulit untuk menerapkan biosekuriti dan sanitasi ketat. Semua fasilitas dan peralatan harus dibersihkan dan di desinfeksi secara menyeluruh, dikosong setidaknya selama 2 minggu, tergantung pada cuaca dan tingkat sanitasi yang dapat dicapai. Brachyspira hyodysenteriae tidak akan bertahan lebih dari 2 minggu di tanah. Setelah itu, kita bisa memulai repopulasi dengan menggunakan ternak yang bebas dari swine dysentery agar kasus tidak terulang kembali.

Porcine Proliferative Enteritis (PPE). PPE adalah penyakit enterik yang ditandai dengan penebalan selaput lendir pada bagian usus kecil dan / atau usus besar. Lesi sangat bervariasi menurut lokasi, luas, dan durasi. Penyakit ini juga dikenal dengan nama lain, yaitu Proliferative Hemorrhagic Enteropathy (PHE), Porcine Intestinal Adenomatosis (PIA), Necrotic Enteritis (NE), Regional / Terminal Ileitis (RI), atau Ileitis. Penyebabnya adalah bakteri gram negatif Lawsonia intracellularis (Li). Penyakit ini bisa dikategorikan bentuk akut (proliferative hemorrhagic enteropathy atau PHE) yang lebih sering terjadi pada dewasa muda, sedangkan bentuk kronis / nekrotik yang lebih umum terjadi biasanya nampak pada fase pertumbuhan. Laporan pertama PPE terjadi tahun 1931, namun baru pada tahun 1993 dikonfirmasi sebagai Lawsonia intracellularis dalam kultur jaringan.

Fase inkubasi, pemulihan, dan karier karena infeksi L. intracellularis berjalan cukup lama pada beberapa babi, mungkin berbulan-bulan sehingga tidak diragukan lagi akan ada populasi babi carrier / pembawa yang berpotensi menyebarkan melalui fesesnya ke populasi babi yang rentan melalui jalur fecal-oral. Kondisi ini akan membuat monitoring relatif sulit mengingat seringkali menyebabkan penyakit subklinis / tanpa gejala. Induk carrier telah terbukti dapat menginfeksi anak mulai umur 6 hari dan jika proses penyapihan dini tidak dilakukan, maka kemungkinan untuk mengendalikan penyakit akan lebih sulit. Wabah sering dikaitkan juga dengan berbagai kondisi stres, sedangkan penularan secara lateral juga telah dibuktikan tetapi tidak terjadi pada semua babi.

Terkait kejadian diare akut biasanya dengan diikuti adanya darah berwarna kecoklatan – hitam, hewan pucat, lemas, dan mati sering terjadi, sedangkan kasus subakut / kronik lebih sering terjadi pada tahap pertumbuhan, yang dimanifestasikan dengan adanya diare sporadis, wasting, dan variasi laju pertumbuhan. Selain itu lesi sering memperlihatkan adanya enteritis nekrotik. Kondisi diare yang mirip satu sama lain ini sering membuat kita sulit membedakan kasus salmonelosis, cacingan, desentri bahkan PCV2. Morbiditas dan mortalitas juga sangat bervariasi karena beberapa babi mungkin secara klinis asimtomatik. Jika kita melakukan bedah bangkai, penebalan beberapa bagian mukosa usus kecil dan / atau besar umumnya akan teramati dengan pola menyerupai gambaran otak, dan tidak jarang usus mengalami perdarahan (PHE). Saat ini vaksin terhadap L. intracellularis bisa menjadi alternatif solusi untuk mengendalikan kasus Ileitis ini.

Whipworm Infection. Infestasi cacing Trichuris suis umum terjadi pada babi domestik dan liar yang rentan, tetapi kebanyakan pada babi < 6 bulan. Kasus lebih banyak terjadi pada babi yang dibebas liarkan di luar ruangan / padang rumput dimana babi dengan mudah mengakses tanah di lingkungannya. Meskipun cacing dewasa memiliki masa hidup yang relatif pendek dan hanya bertelur secara sporadis, tetapi sel telur tetap infektif di sebagian besar lingkungan hingga enam tahun. Program pengendalian dengan obat cacing bisa menjadi strategi intervensi yang efektif.

Saat ternak menelan telur, larvanya kemudian menetas dan memasuki mukosa usus halus anterior lalu kembali ke lumen usus dan memasuki mukosa / submukosa usus besar. Penetrasi ini menghasilkan penebalan dinding usus, mukofibrin dan muko-hemoragik. Evaluasi ulserasi fokal mungkin dipersulit oleh invasi patogen sekunder seperti salmonella, protozoa, dan Balantidium coli. Gejala klinis terkait infestasi cacing akan terlihat dalam 2-4 minggu setelah terkontaminasi, yaitu meliputi anoreksia, diare mukoid atau muko-hemoragik, dehidrasi, dan kemungkinan kematian pada hewan yang parah.

Coccidiosis. Penyakit ini ditandai dengan diare anak babi yang menyusu dan sapihan. Coccidiosis “diare neonatal” yang disebabkan oleh Isospora suis biasanya terjadi pada anak babi umur 1-3 minggu, sedangkan Eimeria spp umumnya menginfeksi babi umur 1-3 bulan (jarang). Tingkat keparahan lesi berhubungan dengan jumlah ookista yang tertelan dan juga keberadaan bakteri di usus termasuk Clostridium sp. Pada infeksi yang serius, proses erosi epitel vili yang tidak diimbangi regenerasi yang cepat menyebabkan hilangnya cairan dan kegagalan epitel untuk menyerap nutrisi dan cairan sehingga menyebabkan diare, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit, mungkin kematian.

Gejala klinis umumnya muncul paling cepat 5 hari setelah lahir, tetapi lebih sering terlihat pada anak babi yang berusia 1-3 minggu. Penampakan umum adalah diare kuning-bening, diare pasta-berair, dehidrasi, bulu kasar, dan pertumbuhan lambat. Penyakit ini dapat muncul dalam dua gelombang, pertama saat 4-6 hari saat beberapa populasi mulai terinfeksi dan kedua setelah 4-8 hari kemudian dimana semua populasi akhirnya terinfeksi. Anak babi yang menyusu mungkin akan memuntahkan air susunya. Angka morbiditas tinggi tetapi mortalitas bervariasi (umumnya sedang). Kasus diare neonatal ini menyerupai colibacillosis, tetapi kita bisa analisa lebih lanjut dengan bagaimana ternak merespons terapi antibiotik. Coccidiosis tidak akan berespon terhadap pemberian antibiotik. Kita juga bisa memeriksa kotoran babi dengan mikroskop terkait ada tidaknya ookista. Coccidiosis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain sehingga harus benar-benar teliti dalam menganalisa diare ini.

Program sanitasi dan desinfeksi penting dilakukan untuk mengeliminasi protozoa ini di lingkungan kandang. Permukaan kayu dan beton sangat sulit dibersihkan secara efektif, sedangkan penggunaan lantai logam / plastik berlubang akan bermanfaat dalam pengendalian koksidiosis dan penyakit enterik neonatal lainnya karena kotoran akan jatuh kebawah dan minim kontak dengan ternak babi kita. Program pengobatan rutin biasanya dilakukan pada semua anak babi dengan toltrazuril untuk meminimalkan kejadian dan keparahan koksidiosis.

Setelah kita tahu apa saja penyakit pencernaan pada babi, lalu bagaimana cara pendekatan diagnosa yang baik terkait kasus diare pada babi? Dengan gejala klinis yang relatif mirip satu sama lain tentunya sering membuat kita mengalami kesulitan saat melakukan evaluasi di lapangan secara visual. Terkait hal ini, berikut langkah-langkah yang bisa kita lakukan dalam menganalisa kasus diare pada babi, yaitu

1. Di fase apa kejadian diare ini muncul dan gambaran klinisnya. Langkah ini menjadi strategis untuk kita kemudian bisa mempersempit patogen yang kemungkinan berperan. 2. Diagnosa bisa kita lakukan dengan 4 pendekatan, melihat sejarah kasus masa lalu, melihat visual gejala klinis di lapangan, melakukan nekropsi babi yang terindikasi sakit dan juga uji laboratorium. 3. Jika kita menemukan kasus diare dengan perdarahan, maka kita bisa lebih fokus pada patogen seperti salmonella, swine dysentery dan Ileitis, ataupun kejadian hemoraghic bowel syndrome (HBS) dan gastric ulser.

4. Lakukan upaya pengendalian dengan strategi yang tepat berdasarkan diagnosa penyakit yang sudah kita lakukan. Perbaikan manajemen, praktek biosekuriti, medikasi dengan antibiotik untuk kasus bakterial atau antikoksi untuk kasus protozoa dan vaksinasi bisa menjadi alternatif pilihan.

Kesimpulan. Kasus diare pada babi jika kita belum terbiasa maka akan kesulitan dalam menganalisa. Evaluasi dan diagnosa kasus pencernaan pada anak babi sebelum sapih umumnya relatif lebih mudah karena berbentuk infeksi akut dibandingkan fase post weaning dan grow-finish yang umumnya kronis. Anak babi yang mengalami diare di minggu awal kehidupannya akan mempengaruhi pertambahan berat badan yang berakibat pada waktu panen yang lebih lama. Selain dengan melihat sejarah kasus pada masa lalu dan melihat gejala klinis langsung di lapangan, kita bisa melakukan nekrosi terhadap anak babi yang menunjukkan gejala diare dalam 12-24 jam terakhir dan belum mendapatkan treatment antibiotik. Jika ingin memastikan lagi, kita sebaiknya melakukan uji laboratorium. Sekali lagi, pendekatan diagnosa yang baik akan memudahkan kita dalam menentukan patogen apa yang sebenarnya sedang menyerang kawanan ternak kita sehingga terapi dan strategi yang kita pilih juga lebih tepat sasaran.  

