Management Gilt

Faktor keberhasilan dalam beternak babi salah satunya adalah genetik. Jika kita ingin memiliki peternakan babi yang baik, maka seleksi gilt menjadi sangat penting. Faktor genetik juga harus disesuaikan dengan tujuan beternak anda, apakah anda fokus di breeder atau penggemukan. Perbaikan genetik biasanya harus mencakup beberapa hal, seperti laju pertumbuhan, status penyakit, perkembangan organ reproduksi / seksual, riwayat performance reproduksi (interval sapih ke estrus kembali, jumlah anakan, angka sapihan, produksi air susu), struktur tubuh dan program replacement.

Terkait dengan program seleksi gilt untuk replacement, kita harus melakukan seleksi yang ketat agar menghasilkan ternak dengan kualitas terbaik. Kita bisa memproduksi sendiri atau membeli dari sumber yang terpercaya. Pastikan struktur / konformasi tubuh ideal dan tidak terdeteksi adanya cacat genital. Gilt yang belum mengalami pubertas biasanya diberi ransum khusus secara ad libitum sampai mencapai berat 113–125 kg / berusia 5–6 bulan. Pada saat ini, kita bisa mulai menyeleksi dan calon induk dipindahkan ke kandang persiapan untuk proses isolasi dan aklimatisasi. Terkait dengan tujuan beternak babi, ada 2 sistem pemeliharaan yang umumnya dilakukan para peternak untuk menghasilkan performance terbaik.

Ada peternakan yang menerapkan penggunaan purebreed dan crossbreed (kawin silang). Heterosis (hybrid vigor) adalah fenomena di mana kinerja keturunan kawin silang melebihi rata-rata hewan induk. Efisiensi produksi menjadi tujuan dalam perkawinan silang ini karena kita menggabungkan sifat induk yang terbaik sehingga menghasilkan keturunan yang optimal. Performa reproduksinya memainkan peran utama dalam profitabilitas sehingga efek heterosis menjadi jalan terbaik untuk dimaksimalkan. Jika kita bertujuan untuk menciptakan babi potong dengan kualitas baik, heterosis ini adalah komponen yang sangat berharga dari setiap sistem produksi daging babi karena dapat meningkatkan kinerja reproduksi, seperti meningkatkan berat sapihan 21 hari sampai 27% dan juga berdampak positif pada pertumbuhan dan efisiensi pakan.

Skema Terminal.

Jika tujuan anda beternak adalah menciptakan babi potong yang dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan daging babi, maka program terminal bisa digunakan. Babi betina yang umum dipakai adalah Yorkshire dan Landrace, sedangkan pejantan menggunakan Duroc atau Hampshire. Babi betina, baik betina F1 atau betina persilangan tiga breed, dikembangbiakkan dengan breed pejantan pilihan. Semua keturunan yang dihasilkan dari skema ini akan menjadi babi potong yang dikirim ke pasar, sehingga peternak dengan sistem ini harus mempersiapkan calon induk / gilt pengganti dengan program terpisah atau membeli dari sumber yang terpercaya.

Keuntungan dari menggunakan sistem ini adalah kita dapat mempertahankan 100% heterosis pada induk babi dan babi potong yang kita hasilkan, memberikan kesempatan untuk sepenuhnya memanfaatkan kekuatan setiap ras murni, menghasilkan keseragaman hewan yang berkembang biak dan babi potong yang baik karena setiap hewan memiliki susunan genetik yang sama, serta sistem relatif mudah dikelola karena kita tidak dipusingkan dengan alokasi tempat untuk memproduksi calon induk / gilt pengganti dan hanya fokus untuk memproduksi babi potong.

Skema Rota Terminal.

Jika kita mempunyai dana dan lokasi untuk menjadi peternak yang fokus juga dalam memproduksi bibit unggul dengan membuat calon induk / gilt pengganti sendiri, maka skema Rota Terminal diatas menjadi pilihan. Dalam sistem rotaterminal, dua atau lebih breed digunakan dalam persilangan untuk menghasilkan babi betina unggul. Sekali lagi, Yorkshire dan Landrace umumnya yang dipakai para peternak pembibitan karena kombinasi ini akan menghasilkan indukan dengan sifat gabungan yang baik, yaitu sifat keibuan dan jumlah anak yang banyak. Jika jalur betina menggunakan 3 breed maka sifat heterosis induk betina adalah 86%, tetapi jika hanya menggunakan 2 breed maka heterosisnya 67%. Babi pejantan yang dihasilkan dari galur betina yang kuat ini akan digunakan untuk produksi calon induk / gilt pengganti, sedangkan babi betinanya akan dikawinkan dengan pejantan babi ras terminal untuk menghasilkan babi potong seperti skema pertama diatas. Kira-kira 15% dari peternakan harus berkomitmen untuk produksi betina dengan sisanya (85%) digunakan untuk memproduksi babi potong.

Keuntungan menggunakan Rota terminal ini adalah kita juga tetap bisa mempertahankan 100% heterosis untuk menghasilkan babi potong yang baik sekaligus memberikan kesempatan untuk menghasilkan betina pengganti sendiri atau dijual ke peternak lain, gilt pengganti diproduksi dari jalur babi betina terbaik, memastikan kinerja induk yang terbaik, serta menghasilkan babi potong yang seragam karena dikawinkan dengan babi pejantan unggulan. Duroc dan Hampshire dipilih salah satunya karena memiliki tubuh yang besar dengan tekstur otot yang baik sehingga daging yang dihasilkan lebih baik. Beberapa breeder lokal di Indonesia telah mampu memproduksi pejantan unggul juga setelah mereka melakukan proses perbaikan genetik yang relatif lama, mulai dengan import semen beku dari luar negeri, proses perkawinan dan seleksi ketat juga untuk memastikan kualitas yang dihasilkan adalah yang terbaik.

Kontrol Penyakit.

Selain masalah genetik dan manajemen pemeliharaan, program pengendalian kesehatan (disease control) juga harus diperhatikan agar usaha kita tidak mengalami kerugian karena adanya serangan penyakit. Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Parvovirus (PPV), Porcine Circovirus type 2, Porcine Epidemic Diarrhea (PEDv), Pseudorabies (Aujeszky disease), Japanese Encephalitis (JE), Swine Influenza (SIV), Brucellosis, Chlamydiosis, Leptospirosis dan penyakit menular lainnya dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kinerja reproduksi pada kandang kita.

Tantangan penyakit bisa muncul tergantung pada umur ternak saat infeksi dengan manifestasi di berbagai variasi umur kebuntingan. Idealnya, populasi babi di kadang breeding baik itu gilt, induk dan pejantan harus di program vaksin sesuai dengan tantangan yang terdeteksi di lapangan agar produksi tidak terganggu. Proses isolasi dan aklimatisasi untuk gilt sebaiknya dilakukan dalam 60 – 90 hari. Tujuannya adalah mendapatkan calon induk pilihan yang berkualitas baik, menghindari masuknya patogen baru akibat membeli calon induk dari luar dan mempersiapkan status imun calon induk untuk bisa beradaptasi dengan tantangan patogen yang sudah ada di farm kita. Hal yang harus dilakukan antara lain adalah pengamatan visual dan uji laboratorium untuk memastikan status kesehatan calon induk (Elisa dan PCR test).

Proses aklimatisasi umumnya dilakukan dengan program vaksinasi. Selain itu, “pengenalan” patogen yang sudah bersirkulasi di kandang bisa dilakukan dengan paparan langsung calon induk dengan babi betina afkir dan feses / kotoran (feedback). Paparan alami terhadap patogen yang sudah endemik ini juga bisa memberikan perlindungan penting terhadap penyakit seperti PRRS, parvovirus, dan influenza, tetapi pastikan anda memiliki tenaga lapangan yang ahli dalam hal ini sehingga proses ini bisa berjalan dengan baik. Jika anda ragu dengan proses paparan alami, program vaksinasi mungkin menjadi opsi yang relatif aman.

Jika kita berfokus pada babi potong, maka kita bisa langsung membeli calon induk dari sumber pembibitan yang terpercaya.dan masuk ke tahapan isolasi dan aklimatisasi sebelum masuk ke kandang indukan untuk dikawinkan. Tetapi, jika anda sudah mampu untuk memproduksi calon induk sendiri, maka proses ini harus mulai dilakukan dari saat kelahiran. Selain itu, jika kapasitas gilt yang dihasilkan ternyata berlebih maka kita juga mempunyai peluang untuk menjual ke peternak kecil yang belum mampu memproduksi sendiri calon induk di lokasi peternakannnya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam gilt development yang dimulai dari fase kelahiran antara lain adalah :

• Berat lahir < 1,3 kg dapat menurunkan potensi reproduksi sebagai akibat dari negatif efek pada perkembangan saluran reproduksi. • Asupan kolostrum yang tidak mencukupi dapat merusak ovarium dan uterus calon indukan yang mengakibatkan penundaan usia pubertas, berkurangnya masa kinerja reproduksi, dan bahkan kinerja laktasi yang buruk. • Gilt yang dihasilkan dari genetik pejantan yang kuat lebih cenderung memiliki keberhasilan kawin yang lebih rendah, jumlah anak sedikit dan jumlah puting susu yang lebih sedikit dibandingkan dengan gilt yang dihasilkan dari genetik betina yang kuat (lihat skema rotaterminal) • Jika rata-rata pertambahan berat badan sebelum sapih adalah > 125 gram / hari maka cinderung akan meningkatkan angka perkawinan dan farrowing pada calon induk yang dihasilkan • Hanya gilt dengan usia penyapihan > 25 hari yang dianggap berpotensi digunakan sebagai calon induk pengganti Masa pubertas dianggap sebagai indikator kemampuan reproduksi ternak yang baik. Jika proses berjalan cepat maka akan menurunkan biaya produksi.

Masa pubertas ini tergantung pada berbagai faktor, termasuk genotipe, berat badan, status gizi, musim, dan manajemen. Paparan terhadap pejantan dewasa (boar effect) adalah yang paling berpengaruh dari semua faktor manajemen. Efek pejantan dewasa ini paling kuat ketika calon induk / babi betina terpapar melalui penglihatan, suara, sentuhan, dan bau. Paparan pejantan dewasa secara langsung terhadap calon induk yang berumur 5 – 6 bulan selama 10 – 20 menit / hari mampu memberikan stimulus yang memadai. Pada fase ini, pencatatan sangat penting.

Jika calon induk tidak mengalami estrus pertama pada saat berat badan mencapai 136 kg dan berumur 210 hari (30 minggu) maka harus dikeluarkan. Kontak langsung dengan pejantan ini mungkin dibeberapa individu hanya menimbulkan gejala estrus awal yang lemah, sehingga program deteksi estrus ini harus didukung dengan tenaga lapangan / personel yang berpengalaman. Calon induk yang sudah dikawinkan 2-3x tetapi belum juga bunting, sebaiknya juga diganti / culling untuk meminimakan kerugian.Seleksi final calon induk umumnya tidak dilakukan sebelum 20 minggu.

Hal – hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam program “gilt development” selanjutnya antara lain adalah : • Gilt harus memiliki berat badan ideal yang memungkinkan untuk mencapai berat kawin 135-150 kg pada umur 30-34 minggu. • Gilt harus memiliki kedalaman lemak (backfat) P2 minimal 12 mm. • Seleksi ketat terhadap struktur tubuh / konformasi dan bentuk kaki – induk yang menderita pincang biasanya memiliki jumlah kelahiran babi yang lebih rendah (kemungkinan karena peradangan kronis). • Mulai umur 25-28 minggu, gilt harus dipaparkan dengan pejantan dewasa (umur > 10 bulan) setidaknya 1x sehari selama 20 menit – eksposur idealnya dilakukan dalam kelompok kecil, yaitu <12 gilt / pejantan dengan kontak (penggunaan pejantan vasektomi juga umum dilakukan) – stimulasi pubertas idealnya menghasilkan 85-90% gilt yang estrus pada usia 30 minggu – setelah diseleksi, 10 -15 % populasi yang lain sebaiknya di culling karena kemungkinan populasi tersebut tidak subur – gilt yang sudah terseleksi harus diberi formulasi pakan dengan diet khusus dengan pemberian secara ad libitum sampai masa akan dikawinkan.

Jika anda masih baru akan memulai usaha peternakan babi dan masih bingung dalam menganalisa kebutuhan gilt, Gilt Replacement Simulator ini bisa menjadi acuan untuk memulai usaha peternakan babi atau pengembangan lokasi ternak selanjutnya.

Kesimpulan.

Menetapkan tujuan dalam beternak babi adalah langkah awal dalam memulai usaha. Kebanyakan peternak berfokus pada memproduksi babi potong yang siap dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan bading babi. Pemilihan calon induk dalam usaha peternakan babi sangat krusial. Jika salah dalam berinvestasi maka performance yang diharapkan mungkin tidak tercapai. Jika kita masih belum mampu untuk memproduksi sendiri calon induk yang baik, maka sebaiknya kita membeli dari breeder / peternak yang mempunyai reputasi baik dan sumber yang terpercaya.

Proses isolasi dan aklimatisasi calon induk juga merupakan hal penting lainnya, mengingat status kesehatan calon induk harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan yang ada di kandang breeding. Program biosekuriti, medikasi dan vaksinasi yang tepat akan menunjang kesiapan calon induk untuk berproduksi secara optimal. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan atau tenaga profesinal lainnya untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam menjalankan usaha peternakan babi anda.

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI (sumber :  https://rumahternak.com/2021/05/15/manajemen-calon-induk-gilt/)

Ras Babi Dunia

Menurut catatan sejarah berdasarkan temuan fosil, babi liar telah menjelajahi bumi 40 juta tahun yang lalu, dan babi didomestikasi 7000 tahun yang lalu di Asia Timur. Babi termasuk dalam famili Suidae. Seiring dengan perkembangan jaman, babi menjadi salah satu komoditi penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan dunia. Penelitian terkait genetika babi, pakan, dan kandang yang terus dilakukan mampu menghasilkan hewan yang lebih efisien produksi, lebih sehat dan lebih ramping. Breed babi ras utama yang ada saat ini, adalah Yorkshire, Duroc, Hampshire, Landrace, Berkshire, Spotted, Chester White, dan Poland Cina.

Istilah dan definisi yang digunakan dalam produksi babi meliputi:
• Boar              : babi jantan
• Sow               : babi betina yang telah beranak setidaknya sekali
• Farrowing    : fase melahirkan
• Piglet             : babi yang baru lahir
• Weaning       : transisi dari fase menyusui ikut induk ke pakan biji-bijian
• Feeder pig    : babi yang disapih setidaknya berusia 8 minggu atau beratnya mencapai 100 pound
• Gilt                : babi betina yang belum pernah dikawinkan
• Pig                 : babi muda dengan berat < 120 pon
• Hog               : istilah yang mencakup semua kategori babi atau babi usia panen 240–270 pound

Fase pemeliharaan babi meliputi suckling piglet, nursery dan finisher. Untuk mengoptimalkan usaha peternakan babi, para peternak idealnya memperhatikan faktor genetika dengan memilih galur ras murni sesuai dengan tujuan dari usaha peternakan yang dijalankan. Masa kebuntingan induk babi sekitar 16 minggu (3 bulan, 3 minggu 3 hari) dengan angka kelahiran sekitar 8–10 ekor, walaupun potensi genetik babi saat ini bisa lebih dari itu. Penting agar anak babi menyusu untuk mendapatkan kekebalan induk sekaligus nutrisi untuk 2-3 minggu pertama kehidupan. Setelah itu anak babi akan dipisahkan dari induk babi dan disapih ke diet khusus dan seimbang untuk meningkatkan pertumbuhan sampai mencapai bobot panen sekitar 240-270 pound.