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2021/05/01/diare-pada-babi/)

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Kasus ASF di dunia menjadi tantangan luar biasa bagi peternakan babi beberapa tahun terakhir ini. Populasi babi yang terkoreksi cukup dalam ini mengakibatkan suplai dan demand terhadap daging babi tidak seimbang dan mengakibatkan fluktuasi harga yang luar biasa. Cara menyikapi kejadian inipun berbeda-beda diantara para pelaku usaha. Di China, beberapa pengusaha melihat ini mungkin sebagai “peluang” karena kebutuhan daging babi dimasa akan datang pastinya akan sangat kurang dan siapa yang bisa suplai tentunya yang akan memetik hasilnya. Lalu strategi apa yang mereka lakukan untuk menghadapi ASF yang belum ada vaksinnya ini?

Berikut adalah resume dari langkah-langkah / point penting terkait proses repopulasi yang dilakukan dan mungkin bisa kita modifikasi dan sesuaikan dengan kondisi di Indonesia:

  1. Kecepatan adalah kunci – deteksi dini, tindakan cepat dan penanganan sumber infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran virus lebih lanjut dalam sistem produksi. Monitoring pergerakan babi pada daerah terdampak juga harus diperketat, dan perlakuan karantina plus pengujian berkala harus dilakukan dengan disiplin dan konsisten.
  2. Desinfeksi terhadap truk pengangkut babi – proses pembersihan, desinfeksi dan pengeringan
  3. Membuat perimeter – zone untuk menahan penyebaran virus secara sistematis : ‘zona wabah’ radius 1 km, ‘zona kontrol’ radius 3-5 km, dan ‘zona pengawasan’ radius >10 km (tergantung Geografis dan kepadatan babi)
  4. Larangan di zona kontrol – batasi akses orang luar yang tidak berkepentingan, dilarang menjual/pindahkan babi ke luar zona, dilarang menyembelih babi, menjual bangkai dan produk sampingannya, pengawasan lalu lintas pakan/bahan baku dan transportasi
  5. Perlakuaan penting di zona kontrol – menempatkan titik pemeriksaan dan desinfeksi di pintu keluar masuk lokasi terdampak dan zona kontrol, desinfeksi kendaraan yang keluar dari zona kontrol, ganti pakaian dan sepatu di pos pemeriksaan sebelum memasuki zona kontrol, dan singkirkan hewan liar.
  6. Perlakuan penting di zona wabah – bersihkan semua babi dan produknya dengan seminimal mungkin kontaminasi darah (virus ASF ditemukan dalam jumlah tinggi di dalam darah); bakar/kuburkan babi mati, produk babi, fomites dan semua yang terkontaminasi sedalam 4m, lalu tutup lobang dengan kotoran dan kapur, serta lakukan desinfeksi agar tidak mengundang hewan liar; proses ini sebisa mungkin dimulai dari lokasi yang paling parah untuk meminimalkan resiko penyebaran/kontaminasi; staf yang terlibat harus menerapkan protokol yang ketat (mandi, ganti baju dan alas kaki dll); lakukan pengendalian vektor
  7. Langkah desinfeksi yang tepat – virus ASF adalah virus ‘DNA enveloped’ yang kompleks dan tahan terhadap lingkungan. Agar desinfektan sepenuhnya efektif, maka sebelumnya harus dilakukan pembersihan semua bahan organik dengan deterjen, dikeringkan baru kemudian masuk ke proses desinfeksi; pastikan waktu kontak dan dosis sesuai rekomendasi, dan penguapan dengan suhu panas jika memungkinkan.
  8. Desinfektan yang terbukti mampu menonaktifkan virus ASF adalah natrium hidroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, glutaraldehyde, asam sitrat, yodium monoklorida, formaldehida, senyawa amonium kuarter dan kalium peroksimonosulfat. Konsultasikan ke distributor desinfektan anda ya untuk memastikan efektifitasnya terhadap ASF.
  9. Lakukan desinfeksi terhadap semua bahan dan fasilitas kandang yang terkontaminasi saat proses pembersihan memusnahkan babi
  10. Pembersihan intensif fase I – karena virus ASF sangat resisten, maka sekali lagi sangat penting untuk membersihkan dan mendesinfeksi dengan benar semua bahan yang mungkin telah bersentuhan dengan virus. Langkah fase I ini meliputi pembersihan mekanis semua bahan organik (pakan, feses, kotoran) dengan menggunakan sikat dan sekop, buang/bakar peralatan yang tidak dapat didisinfeksi dengan benar, semprotkan air ke semua permukaan, siram dengan deterjen, bilas dengan air dan biarkan waktu mengering serta semprot desinfektan ke semua permukaan dan naikkan suhu ruangan jika memungkinkan.
  11. Pembersihan intensif fase II – ulangi semua proses fase I, pastikan semua peralatan dan fasilitas bersih dan buang/bakar semua pakaian yang digunakan selama desinfeksi. Sedikit saya tambahkan disini, sharing dari kolega dokter hewan di China yang membantu proses repopulasi di sebuah farm besar menyebutkan bahwa, proses cleaning/pembersihan ini harus di test dengan ATP fluorescence detector sebelum masuk ke tahap desinfeksi. Jadi mereka harus melakukan swab terhadap semua permukaan kandang yang diduga masih terdapat cemaran patogen. Jika ternyata hasil deteksi ATP ini masih menunjukkan angka patogen yang melebihi ambang batas yang disarankan maka proses pembersihan harus diulang kembali.
  12. Pembersihan intensif fase III – desinfektsi semua permukaan dengan tekanan rendah atau menggunakan desinfektan bubuk (biarkan < 6 jam), tingkatkan suhu ruangan bila memungkinkan dan tutup area kandang
  13. Perlakuan di lingkungan luar kandang – bersihkan dan desinfeksi lingkungan dengan benar, cek tempat penampungan limbah/kotoran, cek sisa-sisan bahan baku/pakan dan tempat pakan/silo, bakar pakaian yang dipakai selama fase ini dan tutup lokasi kandang selama masa karantina sebelum mulai proses repopulasi.
  14. Bioassay – memulai kembali bisnis harus menjadi salah satu prioritas bagi setiap peternakan yang terkena ASF. Proses pengujian harus detail untuk memastikan patogen sudah tidak terdeteksi lagi. Investasi, daya dan upaya relatif besar untuk memastikan infeksi tidak terulang lagi. Peran otoritas lokal menjadi penting untuk mengatur kapan proses repopulasi bisa dimulai. Bioassay adalah metode analisis yang memastikan apakah sebuah peternakan cukup bersih untuk dihuni kembali.
  15. Memulai repopulasi dengan memasukkan hewan sentinel – pilih sumber hewan terpercaya dan konfirmasikan melalui pengujian laboratorium, atur transportasi dengan truk yang bersih dan pastikan sudah di desinfeksi, tempatkan karyawan untuk tinggal di dalam kandang selama masa observasi (60 hari) dan siapkan pakan sekaligus dari sumber yang terpercaya juga; mulai masukkan babi sentinel 5-10% dari kapasitas peternakan, lalu cuci dan desinfeksi mobil pengangkut babi, keringkan sebelum digunakan kembali.
  16. Perlakuan terhadap hewan sentinel – babi dibiarkan bebas mengakses semua area kandang sehingga memastikan bahwa lingkungan dalam kandang aman dari patogen yang mungkin terlewatkan saat proses pembersihan dan desinfeksi.
  17. Monitoring hewan sentinel – pantau selama 60 hari, lakukan pengujian PCR mingguan dengan jumlah statistik yang signifikan, periksakan semua hewan yang mati ke dokter hewan dan lakukan pengujian laboratorium terhadap ginjal, tonsil, kelenjar getah bening, paru-paru dan limpa; kumpulkan sampel darah dari semua babi di akhir periode 60 hari dan lakukan uji Elisa (cek antibodi) dan uji PCR (deteksi antigen)
  18. Jika semua terlewati selama fase 60 hari (periode karantina berakhir) dan setelah semua tes menunjukkan hasil negatif maka kita kemudian bisa memasukkan populasi babi selanjutnya sampai kapasitas yang diharapkan tetapi harus terus menjalankan program monitoring dan biosekuriti yang ketat karena vaksin belum ditemukan.

Jika dari China kita bisa belajar bagaimana mereka sukses dalam proses repopulasi pada peternakan besar, ternyata tidak demikian dengan contoh di Vietnam. Proses repopulasi pada peternakan skala kecil di Vietnam ternyata tidak kuasa untuk menahan gempuran virus ASF karena tindakan biosekuriti mereka yang relatif lemah. Hal ini akhirnya menyebabkan peternak mengalami kerugian ganda karena investasi mereka kembali direnggut oleh ASF. Kita tahu bahwa Vietnam terdampak ASF mulai Februari 2019, dan Oktober 2019 perusahaan skala besar disana sudah bersiap membantu peternak skala kecil untuk mulai usaha kembali.