Yorkshire

Jenis Yorkshire berwarna putih dengan telinga tegak. Yorkshires dikenal karena ototnya, dengan proporsi daging tanpa lemak yang tinggi dan lemak punggung yang rendah. Kesehatan dan daya tahan adalah kekuatan lain dari ras ini.

Trah ini dikenal sebagai “Mother Breed” karena Yorkshire mampu melahirkan dan memelihara banyak anak babi. Yorkshires adalah babi besar dan panjang, yang memungkinkan untuk dipasarkan dengan bobot yang lebih berat tanpa kehilangan efisiensi. Ras ini secara konsisten lebih panjang daripada breed lain sehingga menjadi pilihan para peternak di dunia.

Landrace

Babi putih dengan telinga terkulai,  Betina Landrace mampu menghasilkan air susu yang banyak. Landrace memiliki tubuh panjang, persentase bobot karkas yang tinggi di ham dan pinggang. Landrace lebih unggul karena sifat keibuannya, performa reproduksi yang baik dengan jumlah lahir hidup realatif banyak dan bobot individu saat disapih yang bagus.

Landrace ras murni menduduki peringkat ke-3 untuk tingkat pertumbuhan, unggul dalam hal panjang karkas. Hasil persilangan dengan landrace ini telah menghasilkan perbaikan breed yang dramatis dalam performa dan sifat karkas. Perubahan ini ditambah seleksi yang efektif untuk telinga yang lebih kecil dan kaki yang kuat telah membuat Landrace menjadi komponen penting dari program persilangan yang dilakukan oleh para peternak babi di dunia.

Chester White

Chester Whites berasal dari Chester County, berwarna putih dengan telinga berukuran sedang dan sering berpenampilan murung. Dikenal karena kemampuan mengasuh anak, memiliki daya tahan tubuh, tingkat kesehatan dan kualitas otot yang baik..

Chester White betina telah lama dikenal memiliki tingkat pembuahan yang tinggi dan jumlah anak babi yang banyak sehingga secara ekonomi cukup bagus untuk pembibitan. Ras ini memiliki tingkat konsepsi 12% lebih tinggi dibandingkan breed lain. Trah Chester White hampir bebas dari gen stres. Selain itu, ras ini adalah 1 dari 3 breed yang secara konsisten menunjukkan kualitas daging yang superior. Ketika disilangkan dengan breed lain, tingkat heterosis yang tinggi merupakan respons yang khas.

Duroc

Jenis babi merah dengan telinga terkulai ini dihargai karena kualitas produk, hasil karkas,  pertumbuhan cepat, dan efisiensi pakan mereka. Betinanya memiliki produktivitas yang baik dan umur relatif panjang. Ras ini adalah kontributor utama untuk hampir setiap peternakan babi yang sukses. Trah ini telah lama dikenal karena kemampuannya untuk tumbuh lebih cepat dengan sedikit pakan. Produsen juga dapat memaksimalkan heterosis yang dihasilkan oleh persilangan galur genetik murni ini.

Hampshire

Babi dengan “sabuk” dan dikenal menghasilkan otot tanpa lemak, kualitas karkas tinggi, lemak punggung minimal, dan mata pinggang besar. Betinanya juga dikenal karena kemampuan mengasuh anak dan cinderung memiliki umur panjang dalam kawanan babi.

Hewan hitam ini memiliki ikat pinggang yang khas dan unik, yaitu strip putih yang melingkari tubuh seluruhnya termasuk kaki depan dan kaki. Hampshires cukup produktif, ramping, menguntungkan untuk dipelihara dan jumlah daging yang banyak. Hamshire termasuk hewan yang agresif.

Poland Cina

Dikenal dengan tubuh yang besar dan panjang, ramping dan berotot. Mereka tumbuh dengan baik di bawah perawatan dan manajemen yang baik, dan pembawaannya relatif tenang. Persentase karkas tanpa lemak dengan persentase tinggi. Praktis, status kesehatan baik, tahan lama dan kokoh, kemampuan untuk beradaptasi dengan hampir semua lingkungan.

Berkshire

Berkshires dikenal karena pertumbuhannya yang cepat dan efisien, efisiensi reproduksi cukup baik, bersih, serta rasa dan nilai daging tinggi. Breed Berkshire adalah satu-satunya sumber genetik dalam industri babi yang memiliki nilai premium berdasarkan kualitas daging babi superior yang diketahui. Daging babi Berkshire telah terbukti secara ilmiah memiliki warna, tekstur, pH tertinggi, dan kapasitas menahan air yang lebih baik.

Pilihan manajemen yang sederhana dengan genetika Berkshire murni yang dikontrol dengan benar akan membuka peluang keuntungan baru yang tidak dapat ditemukan di mana pun di seluruh industri daging babi.

Spotted

Dicirikan oleh bintik-bintik besar, hitam-putih. Dikenal karena efisiensi pakan dan kualitas karkasnya. Betinanya memiliki produktivitas, kepatuhan, dan daya tahan tubuh yang baik. Tidak ada keraguan tentang pentingnya bibit yang kuat dan tahan lama dalam kawanan dan breed Spotted menyediakan hal itu. Sifat keibuan relatif baik dan tangguh, efisiensi reproduksi ekstra, serta tahan banting.

Demikian gambaran ras babi yang umumnya dipakai di peternakan babi saat ini.

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI (sumber : https://rumahternak.com/2022/07/09/ras-babi-dunia/)

Managemen Pemeliharaan Anak Babi

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena breed induk babi yang super produktif terus dikembangkan dan sekarang menghasilkan anakan 14-16 ekor per induk bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun demikian, potensi genetik yang tinggi ini jika dalam proses pemeliharaannya tidak menerapkan praktek manajemen pemeliharaan dan biosekuriti dengan standart terbaik, maka angka kematian anak babi dari kelahiran sampai sebelum disapih akan relatif tinggi (11-24%). Kematian ini umumnya terjadi pada 5 hari pertama kehidupan. Oleh karena itu, intervensi dari kita selaku pelaku usaha peternakan menjadi penting dalam upaya untuk meningkatkan angka sapih dari anak babi yang dilahirkan. Kali ini, kita akan membahas bersama beberapa hal penting yang idealnya dilakukan dalam manajemen neonatal (periode setelah melahirkan sampai sapih).

Periode awal kelahiran.

Termoregulasi tubuh adalah proses yang menantang bagi anak babi yang baru lahir karena cairan janin yang menyelimuti tubuh sangat beresiko menurunkan suhu kulit mereka jika tidak cepat dikeringkan. Anak babi yang baru lahir, terutama dengan berat lahir dibawah 1,1 kg sangat rentan terhadap suhu lingkungan. Anak babi yang menderita hipoksia sangat beresiko karena umumnya mereka sulit mencapai ambing induk sehingga kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh diawal kehidupan juga lebih rendah. Managemen kolostrum pada 2 hari pertama kehidupan menjadi hal terpenting dalam proses awal kehidupan anak babi. Kolostrum yang cukup akan memastikan setiap anak babi mendapatkan imunoglobulin induk untuk menjadi kekebalan pasif selain juga bisa membantu meningkatkan suhu tubuh. Pada beberapa indukan, kolostrum hanya diproduksi pada 16-24 jam pertama setelah kelahiran sehingga beberapa peternak cinderung memastikan pada hari pertama semua anak mendapatkannya. Kolostrum yang dihasilkan induk rata-rata berkisar 3,3 – 3,7 kg.

Jika jumlah anak yang dilahirkan cukup banyak, umumnya berat lahir anak cinderung lebih kecil. Pada saat ini idealnya kita harus melakukan pengawasan dan memberikan bantuan dalam penjatahan kolostrum agar semua anak babi mendapatkan jumlah yang mencukupi (450g / kg berat lahir). Angka kematian sebelum disapih hanya mencapai 7,1% ketika anak babi mengkonsumsi > 200 g kolostrum, dan prosentasenya meningkat menjadi 43,4% bila kolostrum yang didapatkan < 200 g. Intervensi terhadap proses kelahiran ini sangat diperlukan untuk menghindari resiko kematian anak babi yang tinggi. Proses pengeringan, penempatan di bawah lampu pemanas, managemen kolostrum dan perawatan yang lain menjadi kunci keberhasilan peternak dalam mengamankan anak babi yang lahir agar bisa bertahan hidup, terlebih dengan sifat genetika induk babi yang bisa menghasilkan anak yang banyak.

Lingkungan kandang melahirkan juga idealnya dipersiapkan dengan baik. Penggunaan pemanas (33-34°C) saat periode awal kelahiran akan membantu onset menyusu lebih awal dan mengurangi angka kematian anak babi. Angka kematian bisa ditekan sampai 7,2% dibandingkan dengan 12,2% tanpa pemanas selama tiga hari pertama kehidupan. Namun, perlu diketahui juga bahwa saat periode ini adalah fase krusial karena disatu sisi anak memerlukan suhu hangat, sedangkan induk memerlukan suhu yang lebih sejuk. Umumnya peternak akan mempersiapkan babybox dari kayu untuk anak babi dengan pemanas dan untuk induk diatur sedemikian rupa agar sirkulasi udara segar terpenuhi untuk menjaga nafsu makan tetap bagus sehingga nutrisi untuk anak bisa terpenuhi dengan baik.

Naluri alami induk bunting yang mendekati masa kelahiran pada umumnya akan mengekspresikan perilaku membangun sarang untuk mempersiapkan proses melahirkan. Untuk peternakan tradisional, perilaku ini akan lebih kelihatan daripada peternakan yang lebih modern. Dengan adanya data rekording yang bagus, peternak akan memindahkan induk bunting ke kandang farrowing jika mendekati hari kelahiran. Peran utama babi segera setelah lahir adalah untuk menghasilkan cukup kolostrum dan air susu. Hal pertama yang harus dievaluasi adalah jumlah puting yang aktif untuk nantinya dipersiapkan bagi anak babi yang dilahirkan. Induk babi umumnya mempunyai 12 – 18 puting susu, namun tidak semuanya dapat aktif. Pengecekan pada induk dara yang akan melahirkan pertama kali menjadi sangat penting karena kita harus memastikan bahwa anak babi mendapatkan asupan kolostrum dan air susu yang cukup, terutama jika nanti jumlah anak yang dilahirkan cukup banyak. Pencatatan puting susu aktif ini juga berguna untuk evaluasi kelahiran selanjutnya. Anak babi yang menyusu pada puting yang sebelumnya digunakan dan berfungsi baik pada laktasi pertama cinderung mengalami kenaikan berat badan 340 g dari hari ke 2 – 14 laktasi. Kolostrum dan produksi air susu yang tidak mencukupi dapat mempengaruhi seluruh kelenjar susu dan dikenal sebagai postpartum dysgalactia syndrome (PDS).

Induk babi domestik relatif bisa mengurus anaknya sendiri jika tidak lebih dari 10-11 ekor, tetapi jika lebih banyak maka intervensi kita sebagai peternak harus dilakukan agar survival rate tinggi. Strategi yang paling umum, menangani kelebihan anak babi yang baru lahir, adalah untuk mengalokasikan mereka ke induk babi lain. Tidak jarang, peternak menitipkan anakan ke induk babi yang lain jika ternyata produksi susu induk tidak cukup karena jumlah anak yang terlalu banyak. Namun demikian, cross fostering harus dilakukan setelah anak babi mendapatkan jatah kolostrum dari induk aslinya. Persaingan untuk mendapatkan puting susu pada anak sekelahiran yang > 12 ekor memerlukan penanganan ekstra agar semua terlayani dengan baik. Selain itu, bobot lahir yang cinderung kecil (0,9 – 1 kg) mempunyai resiko kematian sampai 34,5% dibandingkan jika induk hanya mempunyai anak < 12 ekor dengan berat lahir standart (1,2 – 1,6 kg) yang resiko kematiannya hanya sekitar 16,1% – 19,6 %.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anak babi yang baru lahir dituntut untuk bisa menjaga suhu tubuhnya sekitar 34° C. Oleh karena itu, sekali lagi diperlukan upaya intervensi dari peternak untuk mengeringkannya dengan cepat segera setelah lahir dan mempersiapkan pemanas yang memadai untuk meminimalkan resiko anak babi kehilangan panas tubuh mereka. Yang kedua, segera bantu mereka untuk mencapai puting susu induk dan mendapatkan jatah kolostrum minimal 200-250 g dalam waktu 12-16 jam dari awal kelahirannya. Anak babi yang kecil dan hidup harus dibantu untuk menyusu untuk memastikan kolostrum tertelan. Prosedur ini harus diulang 3-4 kali dalam beberapa jam pertama jika anak babi tersebut tidak terlihat aktif menyusu. Kita juga bisa lakukan pemerahan air susu dan menempatkan pada dot / spet untuk diberikan pada anak babi yang relatif lemah. Untuk meminimalkan kompetisi untuk asupan kolostrum, jika jumlah anak relatif banyak dan induk kewalahan maka sebaiknya anak dibagi menjadi dua kelompok. Kita utamakan terlebih dahulu anak babi dengan berat lahir kecil terlebih dahulu untuk menyusu selama 60-90 menit, baru kemudian kelompoknya diganti yang berbobot lahir lebih besar.

Manajemen pengendalian penyakit.

Setelah fase krusial terlewati dengan baik, anak babi juga harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan penyakit yang juga beresiko mengakibatkan kematian. Konsumsi kolostrum pada awal kehidupan adalah mutlak dibutuhkan sebagai sumber kekebalan pasif (maternal antibodi) yang bersifat sementara, karena secara teori hanya mampu memproteksi anak babi sampai umur sekitar kurang lebih 8 minggu tergantung masing-masing individu. Oleh karena itu, kita sebagai peternak dituntut untuk mempersiapkan imunitas anak babi agar mereka bisa bertahan sampai panen. Sekali lagi, rekording disini menjadi penting karena bisa menjadi acuan buat kita untuk menganalisa penyakit apa saja yang pernah terjadi di kandang sehingga kita bisa menerapkan strategi yang pas.

Secara umum, kasus yang sering ditemui pada anak babi di fase awal kehidupan – sapih yang harus dicermati adalah kasus pencernaan, pernafasan dan terkadang saraf. Kasus bakterial, viral dan parasit bisa saja ditemui pada fase ini, oleh karena itu observasi dan sejarah masa lalu bisa menjadi acuan dalam menyusun program pemeliharaan. Terlebih saat ini, kasus African Swine Fever (ASF) juga masih menjadi tantangan besar untuk para peternak babi mengingat belum ada vaksin komersial yang baik tersedia di lapangan sehingga biosekuriti menjadi strategi yang paling utama untuk saat ini. Jika kejadian penyakit cukup sering diawal kehidupan, kita mungkin sebaiknya melakukan observasi juga dengan status indukan di kandang breeding kita.

Penyakit-penyakit reproduksi seperti Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2 (PCV2), Porcine Parvovirus (PPV), Classical Swine Fever (CSF) dan patogen lainnya bisa jadi sedang bersirkulasi di kandang breeding kita sehingga mengakibatkan status kesehatan induk sedang bermasalah dan merimbas ke kondisi anak babi yang dilahirkan kurang baik. Proses pemilihan calon induk sebaiknya dilakukan evalusi, apakah karantina dan aklimatisasi dilakukan dengan benar.

Pada anak babi, untuk kasus pencernaan yang paling mendominasi adalah bakteri Escheria coli dan Clostridium sp., Coccidiosis, serta virus Porcine Epidemic Diarrhea (PED), Porcine Circovirus Diarrhea, Rotaviral Enteritis dan Transmisible gastroenteritis (TGE). Gejala umum yang biasa ditemui adalah diare dengan berbagai macam bentuk dan warna, dehidrasi, nafsu makan turun, pertumbuhan terhambat dan tidak jarang berakhir kematian. Untuk PED, gejala yang paling kelihatan adalah kematian tinggi pada anak babi dibawah umur 2 minggu. Secara umum, kasus yang biasanya muncul pada minggu pertama disebabkan oleh E.coli dan Clostridium sp., sedangkan minggu ke-2 bisa E.coli dan Coccidiosis.

Untuk kasus pernafasan, Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC) sering ditemui di peternakan babi dengan gejala umum lemah, tidak nafsu makan, demam, leleran hidung/mata, batuk, sianosis/perubahan warna pada kulit dan gangguan pernafasan lainnya. Yang berperan dalam kasus PRDC ini antara lain virus seperti PRRS, PCV2, Porcine Respiratory Corona Virus (PRCV), Swine Influenza (SIV), dan Pseudorabies (PRV) atau yang sering dikenal dengan nama Aujezsky’s Disease (AD). Sedangkan untuk bakteri yang berperan adalah Mycoplasma hyopneumoniae, Haemophilus parasuis (Glaesserella parasuis), Streptococcus suis, Boedetella bronchiseptica, Actinobacillus suis dan Actinobacillus pleuropneumonia (APP). Mycoplasma hyopneumoniae ini sering disebut sebagai “gate opener” atau pintu masuk bagi penyakit-penyakit pernafasan yang lain karena merusak silia saluran pernafasan sehingga memudahkan patogen lain untuk menginvasi saluran pernafasan babi.

Untuk kasus gangguan saraf, yang umumnya ditemui dilapangan adalah edema disease, PRV, Streptococcal meningitis, dan keracunan. Gangguan yang nampak secara umum biasanya adalah tremor, inkoordinasi, kejang-kejang, berbaring dan gerakan mendayung (paddling), salivasi. Untuk kasus keracunan biasanya juga disertai muntah.

Mengingat banyaknya tantangan yang ada di lapangan, maka sudah seharusnya kita mempersiapkan strategi manajemen dan program yang disesuaikan dengan kondisi di kandang. Secara umum, pengendalian penyakit ini harus melibatkan biosekuriti, medikasi dan vaksinasi. Untuk penyakit-penyakit yang penting umumnya peternak skala besar lebih mengutamakan program vaksinasi dalam membentuk kekebalan yang berguna untuk menjaga kelangsungan hidup sampai umur panen.

Dari paparan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan angka survival rate pada anak babi yang baru dilahirkan maka kita harus mempersiapkan beberapa prosedur manajemen yang penting, yaitu mempersiapkan kandang melahirkan dengan sebaik-baiknya (jerami kadang bisa dipersiapkan untuk memungkinkan induk mengekspresikan perilakunya), untuk mengurangi resiko kehilangan panas tubuh anak babi kita bisa lakukan dengan pembersihan cairan janin serta penambahan pemanas dan alas lantai untuk penghangat (34° C), manajemen kolostrum untuk memastikan anak babi mendapatkan kekebalan induk yang dibutuhkan di awal kehidupan (lakukan intervensi jika jumlah anak yang banyak membuat induk kewalahan), cross fostering bisa dilakukan ke induk babi laktasi yang lain dengan pengawasan jika jumlah air susu induk aslinya tidak mencukupi.

Terkait pengendalian penyakit, idealnya kita harus mempunyai strategi dan manajemen pemeliharaan yang disesuaikan dengan kondisi tantangan penyakit dilapangan. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan terkait dengan penyusunan program ini agar strategi yang diterapkan tepat sasaran dan ternak kita bisa bertumbuh dengan baik tanpa ada gangguan penyakit yang berarti.

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI (sumber : https://rumahternak.com/2021/09/26/manajemen-pemeliharaan-anak-babi/)

Memulai Usaha Peternakan Babi yan Ideal

Langkah pertama dalam memulai usaha peternakan babi adalah menentukan jenis produksi babi yang ingin kita jalankan, baik itu breeding, penggemukan, atau keduanya. Namun, untuk menentukan pilihan yang terbaik sesuai kemampuan kita, maka kita harus terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut : 1.) jumlah modal, tenaga kerja, dan tanah yang tersedia artinya sumber daya apa yang sudah dimiliki/tersedia dan investasi apa yang masih diperlukan 2.) tingkat keterampilan manajemen dan pemasaran yang dibutuhkan artinya jenis karyawan yang perlu direkrut dan berapa banyak? 3.) implikasi sosial dan lingkungan yang terkait dengan pengelolaan pupuk kandang artinya apakah kita siap dalam pengolahan limbah, dimana  menyimpan, membuang limbah atau mengolah kotoran ternak?

Setelah mempertimbangkan 3 hal diatas, maka kita juga harus mengerti pilihan sistem produksi yang bisa kita jalankan dalam usaha peternakan babi. Ada tiga jenis sistem produksi babi yang bisa dilakukan yaitu farrow-to-finish, farrow-to-feeder, dan feeder-to-finish.

Farrow-to-Finish

Sistem ini melibatkan seluruh proses pemeliharaan dari awal sampai akhir karena mencakup breeding untuk proses pembiakan dan pembibitan induk babi, serta pemeliharaan anak babi sampai mereka mencapai berat pasar (di Indonesia sekitar 100kg). Seluruh periode produksi ini memerlukan waktu sekitar 10 bulan, dimana 4 bulan untuk pembibitan dan kebuntingan dan 6 bulan untuk pembesaran sampai panen. Jika kita memilih menjalankan sistem ini, maka diperlukan modal dan tenaga kerja paling banyak, serta membutuhkan komitmen jangka panjang untuk bisnis babi.

Farrow-to-Feeder

Sistem ini melibatkan proses pembiakan dan pembibitan induk babi, kemudian anak babi yang dihasilkan dijual ke peternak lain untuk dibesarkan sampai panen. Anak babi biasanya dijual setelah lepas sapih dengan berat sekitar 13 – 30kg. Dibandingkan dengan sistem farrow-to-finish, sistem ini mengurangi kebutuhan fasilitas, modal, jumlah pakan dan limbah/kotoran yang ditangani. Sistem ini juga memungkinkan peternak untuk memaksimalkan jumlah induk babi atau  memperluas usahanya menjadi farrow-to-finish dimasa depan.

Kelemahan dari sistem ini adalah produsen harus mengikuti kondisi pasar babi yang fluktuatif, terutama pelaku usaha skala kecil yang cinderung mengikuti harga pasar. Oleh karena itu, biasanya sistem kemitraan dikembangkan para pemodal dan bekerja sama dengan para peternak skala kecil yang kesulitan dalam pengadaan bibit yang berkualitas baik dengan sistem kontrak kerja sama yang saling menguntungkan. Peternak biasanya hanya menyediakan tempat, tenaga kerja dan fasilitasnya sedangkan bibit dan sapronak lainnya akan disuplai oleh perusahaan inti, termasuk penjualan babi saat panen tiba.

Feeder-to-Finish

Sistem ini adalah pilihan yang paling simpel dari semua pilihan sistem produksi peternakan babi. Jadi sistem ini hanya membeli sapihan dari produsen untuk digemukkan sampai berat panen. Anak babi berat sekitar 13-30kg dibeli dari peternak pembibitan. Pemeliharaan juga relatif lebih mudah karena umumnya anak babi yang dipilih sudah disiapkan kondisinya dengan baik, sudah diberikan vaksin komplit sehingga resiko kematian juga lebih minimal. Sistem ini memungkinkan investasi modal minimum, persyaratan tenaga kerja rendah, dan tidak ada komitmen jangka panjang.

Di level peternak kecil, kita bisa menjalankan usaha secara mandiri ataupun bergabung dalam sistem kemitraan. Hal yang perlu diperhatikan saat kita memutuskan untuk mandiri tentunya adalah kualitas bibit dari sumber yang terpercaya dan kualitas pakan karena hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan dan kualitas babi potong yang akan dihasilkan. Hindari membeli bibit dari peternakan yang belum teruji kualitasnya, dan sebisa mungkin berasal dari satu peternakan untuk mengurangi potensi masalah kesehatan karena tantangan penyakit dan status kesehatan dari satu produsen dan lainnya bisa berbeda.

Hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjaga status kesehatan ternak babi kita antara lain  adalah membeli indukan/anak  babi dan bahan pakan dari sumber terpercaya serta terbukti bebas penyakit, menjaga fasilitas dalam kandang tetap bersih dengan sistem ventilasi yang memadai, menyusun program kesehatan (vaksinasi dan medikasi bersama dengan dokter hewan), menghindari kunjungan ke peternakan babi lain untuk mengurangi risiko penularan penyakit.

Praktek manajemen biosekuriti praktis diatas sangat penting untuk mengurangi resiko penularan penyakit.  Peternak umumnya mengabaikan hal-hal penting ini, padahal aset yang dipunyai jika terserang penyakit tentunya bukan keuntungan yang dihasilkan. Jangan sampai kita sudah membeli babi yang mahal tetapi lupa untuk “menjaga” status kesehatannya dengan mengabaikan biosekuriti, vaksinasi dan medikasi yang seharusnya dilakukan.

Setelah sistem produksi kita bisa memilah mana yang sesuai dengan kemampuan kita, lalu bagaimana dengan sistem perkandangannya? Disini kita akan coba membandingkan beberapa jenis kandang yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan.

Free range

Sistem ini seperti halnya padang penggembalaan sapi, dimana tidak ada struktur bangunan, babi memanfaatkan padang rumput sebagai sumber pakan walaupun tidak seefisien ruminansia.

Keuntungan sistem penggembalaan terbuka ini adalah membuka peluang untuk kostumer yang concern dengan animal welfare karena harganya lebih mahal. Babi yang dipelihara akan mampu mengekspresikan dirinya seperti halnya babi hutan yang hidup di alam bebas. Babi dapat beraktivitas dengan leluasa dalam mencari makan.

Kekurangan dari sistem ini adalah perilaku rooting yang berlebihan dari babi yang dapat menyebabkan masalah erosi tanah, resiko lepas dan menjadi babi liar yang sulit dikendalikan, masalah parasit internal dapat menjadi parah pada sistem penggembalaan yang tidak dikelola dengan baik, babi yang didomestikasi kemungkinan akan menderita karena cuaca ekstrem, serta resiko kontak dengan hewan liar cukup tinggi. Selain itu, pengelolaan padang gembalaan membutuhkan banyak waktu dan komitmen untuk membuatnya berhasil.

Hoop Barns

Digunakan untuk kandang pembesaran babi hingga mencapai berat pasar. Ini adalah pilihan lain bagi produsen untuk digunakan sebagai fasilitas produksi babi dimana lebih biayanya relatif lebih rendah. Kandang ini bisa menggunakan lantai beton atau tanah, dengan penambahan tempat pakan dan air minum yang mudah dibersihkan. Kondisi atap bisa dimodifikasi sesuai dengan ketersediaan bahan.

Keuntungan dari kandang ini  adalah struktur jangka pendek yang dapat dilepas setelah digunakan atau yang dapat disesuaikan untuk penggunaan lain, biaya relatif rendah sehingga pilihan yang tepat bagi yang modalnya terbatas, cocok untuk kapasitas 150 – 200 ekor finisher, bisa untuk  memanfaatkan sisa jerami sebagai alas tidur ternak. Mungkin juga memenuhi syarat untuk beberapa pasar khusus dengan harga premium.

Kekurangan model ini adalah pengamatan kelompok besar relatif lebih sulit, pakan kurang efisien selama cuaca dingin, hewan liar beresiko sebagai vektor penularan penyakit.

Confinement Building

Sistem ini berupa bangunan tertutup, dimana hal ini memungkinkan produsen untuk mengontrol banyak aspek untuk membuat kondisi nyaman sesuai kebutuhan ternak. Kandang closed house ini dibangun dengan mempertimbangkan praktik biosekuriti dan fasilitas yang lengkap untuk mencegah penyakit. Umumnya kandang ini sudah melibatkan teknologi terbaru dan memiliki sistem pemantauan ketat untuk membantu produsen memantau kesehatan dan ransum pakan babi yang diberikan.

Keuntungan dari sistem ini adalah kontrol pasokan babi yang lebih ketat, bisa mempraktekkan batch management dan sistem all in all out,  mengurangi risiko serangan penyakit, sistem pemantauan yang lebih dekat dan detail. Sedangkan kekurangannya adalah memerlukan pengetahuan manajemen perkandangan tambahan untuk memantau dan merawat babi di dalamnya dan biaya jauh lebih mahal.

Bagaimana sistem perkandangan di Indonesia?

Di banyak negara tropis, populasi peternak skala menengah kecil cukup banyak. Di Indonesia, di beberapa wilayah bahkan masih kita bisa menjumpai ternak babi berkeliaran dengan bebas mencari makanan atau dibesarkan di halaman belakang rumah (backyard farm) di mana mereka bergantung pada limbah untuk pakan ternak mereka. Umumnya mereka memelihara babi sebagai sampingan dengan metode pemeliharaan yang sangat sederhana bahkan mungkin tidak mempraktekkan biosekuriti dengan baik.

Tantangan di Indonesia terkait lokasi peternakan adalah kecinderungan untuk memelihara berdekatan antara 1 farm dengan lainnya. Pada area yang padat penduduk dan padat peternakan seperti ini, seharusnya up grade praktek manajemen yang sederhana harus dilakukan untuk membantu meningkatkan produktivitas dan kesehatan ternak babi ini.

Walaupun mungkin kapasitas kandang tidak banyak, tetapi seharusnya ternak kita juga mendapatkan perlakuan yang baik agar nantinya juga bisa memberikan hasil yang optimal. Jangan sampai peternakan kita mengalami gangguan yang mengakibatkan usaha kita rugi karena kelalaian kita dalam memelihara ternak yang asal-asalan.

Berikut adalah kondisi minimal yang idealnya terpenuhi untuk kandang pemeliharaan ternak babi, 1.) pagar keliling dengan atap yang baik untuk melindungi dari sinar matahari langsung atau cuaca dingin ekstrem, babi juga diberikan pakan dengan nutrisi yang baik dan praktek program kesehatan yang sesuai tantangan di kandang 2.) kandang sederhana setengah tertutup terbuat dari kayu dengan atap jerami dan lantai beton/tanah sudah cukup untuk memberikan kenyamanan ternak asal kebersihan dan sanitasinya terjaga 3.) jika kita memelihara di lingkungan yang panas, tempat berkubang mungkin bisa ditambahkan untuk memberikan suasana kandang mirip dengan habitat di alam, dimana babi bisa menurunkan suhu tubuhnya.