Gejolak kenaikan harga yang sangat tinggi ini juga mendapat respon positif beberapa peternak kecil sehingga mereka berani membeli dan berencana memulai beternak kembali pada bulan November 2019. Namun apa yang terjadi, hanya dalam selang waktu 3 hari setelah babi diterima dikandang ternak tersebut sakit, mati dan dinyatakan positif ASF kembali. Mengapa bisa terjadi reinfeksi setelah sekian lama kandang dikosongkan (>6 bulan)? Mungkin jawabannya terletak pada proses pembersihan dan desinfeksi pasca ASF yang kurang baik.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari 2 contoh diatas? Secara umum pengendalian penyakit dalam pemeliharaan ternak melibatkan manajemen, vaksinasi dan biosekuriti. Jika kita berbicara ASF untuk saat ini yang belum ada vaksinnya, maka sudah seharusnya kita memaksimalkan perbaikan manajemen dan memperketat biosekuriti. Peternak kecil menjadi sangat beresiko mengingat kemungkinan besar implementasi faktor-faktor tersebut kurang maksimal. Selain itu, biasanya peternak di Indonesia rata-rata juga berada dalam satu lokasi yang sama dengan peternak lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat idealnya peternak dalam suatu komplek wilayah yang sama harus saling terbuka dan memiliki pemahaman yang sama dalam proses pengendalian penyakit ini agar semua populasi aman. Pembentukan kelompok ternak dan bimbingan teknis bisa menjadi sarana yang baik untuk memberikan update informasi kepada para peternak kecil sehingga tidak ada lagi peternak yang menjalankan usahanya “asal-asalan” yang pada akhirnya beresiko terhadap kelangsungan usaha peternak yang lain.

Akhir kata, untuk memulai usaha ternak kembali pasca ASF diperlukan proses cleaning dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama. Setelah itu, proses repopulasi bisa dilakukan idealnya setelah zona wabah sudah dikonfirm aman (lama waktunya tergantung situasi dilapangan) dan dilakukan monitoring terhadap kemungkinan kejadian penyakit dengan uji-uji laboratorium (ELISA, PCR dll). Sekali lagi, perbaikan manajemen dan biosekuriti memegang peranan penting dalam upaya pengendalian penyakit ASF ini, mengingat vaksin masih dalam tahap penelitian.

Sukses selalu !!

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2021/01/09/langkah-langkah-repopulasi-pasca-outbreak-african-swine-fever-asf/).

 

360 Degree – Swine Diseases

ADHMI Continuing Education Team bekerjasama dengan CEVA Animal Health telah mengadakan SEMINAR ONLINE , melalui ZOOM & YouTube Livestreaming. Seminar yang dipandu oleh Drh Teresia Metalestari, Moderator Drh Indra Nainggolan bersama Pembicara pakar dari Thailand Metta Makhanon, DVM., Ph.D dengan topik 360 Degree – SWINE DISEASES.

Tujuan:
1. Mengetahui sejumlah penyakit babi mempunyai kecenderungan terjadi berulang sepanjang masa.
2. Mengetahui upaya antisipasi pencegahan penyakit-penyakit babi.
3. Mengetahui pengalaman Pembicara setelah sukses menangani serangan virus ASF di Thailand

Seminar ini telah dilaksanakan pada:

Tanggal / Hari: 17 Desember 2022 / Sabtu
Waktu: Pk 0900 – 1200 WIB

 

Link Rekaman Seminar:

 

Materi Seminar:

360 degree Swine Diseases Dec2022 short HO2

Info dan keterangan lebih lanjut silakan menghubungi drh. Bintang Mas Kamdoro melalui WA# 0812 2610 4142

Managemen Kesehatan Ternak Babi : Implementasi Biosekuriti, Kunci Pasti Tangkal PMK

 

Pada hari ini, sabtu 10 Desembar 2022 telah dilaksanakan webinar kolaborasi yang melibatkan pemerintah Indonesia dan Australia, yaitu Departemen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian dan AIHSP (Australia Indonesia Health Security Partnership) serta PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) dan ADHMI (Asosiasi Dokter Hewan Monogastrik Indonesia).

Tema yang diangkat saat ini adalah :

MANAGEMEN KESEHATAN TERNAK BABI DI TENGAH WABAH PMK : Implementasi Biosekuriti, Kunci Pasti Tangkal PMK

Acara ini diawali dengan sambutan dari ketua ADHMI, ketua PDHI, Senior Advisor AIHSP dan dibuka oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Agenda ini tentunya menjadi awal yang sangat baik, karena melibatkan 3 nara sumber yang saling melengkapi, yaitu expert dari Thailand, Akademisi dan praktisi peternakan babi.

Untuk menyimak secara lengkap webinar saat ini, silahkan bisa menyimak rekamannya DISINI.

 

Terima kasih.

 

Eradikasi African Swine Fever (ASF) di Masa Lalu

Sejarah ASF hampir mencapai satu abad dan dalam periode ini beberapa elemen kunci dapat dikumpulkan dari sudut pandang epidemiologi. Penyakit ini terbatas di Afrika sampai akhir tahun 1950-an ketika muncul di Portugal pada tahun 1957. Setelah 2 tahun diam, penyakit ini muncul kembali di Lisbon pada tahun 1960 dan menyebar ke Semenanjung Iberia dan negara Eropa lainnya, yaitu Spanyol pada tahun 1960; Prancis pada tahun 1964, 1968 dan 1974; daratan Italia pada tahun 1967, dengan pengulangan pada tahun 1969 dan 1983; Malta pada tahun 1978; Belgia pada tahun 1985; dan Belanda pada tahun 1986. Antara 1971 dan 1980, ASF muncul di beberapa negara Amerika, yaitu Kuba pada 1971 dan kembali pada 1980; Brasil pada 1978; Republik Dominika pada 1978 dan Haiti pada 1979. Dahulu, baik di negara Eropa maupun Amerika penyakit tersebut telah berhasil dibasmi, sedangkan pada epidemi saat ini hanya Republik Ceko yang berhasil memberantas penyakit pada populasi babi hutan.

Pencegahan, deteksi dini, reaksi cepat, dan komunikasi memainkan peran penting dalam pengendalian ASF. Surveilans yang tepat mampu mendeteksi penyakit secara dini baik pada hewan peliharaan maupun liar, dan implementasi rencana yang terkonsolidasi dengan baik dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengendalikan penyakit ini. Sebuah penelitian dengan tinjauan sistematis telah dilakukan untuk mendapatkan pelajaran yang dapat diambil melalui sejarah pemberantasan penyakit ASF secara global, kemudian kita bisa mengevalusi dan menetapkan strategi mana yang berhasil untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan ASF, serta kesalahan apa yang tidak boleh diulangi. Berikut beberapa strategi pengawasan dan pengendalian yang diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk pemberantasan ASF di masa lalu yang bisa menjadi acuan bagi kita dalam menghadapi bahaya ASF.

Laporan dari Belgia, Brasil, Kuba, Republik Dominika dan Haiti, Prancis, Italia, Malta, Portugal, dan Spanyol bisa menjadi referensi bagi kita dalam pengendalian ASF. Terlepas dari sumber daya ekonomi yang dialokasikan dan upaya yang dilakukan, pemberantasan ASF berhasil dilakukan hanya di 8 negara dalam kurun waktu antara tahun 50-an dan 90-an di abad ke dua puluh ini. Dalam konteks epidemiologi dan budaya yang berbeda, proses pengendalian inipun mempunyai rentang waktu yang relatif besar, yaitu <1 tahun sampai 40 tahun. Strategi surveilence klasik, seperti pengawasan aktif dan pasif baik di tingkat peternakan dan rumah pemotongan hewan bersama dengan tindakan biosafety dan sanitasi konvensional terbukti mampu meredam kasus ASF. Hal ini menekankan bahwa data tentang surveilans dan populasi hewan sangat penting untuk perencanaan pengawasan yang efektif, dan menargetkan strategi pengendalian dan intervensi yang tepat.

Berikut negara-negara yang berhasil dalam pengendalian ASF beserta ringkasan strategi yang dilakukan:

Belgia (Maret 1985 / Mei 1985). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko karena penggunaan jarum suntik yang tidak tepat. Strategi intervensi yang dilakukan adalah penyembelihan hewan di peternakan yang terinfeksi dan pemusnahan/culling semua hewan yang terinfeksi maupun dan tidak terinfeksi, kemudian dilakukan pembersihan dan desinfeksi. Surveilence aktif dan pasif dilakukan babi sentinel di peternakan untuk mendemonstrasikan masih ada tidaknya virus ASF di kandang.

Terkait needle management, sebenarnya buka hanya menjadi issue penyebab penularan ASF tetapi juga penyakit-penyakit lainnya. Idealnya, penggunaan jarum itu 1 jarum untuk 1 ekor babi atau minimal 1 indukan dan anak-anaknya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko penularan akibat penggunaan jarum suntik yang digunakan pada semua kawanan.

Brasil (Mei 1978 / Des 1984). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari makanan terkontaminasi yang digunakan untuk pakan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) larangan pergerakan/lalu lintas babi di dalam dan dari daerah yang terkena serangan ASF; larangan kendaraan dan pergerakan manusia; larangan pembukaan pertunjukan/pameran babi dan pasar babi; larangan memberi makan limbah sebagai pakan babi; 2.) pemeriksaan di pelabuhan, bandara, dan kantor pos/kurir dengan lebih memperhatikan area berisiko; 3.) pemusnahan dan pembakaran semua babi yang berada di daerah terdampak ASF; 4.) membersihkan dan mendisinfeksi kendaraan, gedung, dan benda yang terkontaminasi dan 5.) program pelatihan. Untuk strategi surveilence, aktif dilakukan di rumah pemotongan hewan (tes serologi), di tingkat hewan (pengawasan khusus untuk perdagangan di beberapa wilayah berisiko; uji di tempat asal dan tujuan); dan di tingkat kawanan (sertifikasi kandang yang akan melakukan perdagangan/pameran).