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber :https://rumahternak.com/2022/10/03/peternakan-babi-ideal/)

Diare Pada Ternak Babi

Membahas masalah penyakit pada ternak babi sepertinya tidak ada habisnya. Kali ini kita akan mencoba membahas tentang gangguan pencernaan yang umumnya ditemui pada usaha peternakan babi. Apa saja patogen yang berperan dan bagaimana kita menganalisanya? Berikut adalah penyakit pencernaan yang umumnya dihadapi para peternak babi di lapangan :

Enteric Colibacillosis. Gangguan yang paling umum dialami anak babi adalah diare yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli. Strain patogen E. coli mudah diisolasi dan termasuk dalam bakteri gram negatif. Ada lima jenis E.coli yang ditemukan pada babi yaitu F4 (K88), F5 (K99), F41 dan F6 (987P) yang memediasi adhesi pada neonatus, serta F18 yang bertanggung jawab terhadap kejadian kolibasilosis pasca penyapihan seperti halnya F4.

Strain patogen Enterotoksik E. coli (ETEC) menghasilkan satu atau lebih enterotoksin, yaitu eksotoksin yang diuraikan secara lokal di usus kecil yang dapat memiliki efek lokal atau sistemik. Racun yang diuraikan oleh E. coli patogen pada babi (ETEC) adalah toksin labil (LT), toksin A (StA) yang stabil dan toksin B yang stabil (StB) yang menyebabkan hiperekskresi cairan dari usus, serta verotoksin (toksin seperti shiga, SLT) yang bertanggung jawab atas efek vaskular sistemik penyakit edema. Selain itu, beberapa strain juga memiliki kemampuan untuk mengikis epitel (AEEC). Gejala klinis yang nampak adalah diare encer dan kemungkinan adanya muntah juga. Lesi biasanya ringan/minimal, jejunum dan ileum mungkin mengalami atrofi vili ringan. E. coli juga dapat menyebabkan poliserositis fibrinosa.

Hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah kolibasilosis antara lain adalah managemen, biosekuriti dan vaksinasi. Sedapat mungkin breeding stock harus diperoleh dari sumber yang tidak bermasalah dengan kolibasilosis. Proses alkimatisasi saat calon induk datang selama 3-6 minggu sebelum dikawinkan diharapkan bisa mengembangkan kekebalan terhadap patogen ini sehingga memungkinkan produksi antibodi spesifik dalam jumlah yang cukup dalam kolostrum dan susu. Vaksinasi bisa menjadi alternatif pilihan untuk membentuk kekebalan. Induk bunting biasanya diberikan vaksin 2x dengan interval 2-3 minggu sebelum melahirkan. Sistem pemeliharaan menggunakan sistem all in / all out dalam memelihara anak babi relatif lebih mudah dalam mengendalikan patogen penyakit. Selain itu program sanitasi dan desinfeksi juga penting.

Ketika upaya pencegahan gagal, antimikroba dapat diberikan pada neonatus secara oral atau melalui suntikan. Karena sifat organisme yang menular, saat merawat babi yang sakit sebelum disapih, semua babi di litter juga perlu dirawat secara bersamaan. Pemberian antibiotik yang sesuai bisa diberikan via air minum. Larutan pengganti elektrolit oral terkadang digunakan untuk membantu mengontrol dehidrasi. Pastikan kita juga melakukan evaluasi untuk melakukan perbaikan yang diperlukan guna mencegah gangguan penyakit ini terulang kembali di periode selanjutnya.

Rotavirus Enteritis. Setidaknya ada 7 serogrup yang berbeda secara antigen dari rotavirus (A, B, C, D, E, F, G) dimana 4 diantaranya (A, B, C, E) mempengaruhi babi. Grup A sejauh ini adalah yang paling umum ditemukan pada babi, dan tipe C telah dikaitkan dengan wabah. Rotavirus sangat stabil di lingkungan. Mereka tahan terhadap perubahan suhu, bahan kimia, pH, dan beberapa disinfektan. Disinfektan yang direkomendasikan untuk permukaan yang dibersihkan termasuk disinfektan berbahan dasar formaldehida dan klorin.

Tingkat keparahan tergantung pada berapa banyak patogen yang masuk dan jumlah maternal antibodi yang didapatkan dari kolostrum di awal kehidupan. Wabah di peternakan sering berulang ketika anak babi mencapai usia di mana kekebalan laktogenik tidak lagi memadai untuk melindungi dari tingkat paparan, ditambah dengan praktek manajemen dan kondisi lingkungan yang buruk. Gejala klinis yang muncul adalah diare berwarna putih – kuning, dan umumnya berlanjut selama beberapa hari sampai babi membentuk kekebalan aktif, dehidrasinya sedang, serta muntah. Babi yang mati biasanya mengalami dehidrasi dan mungkin menunjukkan noda kotoran di area perineum. Dinding usus tipis, lembek dan agak transparan. Usus kecil dan usus besar mengandung cairan dan kotoran berwarna kuning atau abu-abu.

Tidak ada terapi spesifik yang terbukti untuk infeksi rotaviral pada anak babi. Namun, peternakan yang menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik dan pemberian terapi suportif termasuk elektrolit dalam air minum dapat bermanfaat untuk mengurangi resiko dehidrasi. Lingkungan yang kering, hangat, dan nutrisi yang baik penting untuk mengurangi keparahan wabah. Antibiotik tidak efektif untuk infeksi rotaviral tetapi dapat diindikasikan untuk penyakit bakteri yang terjadi bersamaan. Vaksin mungkin bisa menjadi solusi ideal.

Transmissible Gastroenteritis (TGE). TGE adalah penyakit virus babi akut yang disebabkan oleh coronavirus (TGEv) yang pertama kali ditemukan di USA tahun 1943. Menyebar dengan cepat dari segala usia, ditandai dengan diare dan muntah. Pada anak babi, gejala yang teramati antara lain adalah dehidrasi, distensi usus kecil dengan cairan berbusa, kuning, dan berbau . Dinding usus umumnya sangat tipis dan hampir transparan. Perut bisa kosong karena muntah tetapi terkadang ada susu yang mengental. Selain itu, sering teramati juga urat kuning atau abu-abu pada papila ginjal. Isi kolon biasanya juga encer. Kematian tinggi pada anak babi < 2 minggu umum terjadi dan akan menurun seiring bertambahnya usia. TGE bisa endemik, terlihat pada kawanan dengan kekebalan parsial atau infeksi porcine respiratory coronavirus (PRCV) babi yang terjadi bersamaan, dan gejalanya tidak terlalu parah dengan angka kematian jauh lebih rendah. Kejadian bisa sepanjang tahun tetapi biasanya lebih tinggi pada saat suhu dingin.

Pada kasus akut, masa inkubasi TGE sangat singkat, yaitu 18 jam sampai tiga hari. Anak babi rentan akan mengalami diare berat, sering muntah, dehidrasi cepat, menggigil, lemah dan biasanya mati dalam 1-2 hari kemudian. Asupan kolostrum menjadi kunci penting karena bisa mendapatkan imunitas pasif dari induk. Pada kasus akut ini, babi bunting dapat diinduksi untuk membentuk antibodi terhadap TGE dengan paparan alami menggunaka kotoran atau usus anak babi yang sakit parah. Antibodi akan terbentuk dari paparan alami ini dan akan diturunkan ke anaknya melalui kolostrum sehingga akan memberikan perlindungan di saat ada tantangan TGEv. Kasus endemik dapat terjadi setelah wabah akut, terutama pada kawanan yang lebih besar di mana seluruh kawanan tidak terinfeksi secara bersamaan. Virus terus menginfeksi hewan yang rentan, bertahan, dan seringkali sulit untuk dicegah atau dibasmi.

Tindakan pencegahan untuk populasi yang negatif terhadap TGE adalah menerapkan biosekuriti yang ketat. TGEv juga dapat dihancurkan oleh banyak disinfektan, seperti iodine, senyawa amonium kuaterner, fenol dan natrium hipoklorit. Belilah bibit dari sumber yang juga tidak memiliki riwayat kejadian TGE. Perlakuan karantina penting untuk memastikan status kesehatan ternak baru dan sistem produksi all in / all out dengan pembersihan dan desinfeksi di antara farrowing sangat membantu. Penggunaan vaksin pada induk sebelum melahirkan juga bisa dipertimbangkan. Anak babi < 3 minggu jarang berespon baik terhadap pengobatan. Intervensi termasuk tindakan penyapihan, pemberian elektrolit oral, dan lingkungan yang hangat serta pakan yang baik mungkin bisa membantu. Babi yang lebih tua biasanya mampu sembuh secara spontan. Antibiotik bisa diberikan untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.

Porcine Endemic Diarrhea. Virus PED termasuk dari coronavirus yang mirip dengan TGE (TGE like) yang menyebabkan diare pada sebagian besar dari semua umur babi saat mewabah. Jika endemik, diare diamati dengan morbiditas yang lebih rendah pada anak babi yang sebagian besar menyusu dan yang baru saja disapih. Ada dua jenis PEDv, yaitu PEDv tipe I yang hanya memengaruhi babi yang sedang tumbuh dan PEDv tipe II yang memengaruhi semua usia. PEDv tipe II adalah galur yang lebih ganas yang menyebabkan kematian lebih dari 1 juta babi di USA pada tahun 2013-14, dengan kematian hingga 100% terlihat pada anak babi yang berusia kurang dari 7 hari. PEDv tidak berbahaya bagi manusia dan hewan ternak lainnya, serta bukan merupakan risiko keamanan pangan.

Masa inkubasi PEDv juga cepat, yaitu 2-4 hari. PEDv akan merusak vili usus babi, mengurangi jumlah luas permukaan absorpsi yang mengakibatkan hilangnya cairan, diare dan dehidrasi. Hingga 100% induk babi dalam satu kawanan dapat terpengaruh, menunjukkan diare ringan – berair. Kekebalan yang kuat dapat berkembang selama 2-3 minggu dan kolostrum sekali lagi menjadi kunci dalam melindungi anak babi. Gejala klinis sangat spesifik terhadap usia dan kejadiannya akan jauh lebih parah pada hewan yang lebih muda. Pada anak babi yang sangat muda terjadi diare encer yang banyak, tanpa darah atau lendir, biasanya berwarna kuning kehijauan, sering disertai dengan muntah dan anoreksia yang dapat menyebabkan kematian hingga 100% anak babi yang berumur < 1 minggu. Babi yang berumur > 1 minggu biasanya pulih tetapi dengan penurunan tingkat pertumbuhan sekitar 10%, sedangkan pada hewan yang lebih tua (pembibitan, pembudidaya, finisher, babi betina, babi hutan) terinfeksi, umumnya akan berhenti makan 2-4 hari, kotoran encer atau diare berair tanpa darah atau lendir dan muntah – dehidrasi. Kematian 1-3% pada hewan pasca-penyapihan adalah tipikal. Untuk penanganan PEDv bisa mengadopsi dari program pencegahan dan pengendalian terhadap TGEv.

Clostridial Diarrhea. Penyakit yang berhubungan dengan Clostridium perfringens (Cp) dan clostridia lainnya terjadi pada banyak spesies hewan yang berbeda. Kasus enterotoksemia karena toksin beta nekrotikans dari Cp tipe C (CptC) ditandai dengan morbiditas variabel dan mortalitas tinggi pada neonatus atau babi menyusui dengan kematian mendadak, diare berdarah, atau enteritis nekrotik. Diare neonatal juga dikaitkan dengan toksin alfa dan beta dari Cp tipe A (CptA) tetapi dengan morbiditas sedang dan mortalitas lebih rendah dibandingkan dengan CptC. Infeksi Clostridium difficile (Cd) pada sekum dan usus besar menyebabkan diare dengan morbiditas dan mortalitas yang bervariasi.

Gejala klinis Cp bervariasi tergantung pada dosis infeksi, virulensi, dan kuantitas imunitas kolostral. Neonatus yang rentan dapat menunjukkan gejala sakit hanya dalam beberapa jam setelah terpapar CptC dan dapat mati dalam 4-8 jam. Anak babi yang sakit segera menjadi lemah, diam dan kemudian mati. Anak babi yang memiliki resistensi yang baik dapat hidup beberapa hari dan mungkin mengalami diare berdarah. Kadang-kadang, anak babi juga masih mampu bertahan beberapa minggu, dengan penampakan tubuh berwarna kekuningan dengan kondisi diare berlendir. Pada wabah akut, kematian dapat terjadi bahkan sebelum anak babi mengalami diare. Morbiditas bervariasi tetapi mortalitas tinggi, hingga 100%. Pada infeksi CptA tanpa adanya komplikasi pada anak babi yang baru lahir dan yang disapih, biasanya muncul diare berwarna krem, pucat, atau kuning dan berbusa. Morbiditas tinggi tetapi mortalitas umumnya rendah, sedangkan diare yang dihasilkan oleh Cd mungkin tidak dapat dibedakan dari CptA atau colibacillosis neonatal.

Pada infeksi tipe C mungkin ada yang gambaran menghitam pada kulit perut. Rongga peritoneal dan pleura bisa nampak berisi cairan berlebih berwarna darah. pada kasus akut umumnya akan terlihat usus kecil berwarna merah tua, perdarahan dan nekrosis. Lesi biasanya mengenai seluruh usus kecil tetapi dalam beberapa kasus mungkin hanya sebagian saja, biasanya di jejunum atau ileum walaupun terkadang sekum dan usus besar terkadang terpengaruh. Gas dan cairan berdarah terkadang ada di lumen dan dinding usus. Pada kasus CptA, usus kecil biasanya berdinding tipis dan berisi cairan sedangkan lesi Clostridium difficile terbatas pada sekum dan kolon, dan termasuk edema mesokolonik sedang-berat, isi kolon encer, dan terkadang diikuti gejala pernapasan atau kematian mendadak.

Kekebalan pasif segera dapat diberikan untuk CptC dengan antiserum imun (antitoksin) yang diberikan secara oral atau parenteral dalam waktu dua jam setelah kelahiran. Selain itu, antibiotik yang efektif melawan clostridia dapat diberikan selama beberapa hari dan dapat memberikan perlindungan. Perlindungan anak babi terhadap CptC dan CptA dapat diberikan dengan menyuntikkan bakterin-toksoid ke induk, yaitu saat 5-6 minggu pertama dan 2-3 minggu sebelum melahirkan. Beberapa antiklostridial pada induk babi bisa juga diberikan sebelum melahirkan-menyusui. Agen antimikroba yang digunakan antara lain bacitracin, tylosin, virginiamycin, dan lincomycin. Bakteri-toksoid komersial tersedia untuk CptC dan CptA. Program untuk pengendalian Cd yang konsisten masih dalam proses penelitian lebih lanjut dan belum bisa dipahami secara memadai, namun penggunaan terapi antibiotik strategis pada anak babi dan vaksinasi pada induk dengan sediaan bakterin-toksoid autogen sebelum proses kelahiran sedang diteliti.