Kuba Mei 1971/1980. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko berasal dari kontak antara kompartemen berbeda dari kandang produksi babi yang memiliki tingkat biosekuriti yang berbeda. Strategi intervensi yang dilakukan saat epidemi 1971 dan 1980 adalah 1.) karantina dan larangan pergerakan babi, larangan swill feeding; 2.) pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan babi sehat yang bersentuhan, serta pemotongan semua babi dalam radius 5 km dan pemotongan semua babi milik pribadi dengan pemberian kompensasi sebagian; 3.) pembersihan dan desinfeksi bangunan, kendaraan pengangkut, dan penggunaan alat pelindung diri; 4.) pelatihan diagnosis; 5.) pengendalian jalur keluar masuk melalui rel kereta api, jalan raya, kapal, dan pesawat.

Strategi intervensi untuk radius 10–15 km di sekitar tempat tertular adalah 1.) pemberian kompensasi untuk semua babi yang dimusnahkan; 2.) transportasi dengan tindakan biosekuriti tinggi; 3.) pembatasan pergerakan semua babi, komoditas, manusia, dan kendaraan; 4.) sensus lengkap semua populasi babi.

Strategi surveilence yang dilakukan adalah 1.) Risk Base Surveillance dengan pembagian zona resiko berdasarkan karakteristik geografis dan politik serta kepadatan produksi daging babi; 2.) pasif surveilence dengan mengevaluasi kejadian kematian pada babi; 3.) aktif surveilence dengan mengevaluasi babi sentinel di farm dan RPH; 4.) fase pemberantasan dengan melakukan aktif dan pasif surveilance babi sentinel di tingkat peternakan, lengkap dengan pendekatan uji diagnosis dan pemeriksaan di RPH; 5) fase repopulasi / rencana pemulihan di daerah yang terkena dampak dengan melakukan surveilence aktif babi sentinel untuk membuktikan masih ada tidaknya virus di lapangan.

Republik Dominika (1978/1981) & Haiti (1978/1982). Model penularan dari babi ke babi. Strategi intervensi yang dilakukan Republik Dominika adalah total depopulasi babi, sedangkan Haiti adalah dengan pemusnahan dengan kompensasi menggunakan tentara militer, pembersihan dan desinfeksi, serta pelatihan dan pendidikan umum untuk berbagai pemangku kepentingan dan kerjasama dengan penduduk di pedesaan. Strategi surveilence yang dilakukan Republik Dominika dan Haiti adalah aktif surveilence dengan menggunakan babi sentinel untuk proses repopulasi.

Prancis (1964/1964) dan (1974). Model penularan babi ke babi. Strategi pasif surveilence dilakukan dengan eksplorasi termal dan pengambilan sampel darah hewan yang positif.

Italia (1967 / Juni 1967 1969 1983). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko pemberian pakan babi dari limbah makanan yang terinfeksi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi, serta stamping out di peternakan yang terinfeksi.

Malta Maret 1978 / April 1978. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko adalah memberi makan babi yang terinfeksi / swill feeding serta waktu/proses deteksi dan pelaporan penyakit yang lama. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) kebijakan pemotongan diterapkan secara ketat (larangan pemotongan) dengan kompensasi; 2.) stamping-out, pembatasan pergerakan babi, karantina hewan dan bangunan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, pemindahan bangkai dan pembakaran; 3.) penelusuran wabah; 4.) larangan penjualan daging babi dan larangan swill feeding. Aktif surveilence dilakukan di rumah potong hewan (pengambilan serum) dan di tingkat peternakan.

Portugal (Epizootik Mei 1957 / Juni 1958 dan Epizootik April 1960 / November 1999). Model penularan dari babi ke babi dan juga kutu dengan faktor resiko adalah transportasi dan penggunaan yang tidak tepat dari limbah makanan yang terkontaminasi, serta pergerakan lalu lintas hewan yang tidak terkendali. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) stamping-out di dalam peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi; 2.) pembersihan dan desinfeksi kandang, pengangkutan, dan penggunaan alat pelindung diri; 3.) pembatasan pergerakan babi dan produk babi dari zona tertular atau di bawah pengawasan; larangan pergerakan babi dan produk babi atau produk sampingan babi dari zona tertular; 4.) larangan aktifitas di pasar dan pameran di zona tertular dan diduga tertular, serta larangan swill feeding dan repopulasi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah pemberitahuan wajib untuk kasus yang dicurigai dan dikonfirmasi.

Spanyol (1960 / September 1994). Model penularan dari babi ke babi dan kutu dengan faktor resiko adalah kontak antar babi yang terinfeksi dan adanya hubungan antara kutu O. erraticus dan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah stamping out di peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi, tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi seperti pembuatan pagar, pembuangan kotoran secara aman, serta proses pembersihan dan desinfeksi. Strategi pada fase pemberantasan, dilakukan strategi aktif surveilence di rumah potong hewan dan di tingkat peternakan, sedangkan pada fase repopulasi dilakukan surveilence pada babi.

Dari semua contoh dan pengalama masa lalu diatas, kita bisa belajar bagaimana sebenarnya ASF ini dapat dikendalikan dan diberantas melalui tindakan pengawasan dan pengendalian klasik. Tindakan klasik didasarkan pada metode pengendalian penyakit, termasuk strategi pengawasan, penyelidikan epidemiologi, penelusuran dan pemusnahan babi di kandang yang terinfeksi, dikombinasikan dengan tindakan karantina dan biosekuriti yang ketat pada babi domestik, kandang, dan kontrol pergerakan hewan. Namun demikian, fakta lainnya juga menunjukkan bahwa strategi ini sulit dipertahankan dalam waktu lama dalam situasi endemik dimana ASF menyerang wilayah yang lebih luas. Keterlibatan populasi babi hutan dalam penyebaran virus juga menghambat pemberantasan ASF dan hal ini merupakan faktor risiko yang relevan dan mendukung terjadinya penyebaran virus ke seluruh perbatasan negara. Oleh karena itu, strategi yang efisien untuk pencegahan atau pengendalian ASF harus didasarkan pada pengetahuan yang mendalam tentang populasi babi domestik dan babi liar, kondisi lingkungan dan jenis sektor babi. Mengingat penyebaran ASF ini juga tidak mengenal batas, maka sebaiknya semua strategi harus memperhitungkan kebijakan bersama dalam menetapkannya sehingga semua pihak bisa mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama dalam usaha pengendalian ASF.

Bagaimana dengan perkembangan penelitian vaksin ASF saat ini? Pengamat industri mengatakan bahwa saat ini masih belum tersedia vaksin yang efektif untuk melawan virus ASF, peternakan babi dan RPH sangat bergantung pada biosekuriti. Desinfeksi lingkungan menjadi sesuatu yang penting selain pengawasan ketat terhadap barang yang mungkin terkontaminasi seperti pakan ternak, kandang babi, dan kendaraan yang mengangkut babi dan lain-lain. Vaksin ASF yang saat ini sedang dikembangkan oleh para peneliti di seluruh dunia, termasuk di China, UK, Vietnam dan juga mungkin di Indonesia. Banyaknya faktor ketidakpastian yang belum terjawab tentang karakter ASF inilah salah satu penyebab vaksin masih dalam fase penelitian dan belum bisa dikomersialisasikan dalam waktu dekat.

Semoga kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu dan siap melakukan strategi yang tepat guna mencegah serangan ASF. Saatnya semua pihak bergandengan tangan untuk menentukan kebijakan yang terbaik untuk menjaga peternakan babi kita.

Badai pasti berlalu!!

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2020/11/07/bagaimana-proses-eradikasi-di-masa-lalu-dan-update-perkembangan-vaksin-saat-ini/ )

 

 

Kondisi Peternakan Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Serangan ASF saat ini tidak hanya dirasakan di Indonesia saja, tetapi hampir seluruh peternakan babi di dunia mengalami kehancuran akibat adanya outbreak penyakit ini. Lalu bagaimana kondisi peternakan secara umum dengan adanya kejadian ini?

 

Sejarah kasus ASF

Sebelum kita melihat kondisi peternakan di dunia saat ini, mari kita flashback sejenak kejadian outbreak ASF didunia dalam beberapa tahun terakhir. Gambaran sejarah tentang situasi ASF sejak 2016 menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dalam jumlah wabah telah diidentifikasi. Data update per juni 2020 dari organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) menyampaikan bahwa pada periode 2016-2020 ini, kejadian ASF sudah dilaporkan dari Afrika, Eropa, dan Asia dengan total 30% (60/201) negara.

Di Eropa, banyak negara yang melaporkan kejadian pertama penyakit itu sejak 2016. Mulai dari Moldova pada September 2016, Republik Ceko pada Juni 2017, Rumania pada Juli 2017, Hongaria pada April 2018, Bulgaria pada Agustus 2018, Belgia pada September 2018 (peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1985), Slowakia pada Juli 2019, Serbia pada Januari 2020 dan Yunani pada Februari 2020. September 2020, Jerman mengumumkan kejadian ASF pada populasi babi liar di wilayah perbatasan dengan Polandia.

Di Asia dan Pasifik, China menjadi negara pertama yang terkena pada Agustus 2018, Mongolia pada Januari 2019, Vietnam pada Februari 2019, Kamboja pada Maret 2019, Hong Kong pada Mei 2019, Korea Utara pada Mei 2019, Laos pada Juni 2019, Myanmar pada Agustus 2019, Filipina pada Juli 2019, Korea Selatan pada September 2019, Timor-Leste pada September 2019, Indonesia pada November 2019, Papua Nugini pada Maret 2020 dan India pada Mei 2020.

 

Kondisi Umum sebelum ASF

Selama tiga dekade terakhir, sebenarnya produksi babi telah tumbuh cepat dari peternak kecil, menengah sampai skala industri di banyak negara Asia Pasifik. Perkembangan teknologi, pengetahuan, dan inovasi di peternakan babi telah mendorong peningkatkan manajemen, sistem perkandangan, formulasi makan dan lain-lain. Performa yang lebih baik ini dapat disebabkan oleh efisiensi galur dan pengelolaan genetik yang lebih baik yang mengarah pada peningkatan produktivitas ternak babi. Namun demikian tipikal peternakan di Asia cinderung masih menggunakan sistem yang boleh dibilang tradisional, menjadi salah satu penyebab belum optimalnya produktifitas ternaknya. Performa ini tentunya masih kalah dengan negara maju yang sudah menggunakan sistem pemeliharaan modern.

Di Indonesia, sistem produksi skala besar dan menengah juga telah dipraktekkan, namun demikian jumlahnya masih kalah jauh dari sistem tradisional skala kecil. Sama halnya di Thailand, tahun 2018 peternak babi dengan kapasitas < 50 babi cukup banyak (93,51%), sedangkan peternak skala besar dibagi lagi menjadi peternakan kecil kapasitas 50-500 babi (4,98%), peternakan sedang kapasitas 500-5000 babi (1,37 %), dan peternakan besar kapasitas >5 000 babi (0,13%).

Area utama produksi babi berada di Asia, Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia. China memiliki > 50% populasi babi dunia dan dikenal sebagai negara penghasil dan sekaligus konsumen babi terbesar di dunia. Pada tahun 2016, konsumsi daging babi di China mencapai ~ 54,98 juta ton (sekitar 1,62 juta ton daging babi masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri).

 

Dampak Penyebaran ASF

China, sejak wabah ASF pertama dilaporkan Agustus 2018, >1 juta babi telah dimusnahkan dalam upaya menghentikan penyebaran ASF dan berdampak langsung kepada peternak kecil untuk menutup usaha ternak mereka. Kehilangan populasi babi ini tidak hanya terjadi di peternakan yang terinfeksi tetapi juga produsen yang area peternakannya berada di dalam zona terdampak ASF karena juga harus ikut dimusnahkan. Rabobank memperkirakan produksi daging babi China turun 25% pada 2019 dan 10-15% pada 2020. Hampir 70% dari semua wabah ditemukan pada peternak kecil yang memiliki populasi < 50 babi karena kurangnya kesadaran mereka tentang penerapan biosekuriti yang tepat. ASF kemudian menyebar cepat dalam waktu sekitar 3 bulan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya kontrol pergerakan babi hidup, kurangnya kapasitas deteksi cepat ASF, karantina hewan yang tidak memadai, dan lemahnya penegakan larangan pengangkutan. Selain itu, terbatasnya ruang untuk pembuangan babi dan bangkai yang terinfeksi memaksa peternak di banyak daerah gagal dalam pengelolaan bangkai ternak yang terinfeksi dengan tepat sehingga mengakibatkan terjadinya pembuangan babi mati di jalan, sungai, atau di hutan. Situasi ini juga membuat para peternak panik dan menjual babi mereka secepat mungkin untuk mengamankan uangnya. Hal ini yang akhirnya menyebabkan ternak babi dan produk babi yang terkontaminasi berputar dalam rantai pasokan dan menyebar ke seluruh China dan negara tetangga.

Dampak lain yang dirasakan adalah perubahan yang dramatis pada fluktuasi harga daging babi. Karena produksi daging babi China sangat terganggu, mengakibatkan harga daging babi mencapai titik tertinggi (naik 47% pada agustus 2019) dan kemudian diikuti dengan peningkatan permintaan sumber protein lain seperti daging ayam dan produk budidaya. Karena permintaan yang tinggi ini akhirnya pengendalian lalu lintas produk babi hidup dan produk babi antar wilayah di China sangat sulit.

Adakah support dari pemerintah? Untuk mempercepat pemulihan dan pengembangan produksi babi, pemerintah China pada awal bulan Desember 2019 merilis “action plan” yang akan dilakukan dalam 3 tahun. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan ternak babi, menghentikan lonjakan harga babi, memastikan pasokan daging babi stabil, memulihkan rata-rata kapasitas produksi tahunan pada akhir 2020, dan mencapai pemulihan penuh pada tahun 2021.

Rencana besar pemerintah China ini meliputi dukungan pembangunan peternakan babi skala besar, mengamankan lahan untuk peternakan babi, membantu peternak kecil dan menengah melalui pola hubungan kemitraan, waralaba, atau sewa dengan perusahaan produksi babi besar, mempromosikan penilaian dampak lingkungan, memperkuat pencegahan dan pengendalian penyakit hewan utama lainnya, membangun dan meningkatkan sistem manajemen resiko penyakit hewan, serta mendukung pembentukan zona bebas penyakit / komunitas. Mereka juga membuka hotline ASF untuk pelaporan jika ada kasus di lapangan.

Sharing pengalaman dari kolega di China, untuk proses repopulasi disana memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk memastikan kandang aman. Proses cleaning/pembersihan dan desinfeksi menjadi kunci penting sebelum proses repopulasi. Setelah proses cleaning, mereka harus melakukan evaluasi dengan serangkaian test dan inspeksi dari pihak terkait. Jika ternyata hasilnya masih belum memenuhi syarat maka proses pembersihan harus diulangi lagi sebelum masuk ke tahapan proses desinfeksi. Proses repopulasi juga dilakukan bertahap dengan memasukkan babi sentinel dan dimonitor secara ketat. Jika populasi sentinel aman, baru dilanjutkan memasukan babi batch selanjutnya sampai populasi yang ditargetkan terpenuhi.

 

Vietnam, Februari 2019 adalah wabah ASF pertama kali dikonfirmasi di provinsi utara Vietnam. Virus ASF yang ditemukan ini memiliki kemiripan dengan strain dari China. Meskipun resiko penularan ini telah diprediksi sebelumnya, strategi dan implementasi pencegahan/pengendalian penyakit ASF ini tidak mampu menghalangi penyebarannya. Perdagangan, perjalanan manusia antar negara, pergerakan hewan dan produk hewan masih sering terjadi dan cukup rumit untuk mencegah resiko penularan dan pengendalian ASF.

Ciri khas virus ASF adalah persistensi jangka panjang dan kelangsungan hidup virus yanag cukup lama dalam makanan terkontaminasi yang berasal dari babi yang terinfeksi. Jika pemeriksaan barang bawaan dari lalu lintas manusia tidak dilakukan dengan baik maka akan meningkatkan resiko penularan ASF juga. Kejadian penyebaran ASF di Vietnam relatif cukup cepat. Epidemi mencapai puncaknya dan menyebar ke lebih dari 8.200 komunitas ternak di seluruh negeri dan jumlah ternak yang terdampak sekitar ~ 6 juta ekor babi (21,5%).

Produksi daging babi sangat penting bagi masyarakat Vietnam. Kegiatan sosial ekonomi masyarakat ini terkait juga dengan kebijakan, program ketahanan pangan, pakan ternak, dokter hewan, lapangan pekerjaan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, transportasi, dan kegiatan terkait lainnya. Akibat penurunan volume produksi ternak babi ini mendorong pertumbuhan pesat produksi unggas (16,5%), ruminansia (>5%), dan hewan ternak lainnya (>3%), sedangkan angka impor daging babi yang meningkat pesat pada tahun 2019 (63,0%).

Banyak solusi telah diterapkan pemerintah Vietnam, seperti restrukturisasi sektor peternakan, model produksi daging babi, rantai pasokan lokal yang terpusat dan terkontrol, dan peningkatan pencegahan penyakit dengan meningkatkan biosekuriti di berbagai tingkatan untuk mengurangi resiko ASF dan upaya mereproduksi kapasitas pasokan daging babi. Dalam jangka panjang, kondisi yang diperlukan untuk repopulasi/restocking ternak babi dengan berfokus pada biosekuriti yang ketat akan menjadi tantangan tersendiri bagi peternakan skala kecil menengah. Untuk menjaga area bebas dari penyakit diperlukan upaya bersama dan juga investasi yang tidak sedikit, selain juga faktor ketersediaan bibit yang baik.

Repopulasi merupakan strategi implementasi awal untuk mempersiapkan skenario kekurangan daging babi. Yang harus dilakukan sebelumnya adalah penelitian/evaluasi untuk mengklarifikasi masalah utama termasuk model peternakan yang sesuai di daerah yang terkontaminasi virus ASF, prosedur pengujian bebas penyakit untuk populasi kembali, analisa resiko pada rantai pasokan, dan evaluasi resiko air/pakan yang terkontaminasi.