Salmonellosis. Penyakit ini bisa disebabkan oleh lebih dari 2000 serotipe Salmonella. Pada babi biasanya bermanifestasi sebagai septikemia dan / atau enterokolitis. Infeksi salmonella pada babi tanpa gejala dapat menjadi sumber infeksi Salmonella pada manusia melalui kontaminasi produk daging babi. Penyakit ini sebenarnya relatif jarang tetapi bisa terjadi sepanjang tahun di semua daerah yang ada populasi babi karena semua kelompok umur rentan, terutama babi yang disapih atau sedang tumbuh. Produk babi yang terkontaminasi bukanlah sumber utama wabah salmonellosis yang ditularkan melalui makanan pada manusia, tetapi upaya untuk mengurangi salmonella dalam rantai makanan babi merupakan prioritas tinggi untuk industri babi.

Kejadian salmonellosis di intestinal berupa enteritis nekrotikans pada usus besar dan kecil, kelenjar getah bening mesenterika membesar, dan paru-paru tersumbat. Jika kejadian sampai terjadi septikemia, maka akan muncul lesi kulit berwarna merah / ungu di telinga, ekor, moncong, kaki, dan perut. Selain itu, biasanya kondisi paru-paru juga tersumbat, terjadi splenomegali dan hepatomegali serta bentukan warna abu-abu di hati (nodul paratifoid pada hasil uji histologi). Diagnosa bisa dilakukan dengan melakukan uji kultur terhadap salmonella dari kelenjar getah bening, hati, paru-paru, limpa, ginjal, dan otak jika muncul juga gangguan saraf.

Serotipe yang merupakan penyebab paling umum dari penyakit pada manusia dan babi adalah S. typhimurium, S. enteritidis, S. agona dan S. heidelberg. Sedangkan S. choleraesuis dan S. typhisuis secara umum bisa diadaptasi oleh ternak babi dan jarang terisolasi. Salmonella adalah bakteri gram-negatif yang kecil, kuat, ada di mana-mana. Salmonella dapat dengan mudah bertahan hidup di berbagai kondisi lingkungan tetapi dapat dinonaktifkan oleh disinfektan seperti klorin, yodium dan fenol.

Swine Dysentery. Disentri pada babi adalah penyakit menular yang ditandai dengan diare muko-hemoragik (perdarahan) dan peradangan terbatas pada usus besar. Kejadiannya hanya pada babi meskipun bisa menginfeksi hewan pengerat. Semua usia babi bisa terpapar meskipun jarang terlihat pada anak babi < 3 minggu. Penyakit ini lebih sering terjadi selama masa pertumbuhan / fase akhir. Penyebabnya adalah bakteri gram negatif Brachyspira (Serpulina atau Treponema) hyodysenteriae. Bersifat anaerobik dan strain yang paling patogen sangat beta-hemolitik. Brachyspira hyodysenteriae memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam berbagai kondisi lingkungan tetapi rentan terhadap panas, sinar ultraviolet (UV), pengeringan, sabun dan disinfektan. Spirochetes lain, terutama B. innocens dan B. pilosicoli ditemukan juga di usus besar banyak babi dan sering disalahartikan sebagai B. hyodysenteriae. Jika kita menemui diare persisten ringan, non fatal, berlendir tetapi tidak berdarah pada babi maka kemungkinana besar disebabkan oleh Brachyspira pilosicoli (Spirochaetal Colitis).

Jika B. hyodysenteriae tertelan, maka gejala klinis biasanya muncul 5-21 hari kemudian tergantung seberapa banyak patogen yang masuk. Bakteri ini kemudian akan mencapai usus besar dan berkoloni, berkembang biak, menembus lapisan lendir, melekat dan merusak sel epitel, serta mengeluarkan toksin sehingga manifestasinya berupa diare berdarah yang bisa berujung pada kematian. Jika kita mengamati secara detail, diare yang muncul awalnya berwarna abu-abu hingga kuning dan berlendir, kemudian akan melanjut menjadi muko-hemoragik, dengan lendir berlebih yang disertai dengan darah segar. Setelah diare berkepanjangan, maka babi akan menunjukkan gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, lemah dan penurunan berat badan. Pada ternak yang tidak diobati maka angka morbiditas akan tinggi dan angka mortalitas bisa mendekati 50%. Pada kasus akut, mukosa usus besar akan merah, edema dan bengkak, sedikit fibrin tetapi dengan lendir yang berlebihan, darah terlihat di feses, kemudian bisa terjadi mati mendadak.

Mencegah masuknya B. hyodysenteriae ke kawanan negatif adalah prioritas tinggi, oleh karena itu jika kita membeli bibit dari luar selalu pastikan status kesehatannya dengan memilih yang terbukti bebas dari kasus disentri. Vaksinasi juga belum menunjukkan hasill yang baik dalam upaya pengendalian dan eliminasi bakteri ini. Pada kondisi kasus, peternak yang ingin melakukan metode eliminasi biasanya akan melakukan penyapihan dini (< 3 minggu) dan dipindahkan ke tempat lain yang bersih, sementara ternak yang terinfeksi harus di culling, fasilitas dibersihkan dan di desinfeksi. Sistem all in all out tentunya akan lebih memudahkan penanganan kasus. Metode kedua bergantung pada pengobatan yang relatif mahal dengan menggunakan tiamulin, linkomisin atau karbadoks. Setelah melakukan seleksi ketat maka yang harus dilakukan adalah melakukan perawatan intensif terhadap hewan yang dipelihara. Metode ketiga adalah depopulasi. Hal ini biasanya dipilih pada lokasi kasus yang sulit untuk menerapkan biosekuriti dan sanitasi ketat. Semua fasilitas dan peralatan harus dibersihkan dan di desinfeksi secara menyeluruh, dikosong setidaknya selama 2 minggu, tergantung pada cuaca dan tingkat sanitasi yang dapat dicapai. Brachyspira hyodysenteriae tidak akan bertahan lebih dari 2 minggu di tanah. Setelah itu, kita bisa memulai repopulasi dengan menggunakan ternak yang bebas dari swine dysentery agar kasus tidak terulang kembali.

Porcine Proliferative Enteritis (PPE). PPE adalah penyakit enterik yang ditandai dengan penebalan selaput lendir pada bagian usus kecil dan / atau usus besar. Lesi sangat bervariasi menurut lokasi, luas, dan durasi. Penyakit ini juga dikenal dengan nama lain, yaitu Proliferative Hemorrhagic Enteropathy (PHE), Porcine Intestinal Adenomatosis (PIA), Necrotic Enteritis (NE), Regional / Terminal Ileitis (RI), atau Ileitis. Penyebabnya adalah bakteri gram negatif Lawsonia intracellularis (Li). Penyakit ini bisa dikategorikan bentuk akut (proliferative hemorrhagic enteropathy atau PHE) yang lebih sering terjadi pada dewasa muda, sedangkan bentuk kronis / nekrotik yang lebih umum terjadi biasanya nampak pada fase pertumbuhan. Laporan pertama PPE terjadi tahun 1931, namun baru pada tahun 1993 dikonfirmasi sebagai Lawsonia intracellularis dalam kultur jaringan.

Fase inkubasi, pemulihan, dan karier karena infeksi L. intracellularis berjalan cukup lama pada beberapa babi, mungkin berbulan-bulan sehingga tidak diragukan lagi akan ada populasi babi carrier / pembawa yang berpotensi menyebarkan melalui fesesnya ke populasi babi yang rentan melalui jalur fecal-oral. Kondisi ini akan membuat monitoring relatif sulit mengingat seringkali menyebabkan penyakit subklinis / tanpa gejala. Induk carrier telah terbukti dapat menginfeksi anak mulai umur 6 hari dan jika proses penyapihan dini tidak dilakukan, maka kemungkinan untuk mengendalikan penyakit akan lebih sulit. Wabah sering dikaitkan juga dengan berbagai kondisi stres, sedangkan penularan secara lateral juga telah dibuktikan tetapi tidak terjadi pada semua babi.

Terkait kejadian diare akut biasanya dengan diikuti adanya darah berwarna kecoklatan – hitam, hewan pucat, lemas, dan mati sering terjadi, sedangkan kasus subakut / kronik lebih sering terjadi pada tahap pertumbuhan, yang dimanifestasikan dengan adanya diare sporadis, wasting, dan variasi laju pertumbuhan. Selain itu lesi sering memperlihatkan adanya enteritis nekrotik. Kondisi diare yang mirip satu sama lain ini sering membuat kita sulit membedakan kasus salmonelosis, cacingan, desentri bahkan PCV2. Morbiditas dan mortalitas juga sangat bervariasi karena beberapa babi mungkin secara klinis asimtomatik. Jika kita melakukan bedah bangkai, penebalan beberapa bagian mukosa usus kecil dan / atau besar umumnya akan teramati dengan pola menyerupai gambaran otak, dan tidak jarang usus mengalami perdarahan (PHE). Saat ini vaksin terhadap L. intracellularis bisa menjadi alternatif solusi untuk mengendalikan kasus Ileitis ini.

Whipworm Infection. Infestasi cacing Trichuris suis umum terjadi pada babi domestik dan liar yang rentan, tetapi kebanyakan pada babi < 6 bulan. Kasus lebih banyak terjadi pada babi yang dibebas liarkan di luar ruangan / padang rumput dimana babi dengan mudah mengakses tanah di lingkungannya. Meskipun cacing dewasa memiliki masa hidup yang relatif pendek dan hanya bertelur secara sporadis, tetapi sel telur tetap infektif di sebagian besar lingkungan hingga enam tahun. Program pengendalian dengan obat cacing bisa menjadi strategi intervensi yang efektif.

Saat ternak menelan telur, larvanya kemudian menetas dan memasuki mukosa usus halus anterior lalu kembali ke lumen usus dan memasuki mukosa / submukosa usus besar. Penetrasi ini menghasilkan penebalan dinding usus, mukofibrin dan muko-hemoragik. Evaluasi ulserasi fokal mungkin dipersulit oleh invasi patogen sekunder seperti salmonella, protozoa, dan Balantidium coli. Gejala klinis terkait infestasi cacing akan terlihat dalam 2-4 minggu setelah terkontaminasi, yaitu meliputi anoreksia, diare mukoid atau muko-hemoragik, dehidrasi, dan kemungkinan kematian pada hewan yang parah.

Coccidiosis. Penyakit ini ditandai dengan diare anak babi yang menyusu dan sapihan. Coccidiosis “diare neonatal” yang disebabkan oleh Isospora suis biasanya terjadi pada anak babi umur 1-3 minggu, sedangkan Eimeria spp umumnya menginfeksi babi umur 1-3 bulan (jarang). Tingkat keparahan lesi berhubungan dengan jumlah ookista yang tertelan dan juga keberadaan bakteri di usus termasuk Clostridium sp. Pada infeksi yang serius, proses erosi epitel vili yang tidak diimbangi regenerasi yang cepat menyebabkan hilangnya cairan dan kegagalan epitel untuk menyerap nutrisi dan cairan sehingga menyebabkan diare, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit, mungkin kematian.

Gejala klinis umumnya muncul paling cepat 5 hari setelah lahir, tetapi lebih sering terlihat pada anak babi yang berusia 1-3 minggu. Penampakan umum adalah diare kuning-bening, diare pasta-berair, dehidrasi, bulu kasar, dan pertumbuhan lambat. Penyakit ini dapat muncul dalam dua gelombang, pertama saat 4-6 hari saat beberapa populasi mulai terinfeksi dan kedua setelah 4-8 hari kemudian dimana semua populasi akhirnya terinfeksi. Anak babi yang menyusu mungkin akan memuntahkan air susunya. Angka morbiditas tinggi tetapi mortalitas bervariasi (umumnya sedang). Kasus diare neonatal ini menyerupai colibacillosis, tetapi kita bisa analisa lebih lanjut dengan bagaimana ternak merespons terapi antibiotik. Coccidiosis tidak akan berespon terhadap pemberian antibiotik. Kita juga bisa memeriksa kotoran babi dengan mikroskop terkait ada tidaknya ookista. Coccidiosis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain sehingga harus benar-benar teliti dalam menganalisa diare ini.

Program sanitasi dan desinfeksi penting dilakukan untuk mengeliminasi protozoa ini di lingkungan kandang. Permukaan kayu dan beton sangat sulit dibersihkan secara efektif, sedangkan penggunaan lantai logam / plastik berlubang akan bermanfaat dalam pengendalian koksidiosis dan penyakit enterik neonatal lainnya karena kotoran akan jatuh kebawah dan minim kontak dengan ternak babi kita. Program pengobatan rutin biasanya dilakukan pada semua anak babi dengan toltrazuril untuk meminimalkan kejadian dan keparahan koksidiosis.

Setelah kita tahu apa saja penyakit pencernaan pada babi, lalu bagaimana cara pendekatan diagnosa yang baik terkait kasus diare pada babi? Dengan gejala klinis yang relatif mirip satu sama lain tentunya sering membuat kita mengalami kesulitan saat melakukan evaluasi di lapangan secara visual. Terkait hal ini, berikut langkah-langkah yang bisa kita lakukan dalam menganalisa kasus diare pada babi, yaitu

1. Di fase apa kejadian diare ini muncul dan gambaran klinisnya. Langkah ini menjadi strategis untuk kita kemudian bisa mempersempit patogen yang kemungkinan berperan. 2. Diagnosa bisa kita lakukan dengan 4 pendekatan, melihat sejarah kasus masa lalu, melihat visual gejala klinis di lapangan, melakukan nekropsi babi yang terindikasi sakit dan juga uji laboratorium. 3. Jika kita menemukan kasus diare dengan perdarahan, maka kita bisa lebih fokus pada patogen seperti salmonella, swine dysentery dan Ileitis, ataupun kejadian hemoraghic bowel syndrome (HBS) dan gastric ulser.

4. Lakukan upaya pengendalian dengan strategi yang tepat berdasarkan diagnosa penyakit yang sudah kita lakukan. Perbaikan manajemen, praktek biosekuriti, medikasi dengan antibiotik untuk kasus bakterial atau antikoksi untuk kasus protozoa dan vaksinasi bisa menjadi alternatif pilihan.

Kesimpulan. Kasus diare pada babi jika kita belum terbiasa maka akan kesulitan dalam menganalisa. Evaluasi dan diagnosa kasus pencernaan pada anak babi sebelum sapih umumnya relatif lebih mudah karena berbentuk infeksi akut dibandingkan fase post weaning dan grow-finish yang umumnya kronis. Anak babi yang mengalami diare di minggu awal kehidupannya akan mempengaruhi pertambahan berat badan yang berakibat pada waktu panen yang lebih lama. Selain dengan melihat sejarah kasus pada masa lalu dan melihat gejala klinis langsung di lapangan, kita bisa melakukan nekrosi terhadap anak babi yang menunjukkan gejala diare dalam 12-24 jam terakhir dan belum mendapatkan treatment antibiotik. Jika ingin memastikan lagi, kita sebaiknya melakukan uji laboratorium. Sekali lagi, pendekatan diagnosa yang baik akan memudahkan kita dalam menentukan patogen apa yang sebenarnya sedang menyerang kawanan ternak kita sehingga terapi dan strategi yang kita pilih juga lebih tepat sasaran.  