Keberadaan babi liar/babi hutan mungkin juga harus dikaji lebih dalam apakah mempunyai peranan besar dalam penularan ASF ke babi domestik seperti di negara Eropa. Program pelatihan dan pendidikan teknis idealnya juga diberikan kepada otoritas lokal, dokter hewan, kelompok peternak dan semua yang terlibat untuk meningkatkan pengetahuan tentang managemen secara umum dan program pengendalian penyakit, terutama ASF. Pada akhirnya, penelitian tentang pengembangan vaksin dan obat antivirus merupakan strategi dan harapan yang lebih proaktif untuk pengendalian penyakit saat ini bagi para peternak babi di negara yang terinfeksi.

 

Thailand, salah satu negara yang sebenarnya mampu bertahan relatif lebih lama dibandingkan negara di Asia lainnya. Namun demikian, besarnya upaya pemerintah dalam menangkal masuknya ASF ini akhirnya kandas juga. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah karena kondisi outbreak negara tetangga yang tidak kunjung membaik sehingga biosekuriti yang dibangun akhirnya mengalami kegagalan juga.

Wujud support pemerintah Thailand dalam upaya mencegahan wabah ASF pada waktu itu adalah menyetujui anggaran 150 juta baht (USD 4,7 miliar) untuk persiapan keadaan darurat di tingkat nasional dengan melibatkan kerjasama antara Dinas Peternakan dengan instansi terkait, peternak babi, dan pihak swasta. Rencana terdiri dari tiga fase, yaitu pra wabah, wabah, dan pasca wabah.

Anggaran ini terutama untuk pengendalian faktor resiko yang terkait dengan pengenalan ASF, yaitu perpindahan ternak babi dan produk babi ilegal di sepanjang daerah perbatasan, pengawasan wisatawan/pengunjung dari negara-negara yang terkena ASF, perlakuan terhadap kendaraan, peralatan, ternak babi, makanan, dan pakan dari area berisiko. Selain itu, pengembangan diagnosis penyakit, pembentukan jaringan laboratorium, dan peningkatan kesadaran masyarakat juga disertakan terutama terhadap peternak skala kecil. Standar biosekuriti di peternakan juga dilakukan dengan mendorong investasi tindakan karantina, manajemen pemeliharaan, pelatihan, program sanitasi dan disinfeksi.

Dari kondisi ini kita juga bisa belajar bahwa pengendalian dan pencegahan kasus ASF akan relatif sulit jika dilakukan hanya oleh segelintir peternak saja dalam suatu wilayah yang padat peternakan babi.

 

Indonesia, Pemerintah mengumumkan outbreak ASF pertama di Medan, Sumatra Utara akhir tahun 2019. Kasus ini dalam pengamatan dan informasi di lapangan pada akhirnya menyebar ke daerah-daerah kantong peternakan babi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur yang merupakan daerah populasi terbesar ternak babi di Indonesia juga ikut terdampak.

Sampai saat ini, hampir semua wilayah Indonesia yang mempunyai populasi ternak babi sudah merasakan dasyatnya kehancuran karena ASF. Penyakit ASF ini menjadi ancaman nyata bagi populasi ternak babi kita yang sudah mencapai 8,5 juta sebelum wabah ini datang. Estimasi penurunan populasi ternak babi karena ASF ini diperkirakan minimal 30%, atau bahkan lebih lagi.

Karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang baik dan aman untuk pencegahan ASF, maka perlakuan perbaikan manajemen dan biosekuti harus diperketat. Jika sampai ada kasus, maka diharuskan melakukan langkah isolasi hewan sakit dan peralatan serta idealnya  dilakukan pengosongan kandang selama minimal 2 bulan. Untuk perlakuan babi yang mati karena penyakit ASF sebaiknya dimasukkan ke dalam kantong dan harus segera dikubur oleh petugas untuk mencegah penularan yang lebih luas, tidak menjual babi/ karkas yang terkena penyakit ASF serta tidak mengkonsumsinya di area kandang babi.

Berdasarkan kajian analisa risiko, faktor yang menyebabkan masuknya ASF ke Indonesia diantaranya adalah melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya, penggunaan sisa-sisa katering transportasi internasional baik dari laut maupun udara untuk pakan ternak tanpa perlakuan, orang yang terkontaminasi virus ASF dan riwayat kontak dengan babi di lingkungannya.

Langkah strategis utama dalam mencegah terjadi ASF sekali lagi adalah melalui penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik serta pengawasan yang ketat dan intensif  untuk daerah yang berisiko tinggi. Upaya deteksi dini juga dilakukan dengan mengoptimalkan petugas lapangan dan penyediaan reagen untuk mendiagnosa ASF.

Pemerintah melalui laboratorium Kementerian Pertanian yakni Balai Veteriner dan Balai Besar Veteriner di seluruh Indonesia juga telah mempersiapkan support terkait uji ASF dengan standar internasional. Selain itu, pemerintah juga mengkaji untuk kebijakan ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. Pemerintah menghimbau agar semua provinsi dengan populasi babi yang tinggi selalu meningkatkan kewaspadaan dan siap siaga terhadap resiko kejadian penyakit ASF dan terus aktif melakukan sosialiasi kepada peternak serta advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.

 

Tantangan pasca ASF

Setelah wabah ASF, ketahanan pangan global dihadapkan pada kondisi suplai dan permintaan babi/produk babi yang tidak seimbang. Kekurangan ketersediaan daging babi saat ini berdampak pada harga daging babi dan mengubah perilaku konsumsi daging ke sumber protein alternatif lainnya. Uni Eropa telah menjadi benua teratas pengekspor produk daging babi setelah wabah ASF di Asia, selain Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil. Secara bisnis ini sebenarnya adalah peluang, tinggal bagaimana kita mempersiapkan strategi untuk meminimalkan resiko ASF.

Untuk memulai usaha ternak babi kembali pasca ASF, perbaikan manajemen, proses sanitasi dan desinfeksi, program biosekuriti. Dampak kenaikan harga bahan pakan terhadap biaya produksi ternak juga akan berpengaruh pada kekuatan investasi masing-masing pelaku usaha, mengingat 60-70% biaya produksi babi terserap pada biaya pakan. Kondisi ini menyebabkan beberapa peternak skala kecil menengah berpikir ulang untuk melakukan repopulasi kembali, atau bahkan sudah melirik usaha yang lain.

Transformasi industri babi dari peternakan skala kecil ke peternakan skala menengah dan besar bersama dengan perbaikan sistem produksi yang didukung dengan manajemen serta biosekuriti yang lebih baik akan bertahan di masa depan. Jika semua aspek diatas bisa ditangani, kendala pasca ASF selanjutnya adalah terbatasnya ketersediaan calon induk yang baik untuk memulai restocking. Dengan keterbatasan bibit yang bebas ASF, maka memilih suplier yang terpercaya dan membeli babi yang abebas dari penyakit menjadi sangat krusial. Lakukan monitoring kesehatan ternak secara berkala untuk memastikan status kesehatannya terjamin. Pastikan juga untuk tetap memperhatikan tantangan penyakit selain ASF yang berpotensi mengganggu. Penerapan program vaksinasi dan medikasi bisa dioptimalkan untuk mengendalikan penyakit-penyakit tersebut sehingga resiko kerugian bisa diminimalkan.

 

Kesimpulan

Penyakit ASF memang menjadi predator yang mematikan bagi para peternak babi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita sudah banyak mendengar, membaca dan menyaksikan sendiri, bahwa penyebaran ASF yang cepat ini mengakibatkan hilangnya populasi babi yang sangat besar dan berdampak signifikan terhadap pasokan protein global. Ada sedikit pergeseran perilaku konsumsi daging babi ke sumber protein alternatif lainnya mengingat harga yang mungkin tidak terjangkau karena suplai terbatas.

Kita harus belajar dari pengalaman dan sejarah untuk mengawali semuanya kembali dengan sikap optimis. Dalam skenario apapun, segmen yang paling terkena dampak dan paling rentan dari populasi babi adalah peternak skala kecil. Pendampingan dan transformasi industri babi menjadi peternakan skala menengah dan besar bersama dengan sistem manajemen produksi dan biosekuriti yang baik akan membantu para peternak untuk kembali bangkit dari keterpurukan ini dan berkembang di masa depan. Walaupun strategi pengendalian penyakit dari berbagai sistem produksi babi di Asia memang menjadi tantangan tersendiri, tetapi dengan komitmen dan kerja sama semua pihak terkait tidak mustahil perbaikan dan pemulihan pasca ASF ini akan berhasil.

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2020/12/19/bagaimana-kondisi-peternakan-babi-pasca-outbreak-african-swine-fever-asf/ )

 

Penyakit Mulut dan Kuku pada Babi

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit virus yang sangat menular. Ini adalah penyakit hewan lintas batas atau transboundary animal disease (TAD) yang sangat mempengaruhi produksi ternak dan mengganggu perdagangan hewan dan produk hewan regional dan internasional. Penyakit ini diperkirakan beredar di 77% dari populasi ternak global, di Afrika, Timur Tengah dan Asia, serta di daerah terbatas di Amerika Selatan.

Sepert halnya pada sapi, gejala PMK yang mirip juga teramati pada babi, yaitu ditandai dengan vesikel pada kaki, moncong, dan mulut. Berbagai macam hewan liar dan domestik, terutama mamalia berkaki terbelah, rentan terhadap PMK. Kuda adalah hewan yang resisten terhadap PMK sehingga ini bisa menjadi acuan dalam diagnosa penyakit. Di negara-negara di mana PMK terjadi secara endemik dan populasi babi relatif banyak, maka babi juga beresiko terinfeksi. Semua kelompok umur rentan.

Jika kita melihat sejarah, PMK ini sudah teramati tahun 1546. PMK menyebabkan kerugian besar pada ternak di seluruh dunia, bukan karena jumlah kematian yang terjadi tetapi lebih kepada hilangnya produktivitas ternak. Negara yang terjangkit PMK, akan mengalami embargo ekspor karena produk yang dihasilkan umumnya akan ditolak. Upaya pembebasan terhadap status PMK juga tidak murah, depopulasi seluruh ternak yang bertujuan untuk menghambat penularan secara tidak langsung juga menghancurkan industri babi di negara-negara ini.

Terkait ternak babi, kejadian penyakit vesikular tidak bisa disimpulkan langsung sebagai PMK. Lesi vesikular ini harus dikonfirmasi dengan uji laboratorium karena kemiripan yang ada. Babi perlu mendapatkan perhatian khusus karena mereka lebih rentan terhadap penyakit vesikular daripada spesies ternak lainnya. Selain itu, babi juga bisa berperan dalam penyebaran PMK dengan memproduksi aerosol virus dalam jumlah yang besar.

Apa penyebab dari PMK? Aphthovirus dari keluarga Picornaviridae adalah agen penyakit yang menyebabkan PMK. Setidaknya ada 7 jenis virus yang berbeda secara imunologis, yaitu A, O, C, South African Territory (SAT) 1, 2, 3 dan Asian 1. Lebih dari 60 subtipe virus PMK telah diidentifikasi dan subtipe baru terus berkembang dengan perbedaan antigenik. Hal ini membuat kita untuk terus mengupdate ketersediaan vaksin yang sesuai untuk pengendaliannya. Variasi antigenik virus dan perlindungan silang yang terbatas di antara galur-galur ini mengharuskan kita untuk mempunyai varian vaksin yang beragam, dimana pemilihannya tergantung tantangan yang muncul dilapangan. Vaksin tunggal hampir mustahil mampu melindungi maksimal terhadap semua galur. Oleh karena itu, peran biosekuriti harus dioptimalkan. Disinfektan yang bisa dipilih untuk melawan virus PMK dengan efektif antara lain termasuk natrium hidroksida, asam asetat, atau natrium karbonat.

Penularan virus PMK ini bisa terjadi melalui aerosol pernapasan dan kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan yang terinfeksi. Pada kondisi tertentu, penularan secara aerosol bisa terjadi sejauh 30 mil atau sekitar 48 km. Babi yang terinfeksi adalah penyebar virus yang luar biasa, bahkan mereka mampu menghasilkan virus aerosol dengan konsentrasi yang berkali-kali lebih besar daripada sapi atau domba. Babi juga disebut sebagai “amplifier host/hospes penguat” untuk kejadian PMK.

Babi yang terinfeksi mampu menyebarkan virus dalam ekskresi dan sekresinya. Virus PMK juga bertahan untuk jangka waktu yang lama dalam produk daging beku sehingga cukup beresiko terutama jika dikaitkan dengan swill feeding. Konsumsi pakan dari produk asal babi/sisa makanan mentah yang mengandung daging yang terkontaminasi dapat menularkan virus ke ternak dalam waktu yang relatif singkat. Manusia juga bisa menjadi vektor penyebaran sehingga sangat penting untuk menerapkan biosekuriti yang baik.

Catatan penting yang harus kita sadari adalah secara umum ternak ada kemungkinan pulih dari PMK. Ternak yang sembuh ini akan menjadi carrier/pembawa penyakit selama berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun. Hati-hati, karena hewan carrier ini berpotensi menyebarkan virus dan menjadi penyebab munculnya wabah PMK baru. Namun demikian, ternak babi diyakini bukan merupakan agen pembawa virus PMK dalam jangka panjang.

Proses penularan PMK diawali dengan adanya virus yang menempel pada mukosa saluran pernapasan. Makrofag kemudian membawa virus ke epitel, mukosa dan miokardium untuk bereplikasi atau memperbanyak diri sehingga terjadi viremia. Dalam beberapa hari kemudian, vesikel akan berkembang pada moncong, mulut, lidah, dan terutama kaki. Infeksi sekunder bisa terjadi pada kaki beberapa babi dan menyebabkan kepincangan kronis.

Pada sapi, virus PMK juga mempengaruhi epitel kelenjar susu sehingga air susu yang dihasilkan bisa menjadi sumber penularan dalam waktu yang lama. Meskipun belum terbukti, kejadian serupa mungkin saja terjadi pada babi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hal ini.

Gambar diatas memperlihatkan kondisi jantung babi dengan miokarditis yang disebabkan oleh virus PMK. Otot jantung nampak pucat multifokal baik pada vetrikel kanan maupun kiri. Virus PMK ini sering menyebabkan terjadinya nekrosis atau kematian jaringan pada miokardium yang cukup parah pada anak babi yang baru lahir atau babi umur muda. Hal ini akan mengakibatkan kematian mendadak akibat gagal jantung. Miokardium yang berbintik-bintik membentuk garis ini disebut dengan lesi tiger heart yang cukup berguna dalam proses diagnosa PMK.

Lalu bagaimana tanda-tanda klinis PMK? Bahaya dari virus PMK ini adalah ternak yang tampak sehat bisa saja sudah terpapar tanpa ada gejala yang signifikan. Masa inkubasi 1-5 hari ini terkadang terlambat memberikan signal kepada kita. Ketimpangan sering kali merupakan tanda pertama yang harus diperhatikan yang diikuti dengan kenaikan suhu tubuh akut. Tanda yang umum untuk kasus PMK adalah slobbering dan chomping atau berliur dan gerakan mengunyah. Depresi, kuku lepas dan peningkatan kematian pada anak babi yang masih menyusu juga harus diwaspadai.

Babi bunting dapat terjadi keguguran atau melahirkan anak babi yang lahir mati dan terinfeksi. Kematian mendadak dapat terjadi pada babi yang baru lahir, terkadang sebelum tanda atau lesi terlihat pada babi tersebut. Tahap awal lesi akan tampak pucat dan kecil pada kulit moncong, jaringan lunak kaki, dan mungkin puting susu induk babi yang menyusui. Pada saat gejala klinis mulai nampak, biasanya vesikel atau bula kulit akan teramati. Tanda-tanda berkembang dengan cepat dan morbiditas meningkat dengan cepat. Mortalitas biasanya kurang dari 5% tetapi dapat terjadi kematian yang lebih tinggi pada babi muda.

Pada gambar diatas menunjukkan perkembangan lesi pada kaki babi yang terinfeksi PMK strain Cruzeiro A24 pada 2 hari setelah infeksi (dpi) dan 24 hari setelah infeksi (dpi) dengan inokulasi intraorofaringeal. Gambar A adalah kondisi lesi vesikuler pada 2 dpi dimana epitel menjadi pucat dan meluas ke bola tumit dan kulit interdigitalis dengan demarkasi yang jelas dari kulit normal. Gambar B adalah kondisi saat 24 dpi dimana jaringan parut diskeratosis proliferatif telah menggantikan lapisan epitel yang mengelupas.

Vesikel dan bula berkembang di moncong, di belakang tepi moncong, di nares, di lidah dan bibir, dan pada jaringan lunak kaki. Lesi pada kaki ini lebih sering terjadi, mengakibatkan pengelupasan kuku dan pincang. Lesi jarang terjadi pada vulva, puting susu induk babi, atau skrotum babi jantan. Vesikel biasanya pecah dalam 24 jam dan epidermis superfisial mengelupas untuk menunjukkan hiperemia dan perdarahan pada jaringan di bawahnya. Lesi tanpa komplikasi umumnya sembuh dalam 2 minggu. Kejadian PMK yang parah terutama pada babi muda bisa terlihat area nekrosis miokard yang luas dan berbintik-bintik.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, babi cukup rentan dengan penyakit vesikuler lain yang sulit dibedakan dengan PMK. Oleh karena itu, diagnosa pada babi tidak dapat hanya dengan melihat tanda-tanda klinis dan lesi yang nampak karena gambarannya sangat mirip. Diagnosis banding penyakit virus vesikular pada babi idealnya harus dilakukan uji laboratorium.

Teknik diagnostik yang digunakan meliputi uji serologis untuk mengidentifikasi virus infection-associated antigen (VIA), complement fixation (CF) and enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Selain itu juga test viral antigen, virus isolation (VI) and neutralization (VN), electron microscope (EM) dan studi inokulasi hewan. Uji Polymerase chain reaction (PCR) juga telah dikembangkan dan sering digunakan.

Tidak ada obat untuk PMK.  Deteksi dini dan pemberian support terapi yang didukung biosekuriti yang ketat menjadi hal yang harus dilakukan. Upaya pencegahan PMK tergantung pada kebijakan masing-masing negara. Umumnya peraturan dibuat terkait biosekuriti, yaitu mengatur impor hewan, produk hewani, semen, embrio, dan peraturan yang terkait dengan keamanan vaksin dan produk biologis lainnya. Di negara-negara yang positif PMK, program vaksin secara kontinyu digunakan untuk upaya pencegahan. Selain itu, pengendalian juga bisa dilakukan dengan pengawasan lalu lintas ternak dan proses penyembelihan hewan terinfeksi diikuti dengan penguburan atau pembakaran hewan dan desinfeksi tempat produksi.