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2021/05/01/diare-pada-babi/)

Biosekuriti di Era New Normal

Biosekuriti adalah pendekatan strategis dan terintegrasi yang mencakup kerangka kebijakan dan peraturan untuk menganalisis dan mengelola resiko yang relevan terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, serta kesehatan dan lingkungan. Biosekuriti meliputi keamanan pangan, zoonosis, dan pengenalan penyakit serta hama hewan dan tumbuhan, pengenalan dan evaluasi hasil modifikasi organisme hidup (living modified organisms – LMOs) dan produknya (genetik organisme yang dimodifikasi atau genetically modified organisms – GMOs), dan managemen pengelolaan terhadap spesies asing.

Biosekuriti adalah konsep holistik yang memiliki relevansi langsung, keberlanjutan dan secara luas meliputi beraneka ragam aspek dalam kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati. Goal dari biosekuriti secara luas meliputi human life and health (manusia, termasuk keamanan pangan), animal life and health (hewan, termasuk ikan), plant life (tanaman, termasuk hutan), dan environmental protection (lingkungan).

Dalam dunia peternakan, penyakit dapat ditularkan melalui paparan hewan ke hewan, kendaraan, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau karyawan yang pernah kontak dengan kawanan, kontak dengan hewan lain (kuda, anjing, kucing, satwa liar, hewan pengerat, burung, serangga), dan kontaminan yang lainnya termasuk makanan dan pengelolaan kotoran. Pencegahan penyebaran penyakit infeksi di peternakan dan lingkungannya dilakukan dengan menggunakan tindakan biosekuriti yang meliputi kondisi higienis dan iklim pemeliharaan ternak, perawatan, nutrisi, surveilans, regenerasi dan penularan penyakit, pengendalian wabah, perawatan peralatan dan proses produksi.

Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi lingkungan dan sejarah kasus penyakit untuk memetakan tantangan, menganalisa serta menyusun strategi yang sesuai agar usaha peternakan kita menguntungkan. Oleh karena itu, dalam perencanaan program biosekuriti umumnya meliputi kondisi aktual berdasarkan data rekording yang baik, isolasi peternakan (keseluruhan atau individu, termasuk ternak baru dalam kawanan), status kesehatan ternak, evaluasi peralatan kandang dan pegawai, pengendalian lalu lintas (manusia, sumber air dan pakan, pupuk kandang, dan kendaraan, penanganan bangkai), lokasi (kemungkinan kontak dengan hewan liar dan hewan pengerat, burung) serta sanitasi.

Terlepas ada tidaknya program vaksinasi dalam menjalankan usaha peternakan, program biosekuriti menjadi komponen penting untuk mencegah penularan penyakit. Peternakan yang menjalankan manajemen dengan baik dengan didukung program biosekuriti dan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan lapangan mempunyai resiko yang lebih kecil terhadap kejadian penyakit. Terkait dengan penyakit yang sudah ada vaksinnya, peternak idealnya bisa memaksimalkan imunitas dengan melakukan program vaksinasi. Vaksinasi tentunya tidak menjamin ternak kita aman dari serangan penyakit, akan tetapi dengan vaksinasi kita meminimalkan resiko ternak kita dari kerugian yang parah jika sampai ada outbreak penyakit. Akan tetapi, jika terjadi wabah dimana belum ditemukan vaksin seperti halnya African Swine Fever (ASF) saat ini maka menajemen dan biosekuriti menjadi tumpuan dalam menghadapi resiko serangan penyakit tersebut.

Contoh biosekuriti di negara eropa terkait pengendalian ASF adalah pembuatan pagar sebagai barrier fisik untuk mencegah ternak berinteraksi dengan babi hutan/liar dan hewan liar lainnya, pelarangan praktek swill feeding di peternakan babi, kontrol lalu lintas kendaraan dan manusia dengan menempatkan rambu-rambu dilarang masuk/biosecurity allert di pintu masuk lokasi kandang. Pengendalian hewan liar seperti anjing, kucing, burung dan hama (tikus, lalat, nyamuk, serangga) juga menjadi bagian penting dalam program biosekuriti karena bisa jadi vektor penularan penyakit.

Terkait praktek biosekuriti di peternakan babi, Johnna S. Seaman dan Thomas J. Fangman dari Departemen Kedokteran Hewan Universitas Missouri menyampaikan bahwa pengendalian penyakit adalah bagian yang paling menantang bagi produsen/peternak dan dokter hewan. Biosekuriti sering dianggap sebagai upaya menjauhkan penyakit dari kawanan babi. Hal ini menurut saya mungkin benar jika kita mengacu pada kasus ASF, dimana kita tidak ingin ternak kita yang masih “bersih” dari ASF akhirnya terpapar dan berakibat kematian karena ternak kita belum memiliki imunitas terhadap ASF.

Dalam konteks penyakit yang sudah ada di lingkungan kandang, program biosekuriti ini lebih ditujukan untuk mencegah patogen tersebut menginfeksi ternak atau jika sampai terinfeksi kejadiannya tidak menular ke kawanan ternak yang lainnya sehingga meminimalkan resiko kerugian. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya, proses mengeliminasi/menghilangkan patogen dalam suatu kandang bukanlah pekerjaan mudah karena faktor alami keberadaan patogen, kondisi endemik suatu kawasan, dan adanya populasi ternak itu sendiri sebagai target dari patogen tersebut. Jika suatu kandang terpapar ASF maka tindakan yang idealnya dilakukan adalah depopulasi karena vaksin yang baik dan aman sampai saat ini belum tersedia di Indonesia. Proses yang harusnya dilakukan  adalah  mengosongkan kandang, proses sanitasi dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama untuk memastikan virus ASF sudah tidak terdeteksi lagi (dikonfirmasi dengan uji lab), baru kemudian memulai proses repopulasi dengan serangkaian uji laboratorium juga dalam monitoringnya.

Dalam menjalankan usaha peternakan, dengan program biosekuriti yang baik yang didukung dengan managemen pemeliharaan dan program vaksinasi/medikasi yang baik maka hasil yang optimal dapat dicapai dengan meminimalkan efek negatif penyakit dan pencapaian produktivitas yang tinggi. Prinsipnya adalah bagaimana kita menekan kasus reproduksi di breeding seperti kawin berulang, aborsi, mummifikasi, lahir lemah/mati sehingga jumlah anakan yang dihasilkan induk banyak serta bagaimana kita menekan deplesi (kematian dan culling) di anakan di fase menyusui dan sapihan sehingga angka panen juga tinggi. Paparan patogen yang minimum ini adalah tujuan dari program biosekuriti di peternakan sehingga penghasilan peternak bisa optimal. Di masa sekarang ini, biosekuriti juga dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan antibiotik di peternakan sehingga mengurangi resiko resistensi antibiotik pada manusia.

Elemen biosekuriti seharusnya mencakup :

  1. Pembersihan semua ruangan secara menyeluruh dengan mesin bertekanan tinggi dan desinfektan berspektrum luas.
  2. Konstruksi bangunan kandang yang optimal untuk menghindari kontak fisik atau udara bersama di antara kelompok umur babi yang dipelihara.
  3. Jika dalam kandang terdapat banyak ruangan/pen dan populasi babi dari berbagai umur, maka harus diatur urutan pemelihaannya sehingga babi dengan status kesehatan tertinggi (biasanya babi yang lebih muda) harus ditangani terlebih dahulu. Lalu lintas pekerja juga kandang diatur jika dia harus memelihara beberapa kelompok umur.
  4. Pekerja sebelum masuk ke area kandang idealnya harus mandi dan selalu mengenakan pakaian bersih dan alas kaki/sepatu bot khusus untuk aktifitas di dalam kandang serta lakukan pembersihan dan sanitasi pakaian/sepatu bot tersebut dengan baik.
  5. Bangunan kandang harus tahan terhadap hewan pengerat dan lakukan pembasmian/kontrol hama dengan baik
  6. Kendaraan tidak boleh memasuki lokasi kecuali telah dibersihkan dan di desinfeksi.
  7. Tempatkan hewan mati di luar (tempat penampungan khusus) untuk kemudian dipindahkan atau dikuburkan.
  8. Sediakan tempat untuk fasilitas pemuatan saat panen diluar area sekitar kandang – akan lebih baik jika lokasinya agak jauh sehingga tidak ada mobil panen yang masuk dalam lokasi kandang
  9. Minimalkan jumlah pengunjung, dan minta mereka mengenakan pakaian dan sepatu bot yang bersih yang disediakan khusus untuk tamu.
  10. Pasang pagar pembatas di sekitar kandang untuk mencegah kontak yang tidak diinginkan dari orang, hewan peliharaan, dan hewan liar.

Berikut adalah contoh aplikasi biosekuriti yang bisa menjadi referensi :

Lokasi. Kawanan babi idealnya harus ditempatkan sejauh mungkin dari kawanan babi yang lain (jarak antar lokasi peternakan yang ideal 1,5 mil). Selain itu, perhatian juga harus diberikan terhadap arah angin dan keberadaan babi hutan/satwa liar lain. Beberapa penyakit dapat menyebar melalui udara, seperti Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) dan Enzootic Pneumonia (Mycoplasma hyopneumoniae). Jika dalam lokasi peternakan terdapat hewan atau ternak lain, maka fasilitas ternak babi harus ditempatkan setidaknya 100 yard dari hewan lain. Jarak bangunan kandang dalam 1 lokasi peternakan yang sama sebaiknya sekitar 50 yard.

Bangunan idealnya harus terletak setidaknya 100 yard dari jalan umum terutama jika ada lalu lintas/transportasi babi di jalan tersebut untuk meminimalkan paparan. Pagar/pembatas kandang juga idealnya harus dibuat mengelilingi lokasi peternakan untuk menjaga lalu lintas dan interaksi hewan liar/manusia yang tidak berkepentingan. Selain itu, pintu masuk harus dipagari dan dikunci serta memiliki tanda peringatan bahwa peternakan kita memiliki kebijakan biosekuriti.

Orang. Kantor dan pintu masuk utama peternakan sebaiknya terletak di dekat pagar/perimeter dan sebaiknya memiliki dapur umum sehingga karyawan dapat makan tanpa harus meninggalkan fasilitas selama hari kerja. Pekerja kandang tidak boleh tinggal di lokasi peternakan babi lain atau bersentuhan dengan babi di luar peternakan tempat mereka bekerja. Sangat disarankan juga untuk menempatkan orang khusus untuk mengawasi lalu lintas orang dan kendaraan dalam aktivitas di peternakan. Jika ada tamu/dokter hewan yang harus masuk ke lokasi kandang, harus dipastikan tidak boleh ada kontak dengan babi setidaknya selama 24 jam sebelum tiba di kandang kita. Buku tamu pengunjung penting untuk menyimpan catatan siapa saja yang telah melakukan kontak dengan ternak kita sehingga jika ada penyakit muncul, dimungkinkan untuk melakukan evaluasi dari mana patogen itu berasal.

Pintu harus senantiasa ditutup terutama saat karyawan tidak berada di lokasi, dan selain itu juga bisa berfungsi sebagai penghalang masuknya hewan liar ke dalam lokasi kandang. Semua karyawan dan pengunjung harus mandi sebelum memasuki fasilitas peternakan dan berganti seragam/baju dan alas kaki khusus untuk aktifitas di dalam kandang. Setelah selesai, segera bersihkan alas kaki dan baju kemudian dicuci. Pekerjaan harian harus diselesaikan dalam urutan status kesehatan tertinggi ke status kesehatan terendah untuk mencegah penyebaran patogen dari kawanan ternak ke babi yang lebih muda/rentan.

Pig Flow. Babi idealnya dipindahkan secara all-in/all-out (AIAO), artinya konsep memindahkan babi dengan usia sama pada waktu yang bersamaan juga. Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko penularan penyakit dari babi yang lebih tua ke muda, selain itu hal ini juga bisa meningkatkan efisiensi pakan. Sering kali peternak “meninggalkan” babi yang pertumbuhannya lambat ke kelompok yang lebih kecil. Praktek ini sebaiknya dihindari karena ketika suatu kelompok dipindahkan dari fasilitas manapun, area yang ditinggalkan tersebut perlu dibersihkan, dicuci dan di desinfeksi dengan benar (minimal 6-8 jam sebelum kembali diisi hewan baru flok selanjutnya). Jika kandang yang akan dipakai tidak ada perlakuan dan masih ada kelompok umur yang lain tersisa disitu, maka resiko kejadian penyakit akan lebih tinggi.

Pengelompokan untuk anak babi yang baru lahir, sapihan, grower, finisher perlu ditempatkan secara terpisah karena tingkat kesehatan dan biosekuriti yang berbeda untuk setiap kelompok umur. Sering ditemukan bahwa agen penyakit mungkin tidak menyebabkan sakit pada satu kelompok usia, tetapi sangat patogen bagi kelompok lain karena perbedaan status imunitas. Untuk pemeliharaan di kandang melahirkan (farrowing house), sebaiknya batasi akses orang yang tidak berkepentingan dan tempatkan indukan bunting yang prediksi kelahirannya berada dalam interval dibawah 14 hari. Karena perbedaan status kekebalan dan paparan patogen, sekali lagi sebaiknya jangan mencampur babi dari  kelompok/peternakan yang berbeda dan jika ada babi mati harus segera disingkirkan untuk menghindari cemaran, hewan liar ataupun lalat.

Fasilitas. Semua bangunan, terutama bangunan berventilasi alami/kandang terbuka, harus memiliki sekat/barrier untuk mencegah masuknya serangga, burung, dan hewan peliharaan atau hewan liar. Selalu jaga kebersihan agar lalat, tikus dan hewan pengerat lainnya tidak memiliki akses ke lokasi pakan atau air. Lakukan pembersihan untuk menghilangkan bahan organik yang dapat menghambat kerja sebagian besar disinfektan. Pencucian dengan air panas adalah cara yang baik untuk menjaga kebersihan fasilitas, penggunaan deterjen dan desinfektan akan semakin mengurangi kemungkinan patogen bertahan hidup di dalam lokasi peternakan.

Usahakan untuk memilih bahan kandang yang tahan lama dan mudah dicuci. Jika kita menggunakan peralatan bekas pakai sebaiknya didesinfeksi dahulu sebelum memasuki fasilitas. Pastikan kita mempunyai protokol biosekuriti yang baik dan dipahami oleh semua personel di dalam lokasi peternakan kita. Footbath/celup kaki dengan desintektan idealnya ditempatkan di pintu masuk setiap ruangan sehingga meminimalkan resiko penularan jika kondisi karyawan kita terpaksa harus memelihara lebih dari satu kelompok umur babi, dan lakukan penggantian larutan desinfektan tersebut secara teratur.

Fasilitas bongkar muat/panen. Fasilitas ini sebaiknya terletak di luar kandang sehingga kendaraan tidak masuk ke dalam lokasi peternakan. Jika memungkinkan, fasilitas ini bisa berada minimal satu mil dari kandang dengan jalan yang hanya bisa diakses terbatas. Hal ini mungkin memerlukan investasi kendaraan pengangkut dan lokasi meeting point untuk pemindahan ternak, akan tetapi kita lebih aman karena akses ke lokasi peternakan kita bisa minimal. Kendaraan untuk aktifitas transportasi ternak harus dicuci dan didesinfeksi terlebih dahulu untuk meminimalkan resiko.