Apa strategi yang dilakukan untuk negara yang masih bebas PMK? Tindakan yang harus diupayakan negara-negara yang bebas PMK adalah dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan nasional yang ditegakkan secara ketat. Kontrol atas impor hewan berkuku terbelah dan daging dari hewan harus jelas (country base vs zona base). Virus dapat bertahan di sumsum tulang dan kelenjar getah bening dari bangkai yang terinfeksi selama beberapa minggu. Jika penyakit masuk ke daerah bebas, idealnya kebijakan pemotongan paksa/depopulasi harus diterapkan, semua hewan yang sakit dan kontak disembelih. Lockdown pergerakan hewan diberlakukan dan penelusuran dilakukan untuk memeriksa kemungkinan penyebaran penyakit melalui kontak sebelumnya. Vaksinasi juga dapat digunakan di sekitar wilayah yang terkena agar resiko penyebaran bisa diminimalisir.

Jika peternakan kita berada di zona beresiko PMK, maka kita harus mengambil tindakan pencegahan yang ketat terhadap kontaminasi kawanan ternak. Tantangan terbesar adalah penularan via udara. Babi yang terinfeksi dapat menghasilkan sejumlah besar virus infektif sebagai aerosol. Dalam cuaca kering ketika ada panas yang kuat, virus aerosol dengan cepat dinonaktifkan sehingga angin tidak membawa aerosol infektif terlalu jauh. Jika vaksinasi diizinkan dan kawanan babi berada di daerah berisiko tinggi, sebaiknya kita mempertimbangkan untuk melaksanakan vaksinasi rutin.

Berikut adalah langkah-langkah biosekuriti dasar yang dapat membantu meminimalkan penyebaran penyakit : standarisasi pig flow management, batasi lalu lintas orang dan kendaraan yang berpotensi menjadi sumber penularan, batasi pengunjung ke peternakan atau sediakan sepatu bot serta pakaian khusus sebelum masuk lokasi kandang, sediakan bilik untuk mandi atau minimal cuci tangan, tempatkan foot dips di semua akses penting dengan menggunakan disinfektan. Selalu monitor semua prosedur pembersihan dan desinfeksi, pastikan kendaraan sudah dibersihkan dan didesinfeksi sebelum masuk lokasi peternakan. Lakukan tindakan pencegahan khusus saat pengiriman pakan ataupun saat memuat ternak dengan desinfeksi di semua area pemuatan sebelum dan sesudah digunakan, periksa drainase peternakan dan bersihkan secara menyeluruh.

Setelah kandang dikosongkan, protokol untuk repopulasi dimulai dengan membersihkan fasilitas kandang. Lakukan pembersihan kotoran dan pupuk kandang di semua area menggunakan sapu/sikat lalu semprot dengan air bertekanan rendah dan dilanjutkan dengan tekanan tinggi (750 psi – 2.000 psi) untuk menghilangkan semua kotoran dan bahan organik. Semprotkan pada langit-langit terlebih dahulu, lalu dinding dan terakhir lantai dengan ukuran nozel yang memungkinkan untuk mencuci area yang sulit dijangkau. Bilas semua permukaan untuk menghilangkan akumulasi bahan organik, deterjen bisa menjadi pilihan yang ekonomis. Setelah pembersihan selesai, lakukan proses desinfeksi menyeluruh. Ingat desinfekan akan bekerja optimal pada permukaan yang sudah bersih dari bahan-bahan organik dan juga paling baik dilakukan pada suhu di atas 18°C ​​(65°F), tetapi tidak di atas 43°C (110°F). Aplikasi desinfeksi secara kabut atau aerosol adalah alternatif yang bisa dilakukan untuk lebih menjangkau area yang sulit. Setelah proses desinfeksi selesai, biarkan mengering dan kosongkan area selama beberapa waktu sebelum diisi ternak kembali.

Semoga bermanfaat…

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber :  https://rumahternak.com/2022/06/25/penyakit-mulut-dan-kuku-pada-babi/)

 

Affrican Swine Fever dan Classical Swine Fever ( Hog Cholera), Bagaimana Cara Membedakannya ?

Tak dirasa, sudah lebih dari tiga tahun sejak penyakit African Swine Fever (Demam Babi Afrika) mewabah di negara kita Indonesia, bahkan tidak hanya di Indonesia tapi juga di banyak negara lain di dunia (di Afrika, Cina dan Eropa mulai mewabah kembali pada tahun 2018). Babi- babi terjangkit satu persatu dan mewabah di hampir semua wilayah Indonesia. Penularannya sangat cepat dan kasusnya tinggi, meskipun ada juga yang ditemukan kasus ringan dan tidak sampai menyebabkan kematian, namun sangat jarang terjadi.

Penularan bisa terjadi melalui kontak langsung maupun kontaminasi feses, cairan hidung, mulut, urine maupun sperma babi yang terinfeksi ASF, dapat juga melalui caplak Ornithodorus sp. dan vector mekanik lalat kandang (Stomoxys calcitrans)

Mortalitas sangat tinggi (60-100 %),  morbiditasnya juga dapat mencapai 100 %

Menyerang babi semua usia, dan dapat ditularkan oleh vector lalat, tikus dan caplak pada babi (meskipun untuk wilayah Indonesia sendiri, caplak Ornithodorus sp. ini jarang atau hampir tidak dapat ditemukan)

Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit inipun sangat besar, terutama pada peternakan peternakan babi yang SOP biosecurity nya masih belum ketat.

Penyebab penyakit ini adalah large cytoplasmic linear enveloped double stranded  virus DNA dari genus Asfivirus, ukuran 200nm, virus terdiri dari concentric layers : internal core – core shell – inner membrane – capsid dan external enveloped pada extracellular virion.

Virus ini mampu bertahan hidup dalam darah selama 18 bulan dan dalam daging dingin atau beku 15 minggu hingga bertahun tahun.

Virus dapat inaktif pada PH < 3,9 atau > 11,5 dalam medium bebas serum. Serum akan meningkatkan daya tahan virus, missal pada PH 13,4  resistensi bertahan 21 jam tanpa serum namun bisa bertahan 7 hari dengan serum

Virus juga  dapat bertahan di kandang selama 1- 3 bulan.

Masa inkubasi virus ASF berkisar dari 5-15 hari.  Umumnya penyakit ini ditandai dan diawali dengan adanya hilangnya nafsu makan dan babi nampak depresi, kemudian juga disertai demam pada babi 40 hingga 42∙ C, mata memerah dan hidung berair, terjadi konjungtivitis pada mata dan nampak iritasi babi mengalami lethargy dan sulit berdiri, muntah atau diare berdarah dan khas menciri adanya warna kebiruan pada hidung, telinga, ekor dan bagian dalam kaki. Babi bernafas berat dan dalam, perut kelihatan kempes cekung. Pada induk – induk yang bunting juga dijumpai adanya abortus.

Pada pemeriksaan patologi dijumpai adanya kebengkakan pada limpoglandula gastrohepatika dan limpa disertai warna kehitaman dan rapuh

Jika baru fase awal, umumnya penyakit ini sering dikelirukan dengan penyakit Classical Swine Fever (Hog Cholera). Untuk Classical Swine Fever / Hog Cholera (untuk selanjutnya akan kita sebut CSF), gejalanya memang mirip dengan ASF, dijumpai warna kebiruan pada telinga dan beberapa bagian tubuh babi, meskipun demikian virus ini beda dengan ASF.

CSF disebabkan oleh virus RNA genus Flavivirus, family Flaviviridae. Struktur virusnya tidak sekompleks virus ASF, hal ini juga yang mungkin menyebabkan untuk penyakit CSF relative lebih mudah dan lebih cepat dibuat vaksinnya dan cukup berhasil di lapangan, sementara untuk virus ASF, meskipun sudah ada yang berhasil membuat vaksinnya namun masih belum sukses 100 % dalam pencegahan penyakit ASF di lapangan.

Gejala umum pada babi babi yang terinfeksi CSF umumnya hampir sama dengan ASF, seperti adanya warna kebiruan (cyanosis) pada telinga atau bagian- bagian tubuh babi, babi nampak lesu dan tidak nafsu makan, terjadi lethargy dan diare kekuningan, pada induk juga disertai abortus dan yang paling menciri adalah adanya gejala syaraf yang muncul (adanya kejang atau paresis atau kadang dijumpai juga babi penderita CSF yang paddling / gerakan inkoordinasi kaki seperti mengayuh ).

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Jadi, bagaimana cara membedakan babi babi yang terinfeksi virus CSF dan babi babi yang terinfeksi virus ASF ?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penulis akan mencoba merangkum poin – poin penting differensiasi dari kedua penyakit tersebut dalam bentuk tabel dibawah ini supaya lebih mudah dipahami :

 

KETERANGANAFRICAN SWINE FEVERCLASSICAL SWINE FEVER
PenyebabDNA virus, PestivirusRNA virus, Flavivirus
Gangguan pencernaan diareDijumpai diare berdarahDiare berwarna kekuningan, jarang dijumpai diare berdarah
Gangguan syarafTidak dijumpai gejala syarafDijumpai adanya gejala syaraf

 

Demikian poin-poin differensiasi untuk membedakan ASF dan CSF, untuk penegakan diagnosa yang lebih valid lagi tentunya dapat dilakukan dengan isolasi virus dan dilakukan identifikasi melalui metode PCR atau metode lab yang lainnya.

Dengan demikian maka sebagai peternak maupun dokter hewan yang mengampu Kesehatan hewan pada peternakan babi yang diduga terserang virus ASF (maupun CSF) dapat segera mengambil langkah bijak untuk mengatasi dan mencegah penyebaran penyakit tersebut.

 

Penulis : drh Antonia Agnes – Praktisi kesehatan hewan, Konsultan peternakan babi dan Wakil Ketua ADHMI