Jika lokasi panen masih di lokasi kandang, pastikan kita mengantisipasi resiko kontaknya. Selain kendaraan, sopir / orang luar yang terlibat dalam proses transportasi ternak ini harus mengenakan pakaian yang bersih dan sepatu bot serta tidak boleh memasuki area dalam kandang. Jadi karena fase panen ini relatif beresiko, maka idealnya kita harus melakukan proses panen dengan meminimalkan kontak antara pegawai kandang dan orang luar. Fasilitas pemuatan harus dicuci dan didisinfeksi segera setelah digunakan, dan pastikan aliran airnya tidak mengarah masuk kembali ke lokasi kandang. Setelah aktifitas panen ini, jika pekerja akan kembali beraktifitas di dalam kandang sangat diwajibkan untuk mandi dan ganti baju dahulu.

Babi sakit/mati. Pisahkan babi yang sakit dengan membuat kandang isolasi untuk meminimalkan kontak dengan kawanan lainnya. Jika ada masalah penyakit dalam kawanan, pemeriksaan postmortem dan uji laboratorium sangat bermanfaat dalam memberikan informasi status kesehatan ternak kita. Dalam menjalankan usaha peternakan, tentunya kita akan dihadapkan dengan resiko kematian ternak entah karena kesalahan managemen ataupun penyakit. Oleh karena itu, kita seharusnya mempunyai tempat khusus untuk menangani masalah ini.

Metode pembuangan bangkai hewan yang diterapkan harus seminimal mungkin mencemari lingkungan kandang untuk menjamin kesehatan ternak kita (dikubur, dibakar, atau menggunakan jasa dari luar). Pastikan hewan pengerat dan lalat ataupun hewan lain tidak memiliki akses ke babi mati karena dikhawatirkan akan membawa agen penyakit kembali ke dalam lokasi kandang.

Pakan dan pengolahan limbah. Gudang pakan jika memungkinkan harus ditempatkan diluar lokasi kandang untuk mengurangi resiko kontaminasi dari truk dari luar/transportasi pengangkut bahan baku pakan. Investasi kendaraan khusus pengangkut pakan ke lokasi farm bisa dipertimbangkan. Pelaksanaan pengiriman pakan bisa dikondisikan dilakukan pagi hari setelah dibersihkan hari sebelumnya (dicuci pada sore/malam setelah aktifitas kandang selesai). Pembuangan limbah feses di kandang juga penting. Feses bisa ditampung di lokasi khusus untuk kemudian diolah menjadi pupuk. Pastikan peralatan yang dipakai tidak dicampur dengan peralatan yang dipakai dalam aktifitas di dalam kandang untuk mengurangi resiko pencemaran.

Ternak. Jika kita mempertimbangkan untuk membeli bibit/anakan dari luar, maka harus dipastikan berasal dari satu sumber yang terpercaya dan jelas status kesehatannya. Kandang breeding memiliki level biosekuriti dan tingkat kesehatan paling tinggi karena merupakan “mesin” uang para peternak agar bisa menghasilkan anakan yang banyak tanpa gangguan penyakit. Oleh karena itu, sangatlah disarankan untuk melakukan proses karantina dan aklimatisasi dahulu minimal 60 hari terhadap calon indukan yang akan dimasukkan ke dalam breeding. Untuk memastikan status kesehatannya, maka calon induk biasanya akan dimonitor tanda-tanda klinis, di uji laboratorium (Elisa dan PCR), cek parasit dan pemberian obat cacing serta disiapkan imunitasnya dengan program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan penyakit yang sudah teridentifikasi di kandang.

Beberapa peternak yang sudah berpengalaman terkandang juga “mengenalkan” patogen ke hewan baru dengan menggunakan feses/gerusan organ (feedback) atau mencampurkan dengan indukan/babi yang akan diafkir. Jika kita menggunakan inseminasi buatan dan membeli semen dari sumber luar kita juga harus memastikan sumbernya dari farm yang sehat untuk mengurangi resiko penularan penyakit yang berpotensi menimbulkan mengganggu reproduksi breeding kita. Biosekuriti untuk babi pejantan penerapannya hampir sama dengan program biosekuriti unit produksi, termasuk proses isolasi dan aklimatisasi.

Demikianlah uraian mengenai tindakan biosekuriti yang penting untuk diterapkan dalam usaha peternakan kita. Uraian diatas adalah contoh aplikasi yang bisa dilakukan di peternakan babi, silahkan bisa di modifikasi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2021/02/13/biosekuriti-di-era-new-normal/)

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Kasus ASF di dunia menjadi tantangan luar biasa bagi peternakan babi beberapa tahun terakhir ini. Populasi babi yang terkoreksi cukup dalam ini mengakibatkan suplai dan demand terhadap daging babi tidak seimbang dan mengakibatkan fluktuasi harga yang luar biasa. Cara menyikapi kejadian inipun berbeda-beda diantara para pelaku usaha. Di China, beberapa pengusaha melihat ini mungkin sebagai “peluang” karena kebutuhan daging babi dimasa akan datang pastinya akan sangat kurang dan siapa yang bisa suplai tentunya yang akan memetik hasilnya. Lalu strategi apa yang mereka lakukan untuk menghadapi ASF yang belum ada vaksinnya ini?

Berikut adalah resume dari langkah-langkah / point penting terkait proses repopulasi yang dilakukan dan mungkin bisa kita modifikasi dan sesuaikan dengan kondisi di Indonesia:

  1. Kecepatan adalah kunci – deteksi dini, tindakan cepat dan penanganan sumber infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran virus lebih lanjut dalam sistem produksi. Monitoring pergerakan babi pada daerah terdampak juga harus diperketat, dan perlakuan karantina plus pengujian berkala harus dilakukan dengan disiplin dan konsisten.
  2. Desinfeksi terhadap truk pengangkut babi – proses pembersihan, desinfeksi dan pengeringan
  3. Membuat perimeter – zone untuk menahan penyebaran virus secara sistematis : ‘zona wabah’ radius 1 km, ‘zona kontrol’ radius 3-5 km, dan ‘zona pengawasan’ radius >10 km (tergantung Geografis dan kepadatan babi)
  4. Larangan di zona kontrol – batasi akses orang luar yang tidak berkepentingan, dilarang menjual/pindahkan babi ke luar zona, dilarang menyembelih babi, menjual bangkai dan produk sampingannya, pengawasan lalu lintas pakan/bahan baku dan transportasi
  5. Perlakuaan penting di zona kontrol – menempatkan titik pemeriksaan dan desinfeksi di pintu keluar masuk lokasi terdampak dan zona kontrol, desinfeksi kendaraan yang keluar dari zona kontrol, ganti pakaian dan sepatu di pos pemeriksaan sebelum memasuki zona kontrol, dan singkirkan hewan liar.
  6. Perlakuan penting di zona wabah – bersihkan semua babi dan produknya dengan seminimal mungkin kontaminasi darah (virus ASF ditemukan dalam jumlah tinggi di dalam darah); bakar/kuburkan babi mati, produk babi, fomites dan semua yang terkontaminasi sedalam 4m, lalu tutup lobang dengan kotoran dan kapur, serta lakukan desinfeksi agar tidak mengundang hewan liar; proses ini sebisa mungkin dimulai dari lokasi yang paling parah untuk meminimalkan resiko penyebaran/kontaminasi; staf yang terlibat harus menerapkan protokol yang ketat (mandi, ganti baju dan alas kaki dll); lakukan pengendalian vektor
  7. Langkah desinfeksi yang tepat – virus ASF adalah virus ‘DNA enveloped’ yang kompleks dan tahan terhadap lingkungan. Agar desinfektan sepenuhnya efektif, maka sebelumnya harus dilakukan pembersihan semua bahan organik dengan deterjen, dikeringkan baru kemudian masuk ke proses desinfeksi; pastikan waktu kontak dan dosis sesuai rekomendasi, dan penguapan dengan suhu panas jika memungkinkan.
  8. Desinfektan yang terbukti mampu menonaktifkan virus ASF adalah natrium hidroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, glutaraldehyde, asam sitrat, yodium monoklorida, formaldehida, senyawa amonium kuarter dan kalium peroksimonosulfat. Konsultasikan ke distributor desinfektan anda ya untuk memastikan efektifitasnya terhadap ASF.
  9. Lakukan desinfeksi terhadap semua bahan dan fasilitas kandang yang terkontaminasi saat proses pembersihan memusnahkan babi
  10. Pembersihan intensif fase I – karena virus ASF sangat resisten, maka sekali lagi sangat penting untuk membersihkan dan mendesinfeksi dengan benar semua bahan yang mungkin telah bersentuhan dengan virus. Langkah fase I ini meliputi pembersihan mekanis semua bahan organik (pakan, feses, kotoran) dengan menggunakan sikat dan sekop, buang/bakar peralatan yang tidak dapat didisinfeksi dengan benar, semprotkan air ke semua permukaan, siram dengan deterjen, bilas dengan air dan biarkan waktu mengering serta semprot desinfektan ke semua permukaan dan naikkan suhu ruangan jika memungkinkan.
  11. Pembersihan intensif fase II – ulangi semua proses fase I, pastikan semua peralatan dan fasilitas bersih dan buang/bakar semua pakaian yang digunakan selama desinfeksi. Sedikit saya tambahkan disini, sharing dari kolega dokter hewan di China yang membantu proses repopulasi di sebuah farm besar menyebutkan bahwa, proses cleaning/pembersihan ini harus di test dengan ATP fluorescence detector sebelum masuk ke tahap desinfeksi. Jadi mereka harus melakukan swab terhadap semua permukaan kandang yang diduga masih terdapat cemaran patogen. Jika ternyata hasil deteksi ATP ini masih menunjukkan angka patogen yang melebihi ambang batas yang disarankan maka proses pembersihan harus diulang kembali.
  12. Pembersihan intensif fase III – desinfektsi semua permukaan dengan tekanan rendah atau menggunakan desinfektan bubuk (biarkan < 6 jam), tingkatkan suhu ruangan bila memungkinkan dan tutup area kandang
  13. Perlakuan di lingkungan luar kandang – bersihkan dan desinfeksi lingkungan dengan benar, cek tempat penampungan limbah/kotoran, cek sisa-sisan bahan baku/pakan dan tempat pakan/silo, bakar pakaian yang dipakai selama fase ini dan tutup lokasi kandang selama masa karantina sebelum mulai proses repopulasi.
  14. Bioassay – memulai kembali bisnis harus menjadi salah satu prioritas bagi setiap peternakan yang terkena ASF. Proses pengujian harus detail untuk memastikan patogen sudah tidak terdeteksi lagi. Investasi, daya dan upaya relatif besar untuk memastikan infeksi tidak terulang lagi. Peran otoritas lokal menjadi penting untuk mengatur kapan proses repopulasi bisa dimulai. Bioassay adalah metode analisis yang memastikan apakah sebuah peternakan cukup bersih untuk dihuni kembali.
  15. Memulai repopulasi dengan memasukkan hewan sentinel – pilih sumber hewan terpercaya dan konfirmasikan melalui pengujian laboratorium, atur transportasi dengan truk yang bersih dan pastikan sudah di desinfeksi, tempatkan karyawan untuk tinggal di dalam kandang selama masa observasi (60 hari) dan siapkan pakan sekaligus dari sumber yang terpercaya juga; mulai masukkan babi sentinel 5-10% dari kapasitas peternakan, lalu cuci dan desinfeksi mobil pengangkut babi, keringkan sebelum digunakan kembali.
  16. Perlakuan terhadap hewan sentinel – babi dibiarkan bebas mengakses semua area kandang sehingga memastikan bahwa lingkungan dalam kandang aman dari patogen yang mungkin terlewatkan saat proses pembersihan dan desinfeksi.
  17. Monitoring hewan sentinel – pantau selama 60 hari, lakukan pengujian PCR mingguan dengan jumlah statistik yang signifikan, periksakan semua hewan yang mati ke dokter hewan dan lakukan pengujian laboratorium terhadap ginjal, tonsil, kelenjar getah bening, paru-paru dan limpa; kumpulkan sampel darah dari semua babi di akhir periode 60 hari dan lakukan uji Elisa (cek antibodi) dan uji PCR (deteksi antigen)
  18. Jika semua terlewati selama fase 60 hari (periode karantina berakhir) dan setelah semua tes menunjukkan hasil negatif maka kita kemudian bisa memasukkan populasi babi selanjutnya sampai kapasitas yang diharapkan tetapi harus terus menjalankan program monitoring dan biosekuriti yang ketat karena vaksin belum ditemukan.

Jika dari China kita bisa belajar bagaimana mereka sukses dalam proses repopulasi pada peternakan besar, ternyata tidak demikian dengan contoh di Vietnam. Proses repopulasi pada peternakan skala kecil di Vietnam ternyata tidak kuasa untuk menahan gempuran virus ASF karena tindakan biosekuriti mereka yang relatif lemah. Hal ini akhirnya menyebabkan peternak mengalami kerugian ganda karena investasi mereka kembali direnggut oleh ASF. Kita tahu bahwa Vietnam terdampak ASF mulai Februari 2019, dan Oktober 2019 perusahaan skala besar disana sudah bersiap membantu peternak skala kecil untuk mulai usaha kembali.

Gejolak kenaikan harga yang sangat tinggi ini juga mendapat respon positif beberapa peternak kecil sehingga mereka berani membeli dan berencana memulai beternak kembali pada bulan November 2019. Namun apa yang terjadi, hanya dalam selang waktu 3 hari setelah babi diterima dikandang ternak tersebut sakit, mati dan dinyatakan positif ASF kembali. Mengapa bisa terjadi reinfeksi setelah sekian lama kandang dikosongkan (>6 bulan)? Mungkin jawabannya terletak pada proses pembersihan dan desinfeksi pasca ASF yang kurang baik.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari 2 contoh diatas? Secara umum pengendalian penyakit dalam pemeliharaan ternak melibatkan manajemen, vaksinasi dan biosekuriti. Jika kita berbicara ASF untuk saat ini yang belum ada vaksinnya, maka sudah seharusnya kita memaksimalkan perbaikan manajemen dan memperketat biosekuriti. Peternak kecil menjadi sangat beresiko mengingat kemungkinan besar implementasi faktor-faktor tersebut kurang maksimal. Selain itu, biasanya peternak di Indonesia rata-rata juga berada dalam satu lokasi yang sama dengan peternak lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat idealnya peternak dalam suatu komplek wilayah yang sama harus saling terbuka dan memiliki pemahaman yang sama dalam proses pengendalian penyakit ini agar semua populasi aman. Pembentukan kelompok ternak dan bimbingan teknis bisa menjadi sarana yang baik untuk memberikan update informasi kepada para peternak kecil sehingga tidak ada lagi peternak yang menjalankan usahanya “asal-asalan” yang pada akhirnya beresiko terhadap kelangsungan usaha peternak yang lain.

Akhir kata, untuk memulai usaha ternak kembali pasca ASF diperlukan proses cleaning dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama. Setelah itu, proses repopulasi bisa dilakukan idealnya setelah zona wabah sudah dikonfirm aman (lama waktunya tergantung situasi dilapangan) dan dilakukan monitoring terhadap kemungkinan kejadian penyakit dengan uji-uji laboratorium (ELISA, PCR dll). Sekali lagi, perbaikan manajemen dan biosekuriti memegang peranan penting dalam upaya pengendalian penyakit ASF ini, mengingat vaksin masih dalam tahap penelitian.

Sukses selalu !!

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2021/01/09/langkah-langkah-repopulasi-pasca-outbreak-african-swine-fever-asf/).

 

360 Degree – Swine Diseases

ADHMI Continuing Education Team bekerjasama dengan CEVA Animal Health telah mengadakan SEMINAR ONLINE , melalui ZOOM & YouTube Livestreaming. Seminar yang dipandu oleh Drh Teresia Metalestari, Moderator Drh Indra Nainggolan bersama Pembicara pakar dari Thailand Metta Makhanon, DVM., Ph.D dengan topik 360 Degree – SWINE DISEASES.

Tujuan:
1. Mengetahui sejumlah penyakit babi mempunyai kecenderungan terjadi berulang sepanjang masa.
2. Mengetahui upaya antisipasi pencegahan penyakit-penyakit babi.
3. Mengetahui pengalaman Pembicara setelah sukses menangani serangan virus ASF di Thailand

Seminar ini telah dilaksanakan pada:

Tanggal / Hari: 17 Desember 2022 / Sabtu
Waktu: Pk 0900 – 1200 WIB

 

Link Rekaman Seminar:

 

Materi Seminar:

360 degree Swine Diseases Dec2022 short HO2

Info dan keterangan lebih lanjut silakan menghubungi drh. Bintang Mas Kamdoro melalui WA# 0812 2610 4142

Managemen Kesehatan Ternak Babi : Implementasi Biosekuriti, Kunci Pasti Tangkal PMK

 

Pada hari ini, sabtu 10 Desembar 2022 telah dilaksanakan webinar kolaborasi yang melibatkan pemerintah Indonesia dan Australia, yaitu Departemen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian dan AIHSP (Australia Indonesia Health Security Partnership) serta PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) dan ADHMI (Asosiasi Dokter Hewan Monogastrik Indonesia).

Tema yang diangkat saat ini adalah :

MANAGEMEN KESEHATAN TERNAK BABI DI TENGAH WABAH PMK : Implementasi Biosekuriti, Kunci Pasti Tangkal PMK

Acara ini diawali dengan sambutan dari ketua ADHMI, ketua PDHI, Senior Advisor AIHSP dan dibuka oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Agenda ini tentunya menjadi awal yang sangat baik, karena melibatkan 3 nara sumber yang saling melengkapi, yaitu expert dari Thailand, Akademisi dan praktisi peternakan babi.

Untuk menyimak secara lengkap webinar saat ini, silahkan bisa menyimak rekamannya DISINI.

 

Terima kasih.

 

Eradikasi African Swine Fever (ASF) di Masa Lalu

Sejarah ASF hampir mencapai satu abad dan dalam periode ini beberapa elemen kunci dapat dikumpulkan dari sudut pandang epidemiologi. Penyakit ini terbatas di Afrika sampai akhir tahun 1950-an ketika muncul di Portugal pada tahun 1957. Setelah 2 tahun diam, penyakit ini muncul kembali di Lisbon pada tahun 1960 dan menyebar ke Semenanjung Iberia dan negara Eropa lainnya, yaitu Spanyol pada tahun 1960; Prancis pada tahun 1964, 1968 dan 1974; daratan Italia pada tahun 1967, dengan pengulangan pada tahun 1969 dan 1983; Malta pada tahun 1978; Belgia pada tahun 1985; dan Belanda pada tahun 1986. Antara 1971 dan 1980, ASF muncul di beberapa negara Amerika, yaitu Kuba pada 1971 dan kembali pada 1980; Brasil pada 1978; Republik Dominika pada 1978 dan Haiti pada 1979. Dahulu, baik di negara Eropa maupun Amerika penyakit tersebut telah berhasil dibasmi, sedangkan pada epidemi saat ini hanya Republik Ceko yang berhasil memberantas penyakit pada populasi babi hutan.

Pencegahan, deteksi dini, reaksi cepat, dan komunikasi memainkan peran penting dalam pengendalian ASF. Surveilans yang tepat mampu mendeteksi penyakit secara dini baik pada hewan peliharaan maupun liar, dan implementasi rencana yang terkonsolidasi dengan baik dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengendalikan penyakit ini. Sebuah penelitian dengan tinjauan sistematis telah dilakukan untuk mendapatkan pelajaran yang dapat diambil melalui sejarah pemberantasan penyakit ASF secara global, kemudian kita bisa mengevalusi dan menetapkan strategi mana yang berhasil untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan ASF, serta kesalahan apa yang tidak boleh diulangi. Berikut beberapa strategi pengawasan dan pengendalian yang diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk pemberantasan ASF di masa lalu yang bisa menjadi acuan bagi kita dalam menghadapi bahaya ASF.

Laporan dari Belgia, Brasil, Kuba, Republik Dominika dan Haiti, Prancis, Italia, Malta, Portugal, dan Spanyol bisa menjadi referensi bagi kita dalam pengendalian ASF. Terlepas dari sumber daya ekonomi yang dialokasikan dan upaya yang dilakukan, pemberantasan ASF berhasil dilakukan hanya di 8 negara dalam kurun waktu antara tahun 50-an dan 90-an di abad ke dua puluh ini. Dalam konteks epidemiologi dan budaya yang berbeda, proses pengendalian inipun mempunyai rentang waktu yang relatif besar, yaitu <1 tahun sampai 40 tahun. Strategi surveilence klasik, seperti pengawasan aktif dan pasif baik di tingkat peternakan dan rumah pemotongan hewan bersama dengan tindakan biosafety dan sanitasi konvensional terbukti mampu meredam kasus ASF. Hal ini menekankan bahwa data tentang surveilans dan populasi hewan sangat penting untuk perencanaan pengawasan yang efektif, dan menargetkan strategi pengendalian dan intervensi yang tepat.

Berikut negara-negara yang berhasil dalam pengendalian ASF beserta ringkasan strategi yang dilakukan:

Belgia (Maret 1985 / Mei 1985). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko karena penggunaan jarum suntik yang tidak tepat. Strategi intervensi yang dilakukan adalah penyembelihan hewan di peternakan yang terinfeksi dan pemusnahan/culling semua hewan yang terinfeksi maupun dan tidak terinfeksi, kemudian dilakukan pembersihan dan desinfeksi. Surveilence aktif dan pasif dilakukan babi sentinel di peternakan untuk mendemonstrasikan masih ada tidaknya virus ASF di kandang.

Terkait needle management, sebenarnya buka hanya menjadi issue penyebab penularan ASF tetapi juga penyakit-penyakit lainnya. Idealnya, penggunaan jarum itu 1 jarum untuk 1 ekor babi atau minimal 1 indukan dan anak-anaknya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko penularan akibat penggunaan jarum suntik yang digunakan pada semua kawanan.

Brasil (Mei 1978 / Des 1984). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari makanan terkontaminasi yang digunakan untuk pakan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) larangan pergerakan/lalu lintas babi di dalam dan dari daerah yang terkena serangan ASF; larangan kendaraan dan pergerakan manusia; larangan pembukaan pertunjukan/pameran babi dan pasar babi; larangan memberi makan limbah sebagai pakan babi; 2.) pemeriksaan di pelabuhan, bandara, dan kantor pos/kurir dengan lebih memperhatikan area berisiko; 3.) pemusnahan dan pembakaran semua babi yang berada di daerah terdampak ASF; 4.) membersihkan dan mendisinfeksi kendaraan, gedung, dan benda yang terkontaminasi dan 5.) program pelatihan. Untuk strategi surveilence, aktif dilakukan di rumah pemotongan hewan (tes serologi), di tingkat hewan (pengawasan khusus untuk perdagangan di beberapa wilayah berisiko; uji di tempat asal dan tujuan); dan di tingkat kawanan (sertifikasi kandang yang akan melakukan perdagangan/pameran).

Kuba Mei 1971/1980. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko berasal dari kontak antara kompartemen berbeda dari kandang produksi babi yang memiliki tingkat biosekuriti yang berbeda. Strategi intervensi yang dilakukan saat epidemi 1971 dan 1980 adalah 1.) karantina dan larangan pergerakan babi, larangan swill feeding; 2.) pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan babi sehat yang bersentuhan, serta pemotongan semua babi dalam radius 5 km dan pemotongan semua babi milik pribadi dengan pemberian kompensasi sebagian; 3.) pembersihan dan desinfeksi bangunan, kendaraan pengangkut, dan penggunaan alat pelindung diri; 4.) pelatihan diagnosis; 5.) pengendalian jalur keluar masuk melalui rel kereta api, jalan raya, kapal, dan pesawat.

Strategi intervensi untuk radius 10–15 km di sekitar tempat tertular adalah 1.) pemberian kompensasi untuk semua babi yang dimusnahkan; 2.) transportasi dengan tindakan biosekuriti tinggi; 3.) pembatasan pergerakan semua babi, komoditas, manusia, dan kendaraan; 4.) sensus lengkap semua populasi babi.

Strategi surveilence yang dilakukan adalah 1.) Risk Base Surveillance dengan pembagian zona resiko berdasarkan karakteristik geografis dan politik serta kepadatan produksi daging babi; 2.) pasif surveilence dengan mengevaluasi kejadian kematian pada babi; 3.) aktif surveilence dengan mengevaluasi babi sentinel di farm dan RPH; 4.) fase pemberantasan dengan melakukan aktif dan pasif surveilance babi sentinel di tingkat peternakan, lengkap dengan pendekatan uji diagnosis dan pemeriksaan di RPH; 5) fase repopulasi / rencana pemulihan di daerah yang terkena dampak dengan melakukan surveilence aktif babi sentinel untuk membuktikan masih ada tidaknya virus di lapangan.

Republik Dominika (1978/1981) & Haiti (1978/1982). Model penularan dari babi ke babi. Strategi intervensi yang dilakukan Republik Dominika adalah total depopulasi babi, sedangkan Haiti adalah dengan pemusnahan dengan kompensasi menggunakan tentara militer, pembersihan dan desinfeksi, serta pelatihan dan pendidikan umum untuk berbagai pemangku kepentingan dan kerjasama dengan penduduk di pedesaan. Strategi surveilence yang dilakukan Republik Dominika dan Haiti adalah aktif surveilence dengan menggunakan babi sentinel untuk proses repopulasi.

Prancis (1964/1964) dan (1974). Model penularan babi ke babi. Strategi pasif surveilence dilakukan dengan eksplorasi termal dan pengambilan sampel darah hewan yang positif.

Italia (1967 / Juni 1967 1969 1983). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko pemberian pakan babi dari limbah makanan yang terinfeksi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi, serta stamping out di peternakan yang terinfeksi.

Malta Maret 1978 / April 1978. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko adalah memberi makan babi yang terinfeksi / swill feeding serta waktu/proses deteksi dan pelaporan penyakit yang lama. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) kebijakan pemotongan diterapkan secara ketat (larangan pemotongan) dengan kompensasi; 2.) stamping-out, pembatasan pergerakan babi, karantina hewan dan bangunan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, pemindahan bangkai dan pembakaran; 3.) penelusuran wabah; 4.) larangan penjualan daging babi dan larangan swill feeding. Aktif surveilence dilakukan di rumah potong hewan (pengambilan serum) dan di tingkat peternakan.

Portugal (Epizootik Mei 1957 / Juni 1958 dan Epizootik April 1960 / November 1999). Model penularan dari babi ke babi dan juga kutu dengan faktor resiko adalah transportasi dan penggunaan yang tidak tepat dari limbah makanan yang terkontaminasi, serta pergerakan lalu lintas hewan yang tidak terkendali. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) stamping-out di dalam peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi; 2.) pembersihan dan desinfeksi kandang, pengangkutan, dan penggunaan alat pelindung diri; 3.) pembatasan pergerakan babi dan produk babi dari zona tertular atau di bawah pengawasan; larangan pergerakan babi dan produk babi atau produk sampingan babi dari zona tertular; 4.) larangan aktifitas di pasar dan pameran di zona tertular dan diduga tertular, serta larangan swill feeding dan repopulasi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah pemberitahuan wajib untuk kasus yang dicurigai dan dikonfirmasi.

Spanyol (1960 / September 1994). Model penularan dari babi ke babi dan kutu dengan faktor resiko adalah kontak antar babi yang terinfeksi dan adanya hubungan antara kutu O. erraticus dan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah stamping out di peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi, tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi seperti pembuatan pagar, pembuangan kotoran secara aman, serta proses pembersihan dan desinfeksi. Strategi pada fase pemberantasan, dilakukan strategi aktif surveilence di rumah potong hewan dan di tingkat peternakan, sedangkan pada fase repopulasi dilakukan surveilence pada babi.

Dari semua contoh dan pengalama masa lalu diatas, kita bisa belajar bagaimana sebenarnya ASF ini dapat dikendalikan dan diberantas melalui tindakan pengawasan dan pengendalian klasik. Tindakan klasik didasarkan pada metode pengendalian penyakit, termasuk strategi pengawasan, penyelidikan epidemiologi, penelusuran dan pemusnahan babi di kandang yang terinfeksi, dikombinasikan dengan tindakan karantina dan biosekuriti yang ketat pada babi domestik, kandang, dan kontrol pergerakan hewan. Namun demikian, fakta lainnya juga menunjukkan bahwa strategi ini sulit dipertahankan dalam waktu lama dalam situasi endemik dimana ASF menyerang wilayah yang lebih luas. Keterlibatan populasi babi hutan dalam penyebaran virus juga menghambat pemberantasan ASF dan hal ini merupakan faktor risiko yang relevan dan mendukung terjadinya penyebaran virus ke seluruh perbatasan negara. Oleh karena itu, strategi yang efisien untuk pencegahan atau pengendalian ASF harus didasarkan pada pengetahuan yang mendalam tentang populasi babi domestik dan babi liar, kondisi lingkungan dan jenis sektor babi. Mengingat penyebaran ASF ini juga tidak mengenal batas, maka sebaiknya semua strategi harus memperhitungkan kebijakan bersama dalam menetapkannya sehingga semua pihak bisa mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama dalam usaha pengendalian ASF.

Bagaimana dengan perkembangan penelitian vaksin ASF saat ini? Pengamat industri mengatakan bahwa saat ini masih belum tersedia vaksin yang efektif untuk melawan virus ASF, peternakan babi dan RPH sangat bergantung pada biosekuriti. Desinfeksi lingkungan menjadi sesuatu yang penting selain pengawasan ketat terhadap barang yang mungkin terkontaminasi seperti pakan ternak, kandang babi, dan kendaraan yang mengangkut babi dan lain-lain. Vaksin ASF yang saat ini sedang dikembangkan oleh para peneliti di seluruh dunia, termasuk di China, UK, Vietnam dan juga mungkin di Indonesia. Banyaknya faktor ketidakpastian yang belum terjawab tentang karakter ASF inilah salah satu penyebab vaksin masih dalam fase penelitian dan belum bisa dikomersialisasikan dalam waktu dekat.

Semoga kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu dan siap melakukan strategi yang tepat guna mencegah serangan ASF. Saatnya semua pihak bergandengan tangan untuk menentukan kebijakan yang terbaik untuk menjaga peternakan babi kita.

Badai pasti berlalu!!

 

Penulis : drh Bintang Mas Kamdoro – Managemen SDM ADHMI

(sumber : https://rumahternak.com/2020/11/07/bagaimana-proses-eradikasi-di-masa-lalu-dan-update-perkembangan-vaksin-saat-ini/ )